Satu janji, satu rahim, dan sebuah pengorbanan yang tak pernah ia bayangkan.
Nayara menjadi ibu pengganti demi menyelamatkan nyawa adiknya—tapi hati dan perasaan tak bisa diatur.
Semakin bayi itu tumbuh, semakin rumit rahasia, cinta terlarang, dan utang budi yang harus dibayar.
Siapa yang benar-benar menang, ketika janji itu menuntut segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Sea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25 — Kunjungan Pertama
Hujan sudah berhenti, tapi aroma tanah basah masih tertinggal di udara. Lampu-lampu halaman panti menyala satu per satu, memantulkan cahaya lembut di genangan air. Anak-anak mulai masuk ke kamar masing-masing, tapi sebagian masih berlari kecil sambil tertawa, menikmati sisa dingin malam.
Nayara berdiri kaku di teras panti, napasnya tersengal—bukan karena berlari, tapi karena ketakutan yang tidak bisa ia jinakkan. Mobil hitam itu masih berhenti di depan gerbang, mesinnya baru saja dimatikan. Tidak ada siapa pun yang turun, tapi keheningannya justru membuat jantung Nayara melonjak-lonjak di dada.
Nadim sudah menjemput Aru dari ayunan dan memegang tangannya erat-erat. “Kak, masuk dulu. Kita masuk aja. Jangan di luar,” bisiknya.
“Aku… aku nggak bisa bergerak, Dim.” Suara Nayara patah di tenggorokan.
Dari balik kacanya, mobil itu terlihat mengintimidasi. Tidak ada logo perusahaan, tapi plat nomornya mengkilap seperti baru keluar dari showroom. Modelnya terlalu mewah untuk sekadar tamu biasa.
Dan perasaan Nayara… sangat buruk.
Gerbang akhirnya dibuka oleh satpam panti. Lampu senter menerobos cahaya malam. Dua napas terdengar bersamaan: milik Nayara dan Nadim.
Pintu mobil itu bergerak. Perlahan. Klik.
Aru menoleh penasaran, tapi Nadim langsung mengusap kepalanya, menuntunnya menjauh. “Aru, ayo masuk dulu. Kamu dingin.”
“Tapi Om itu siapa? Mobilnya keren banget,” tanya Aru polos.
“Bukan urusan kita sekarang,” jawab Nadim cepat.
Pintu mobil terbuka penuh.
Seorang pria turun lebih dulu—tinggi—mengenakan kemeja hitam dan coat panjang. Sikapnya tegas, dewasa, gerakannya tenang. Dari samping, wajahnya terlihat jelas oleh Nayara.
Rendra.
Darah Nayara seperti terhenti. Kakinya lemas. Dunia menyempit.
Rendra tidak banyak berubah. Hanya garis wajahnya yang lebih matang, sorot matanya lebih dingin, dan caranya berdiri… masih sama. Masih membuat dada Nayara terasa kosong. Masih menumbuhkan ketakutan yang ia kira sudah ia kubur bersama masa lalu.
Pintu sisi lain terbuka.
Karina turun dengan anggun, memakai trench coat berwarna beige. Rambutnya digulung rapi. Wajahnya cantik, tapi lelah. Begitu melangkah, ia langsung merapat pada Rendra dan menautkan lengan mereka.
Nayara menunduk cepat, bersembunyi di balik tembok teras. Nafasnya tercekat. Tangannya memegangi dada, seolah ingin menahan jantungnya agar tidak pecah keluar.
“Tenang, Kak…” Nadim ikut memegangi bahunya dari belakang. “Kita nggak akan ketahuan. Diam aja dulu.”
Pengurus panti, Bu Lilis, segera menyambut pasangan itu. “Selamat malam, Pak Rendra, Bu Karina. Kami tidak menyangka kedatangan Bapak dan Ibu malam-malam begini.”
Tak ada yang mencurigakan. Tidak ada nada mencela. Semua terasa formal.
Rendra hanya tersenyum kecil. “Kami ingin melihat tempatnya lebih dulu, Bu. Besok kan pertemuan resminya.”
“Ya, tentu! Silakan, Pak. Silakan masuk.”
Mereka berjalan menuju ruang tamu. Setiap langkah membuat tubuh Nayara semakin menempel pada dinding. Menyembunyikan wajahnya. Menahan napas.
Sampai suara Aru memecahkan segalanya.
“ Tunggu!”
Nayara menoleh begitu cepat hingga lehernya sakit. Aru berlari mendekat, tanpa sadar melepaskan tangan Nadim. Bocah itu hanya melihat orang baru—dan ia selalu ramah pada semua orang. Ia tidak tahu apa-apa.
Rendra berhenti. Karina ikut menoleh.
Malam mendadak hening.
Aru berdiri di depan mereka dengan senyum lebar dan mata bersinar. Wajah itu… wajah kecil yang membawa potongan masa lalu yang tidak pernah dipahami siapa pun. Rambutnya lurus gelap. Sorot matanya tajam, jernih, terlalu mirip dengan seseorang.
Nayara menutup mulutnya sendiri, menahan isak yang hampir pecah.
Rendra menunduk, memerhatikan anak itu.
Dan untuk pertama kalinya sejak mereka turun dari mobil, ekspresi Rendra berubah. Alisnya saling mendekat. Sudut matanya bergerak, seperti sedang mencoba mengingat sesuatu yang hilang.
“Nama kamu siapa?” tanya Rendra, suaranya lebih lembut dari biasanya.
“Aru, Om!” Aru menjawab tanpa ragu. “Aku tinggal di sini. Om mau bantu panti, ya?”
Rendra tidak langsung menjawab. Matanya terpaku pada wajah Aru terlalu lama. Terlalu dalam. Terlalu… bingung.
Karina menyenggol lengannya. “Rendra?”
“Ya…” Rendra mengangguk kecil, tapi tatapannya tidak lepas dari anak kecil itu. “Aku hanya… merasa pernah melihat…”
Ia tidak melanjutkan kalimat itu.
Nayara menggigil.
Nadim memejamkan mata. “Astaga… ketahuan dari wajahnya…”
“Tuhan…” Nayara berbisik tanpa suara.
Seketika langkah-langkah kecil mendekat dari arah lobby.
“Papa! Mama!”
Seorang anak perempuan berlari kecil ke arah Karina. Rambutnya hitam panjang, kulitnya cerah, posturnya anggun meski baru berusia sepuluh tahun. Ia mengenakan dress putih yang pas dengan tubuh mungilnya.
Aruna.
Aru menoleh cepat dan matanya melebar.
Aruna berhenti tepat di samping ibunya. “Papa, Mama kenapa lama banget? Aku… oh!”
Mata Aruna langsung bertemu dengan mata Aru.
Dua pasang mata kecil itu saling menatap lama. Ada sesuatu yang… aneh. Seperti mereka mengenali sesuatu tanpa pernah diberitahu.
Aru tersenyum duluan. “Hai! Aku Aru!”
Aruna tersenyum tipis. “Aruna.”
Karina memperhatikan interaksi itu dengan wajah kurang nyaman. “Sayang,kenapa menyusul tadi mamah bilang tunggu di mobil saja”
"Habis Mamah dan papah lama” Aruna membantah pelan.
Aru menundukkan kepala, sedikit kagum. “Nama kamu cantik. Kayak… cahaya.”
Aruna tertawa pelan. “Kata Papa, Aruna artinya cahaya.”
Rendra tersenyum tipis, masih memandangi kedua anak itu. Tatapan yang sulit dibaca.
Nadim membisiki Nayara dari balik tembok, “Kak… ini bahaya. Kita harus siap lari kalau—”
“Enggak.” Nayara memotong cepat, suaranya lemah. “Kalau aku lari sekarang… dia akan makin curiga.”
Meski gemetar, ia tetap menahan diri tetap di tempat. Tidak muncul, tapi tidak kabur. Napasnya pendek-pendek, tapi ia tahu… momen ini menentukan.
Karina akhirnya menarik tangan Aruna.
“Ayo masuk. Sudah malam.”
Tapi Aruna tidak langsung ikut. Ia menatap Aru, memiringkan kepala, seakan mencoba mengingat sesuatu. Wajahnya berubah… seperti puzzel yang tiba-tiba menemukan potongan penting.
Aruna memegang tangan Aru. Genggamannya kecil tapi mantap.
“Ar… u…” ia mengucapkannya pelan. “Nama kamu mirip namaku.”
Aru mengangguk polos. “Iya! Kata Ibu… artinya laki-laki yang… kuat!”
Aruna tersenyum. “Kita mirip ya?”
Nadim menelan ludah keras.
Nayara memegangi dinding agar tidak jatuh.
Dan saat Karina ingin menarik Aruna pergi, gadis kecil itu menatap Aru lebih dalam.
Lalu tanpa sadar, ia berkata lirih—cukup keras untuk terdengar semua orang:
“Kita pernah bertemu ya?”
Rendra refleks menoleh. Karina menegang. Nadim menahan napas.
Aru mengerutkan kening. “Pernah? Kapan?”
Aruna memiringkan kepala, seperti mendengar suara dari masa yang ia tidak pernah ingat.
“Aku nggak tahu… tapi rasanya… aku pernah lihat kamu.”