NovelToon NovelToon
REINKARNASI SANG DEWA KEKAYAAN

REINKARNASI SANG DEWA KEKAYAAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Menjadi Pengusaha / Anak Lelaki/Pria Miskin / Romansa / Mengubah Takdir
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Khusus Game

Sinopsis

Arta, Dewa Kekayaan semesta, muak hanya dipuja karena harta dan kekuasaannya. Merasa dirinya hanya 'pelayan pembawa nampan emas', ia memutuskan menanggalkan keilahiannya dan menjatuhkan diri ke dunia fana.

Ia terperangkap dalam tubuh Bima, seorang pemuda miskin yang dibebani utang dan rasa lapar. Di tengah gubuk reot itu, Arta menemukan satu-satunya harta sejati yang tak terhitung: kasih sayang tulus adiknya, Dinda.

Kekuatan dewa Arta telah sirna. Bima kini hanya mengandalkan pikiran jeniusnya yang tajam dalam menganalisis nilai. Misinya adalah melindungi Dinda, melunasi utang, dan membuktikan bahwa kecerdasan adalah mata uang yang paling abadi.

Sanggupkah Dewa Kekayaan yang jatuh ini membangun kerajaan dari debu hanya dengan otaknya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khusus Game, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

EPISODE 1

Di tengah Aula Harta Karun yang megah, tempat tumpukan koin emas seluas bukit dan permata berkedip lebih terang dari bintang, duduklah Dewa Kekayaan. Arta, sang pengelola rezeki semesta, tidak mengenakan jubah mewah melainkan pakaian sederhana seorang akuntan surgawi. Matanya yang biasanya penuh perhitungan kini memancarkan kelelahan.

Jauh di luar dinding aula, terdengar sorak-sorai nyaring dari perayaan yang digelar untuk menghormati Dewa Keberanian yang baru saja kembali dari perbatasan. Semangat dan decak kagum memenuhi seluruh Alam Dewa. Suara tawa dan lantunan musik suci bagaikan ombak yang tidak pernah sampai ke tepi kolam sunyi Arta.

Dewa itu membalik halaman besar buku catatan kekal yang terbuat dari giok putih. Tangan yang menguasai seluruh peredaran rezeki alam semesta ini terasa dingin dan hampa. Dia hanyalah seorang petugas yang menghitung, mengelola, dan mendistribusikan berkat yang paling dicari. Namun, Ironisnya, dia sendiri adalah dewa yang paling diabaikan dalam pesta apa pun.

{Mengapa tak ada yang pernah menawarkan bersulang untukku? Mereka menyembah benda yang kubawa, tetapi bukan diriku. Aku hanya pelayan yang membawa nampan emas, tidak lebih dari itu.}

Tiba-tiba, seorang Pelayan Langit bergegas masuk, nafasnya terengah. Dia hanya menjulurkan sebuah gulungan titah dengan tergesa-gesa, pandangannya terus-menerus melirik ke arah pintu keluar, seolah takut melewatkan keramaian di luar.

"Yang Mulia Dewa Kekayaan," Pelayan Langit itu berkata cepat, tanpa jeda. "Dewi Keberuntungan membutuhkan seribu keranjang rupiah safir untuk mendanai ritual perdamaian di Tiga Alam Bawah. Itu harus segera dikirim."

Arta mengangguk tanpa ekspresi. Permintaan mendadak dan besar seperti itu adalah hal yang biasa. Setiap keberhasilan dewa lain selalu membutuhkan dukungan finansial darinya.

"Sampaikan pada Dewi Keberuntungan," jawab Arta, suaranya datar. "Catatan sudah diperbarui. Pengiriman akan dilakukan sesuai jadwal. Jangan sampai ada kekurangan satu keping pun."

Pelayan Langit itu langsung berbalik tanpa mengucapkan sepatah kata pun terima kasih atau menunggu izin. Dia lari sekencang mungkin menuju sumber perayaan.

Arta menyandarkan punggungnya ke kursi kayu yang keras, kontras dengan tumpukan permata di sekitarnya. Dia menatap pantulan cahaya abadi dari sebuah mahkota berlian di sudut ruangan.

{Semua dewa berlomba mencari pujian dan pengakuan. Aku di sini menjaga timbangan dunia, memastikan semua berjalan adil. Tapi dalam hati mereka, aku hanyalah alat yang selalu dibutuhkan, namun tak pernah dicintai.}

Dia mengambil pena bulu angsa emas dan mencelupkannya ke dalam tinta nebula. Tugasnya adalah memastikan keseimbangan ilahi, menjaga agar tidak ada kekacauan ekonomi surgawi. Dengan desahan pelan, Dewa Kekayaan kembali ke pekerjaannya, kembali menjadi pengawas kekayaan yang tidak pernah dia sentuh untuk kebahagiaannya sendiri.

Ketidakpedulian Alam Dewa akhirnya menjadi titik balik yang tak tertahankan. Arta meletakkan pena bulunya. Cahaya keemasan mulai meredup dari tubuhnya. Dia tidak ingin kekayaan, dia ingin nilai dirinya diakui. Satu-satunya cara adalah melepaskan kekuatan yang mendefinisikannya.

Di hadapan cermin perunggu surgawi, dia mengucapkan deklarasi pengunduran diri sementara. Energi ilahi yang telah dikumpulkannya selama ribuan tahun mulai terurai, meninggalkan hanya inti kesadaran yang murni. Dia tidak memilih tempatnya mendarat; dia hanya memilih untuk menjadi fana, menjadi manusia biasa yang miskin.

{Aku harus tahu, apakah seseorang bisa benar-benar menyayangiku ketika aku tidak memiliki apa-apa untuk ditawarkan, selain diriku yang sebenarnya.}

Sebuah lompatan yang sunyi, tanpa gemuruh atau kilatan petir. Hanya sensasi dingin yang mencengkeram jiwanya saat jatuh dari kemuliaan surga menuju lumpur kehidupan.

Saat Arta membuka matanya lagi, dia disambut oleh realitas yang menyakitkan. Tulang-tulangnya terasa ngilu, seolah baru saja dipukul. Dia terbaring di atas tikar jerami yang menusuk, di dalam gubuk kayu yang rapuh. Tubuh barunya bernama Bima, seorang pemuda yang hidupnya tertekan oleh kemiskinan.

Kepalanya berdenyut hebat. Kenangan Bima tentang rasa lapar, hutang, dan kerja keras yang sia-sia mulai membanjiri kesadaran ilahinya yang kini terperangkap. Ini adalah kesulitan yang nyata, berbeda jauh dari perhitungan angka-angka di buku gioknya.

"Kakak, kau sudah sadar?"

Suara itu lembut, renyah seperti lonceng angin. Bima memutar lehernya yang kaku. Di sampingnya berlutut seorang gadis kecil, sekitar delapan tahun, dengan rambut diikat rapi. Wajahnya yang berbentuk hati dan matanya yang besar membuat ia terlihat luar biasa cantik, bahkan di tengah keputusasaan.

Ini adalah Dinda, adik perempuan Bima. Pakaiannya lusuh, tetapi tangannya yang memegang baskom kecil air terasa hangat dan perhatian.

"Tanganmu berdarah lagi karena memungut kayu bakar. Aku sudah menggantinya dengan perban bersih," bisik Dinda, air matanya mulai menggenang. "Jangan terlalu memaksakan diri, Kakak. Aku takut."

Bima, yang dulunya adalah Arta, menatap gadis itu. Air mata, ketakutan, dan cinta tanpa pamrih. Itu adalah kekayaan yang belum pernah ia kelola. Dinda mencintai kakaknya, Bima, bukan karena kekuasaan atau emas, tetapi karena ia adalah satu-satunya keluarga yang tersisa. Bima mengulurkan tangan yang lemah dan menyentuh kepala adiknya.

{Inikah yang disebut harta yang sesungguhnya? Sebuah ikatan yang tidak bisa diukur, tidak bisa dihitung, dan tidak akan pernah habis.}

Dewa Kekayaan kini adalah seorang pemuda miskin, tetapi untuk pertama kalinya dalam keabadian, dia merasa tidak sendirian.

Ketenangan sesaat itu hancur oleh suara benturan keras di pintu depan.

"Bima! Kami tahu kau sudah sadar! Bayar hutangmu sekarang atau kami bongkar gubuk bobrok ini!"

Tiga sosok besar dengan wajah keras dan pakaian kotor menerobos masuk. Mereka adalah penagih hutang dari rentenir lokal, otot mereka bergelayutan di lengan yang dipenuhi tato.

Dinda menjerit kecil dan langsung menyembunyikan dirinya di balik punggung Bima. Tubuhnya gemetar ketakutan, mencengkeram kain baju kakaknya. Aura kekerasan dan ancaman memenuhi ruangan kecil itu.

Bima merasakan detak jantungnya sendiri, sebuah sensasi asing, berdetak kencang karena adrenalin. Tubuh manusianya lemah, rentan. Namun, pikiran Arta tidak pernah lemah. Mata sang Dewa Kekayaan menyapu ruangan dan para penyerang dalam sepersekian detik.

Analisis itu, perhitungan cepat yang mendetail tentang setiap variabel fisik, masih bekerja sempurna. Itu adalah bakatnya, keterampilan yang tidak bergantung pada kekuatan ilahi. Itu adalah logika murni.

Ketika penagih terdepan mengayunkan tinjunya, Bima bertindak. Bukan dengan sihir, melainkan dengan presisi mekanis. Dia menghindari pukulan itu dengan gerakan minimal, lalu mengarahkan kakinya ke gundukan kecil jerami lembap di lantai yang sudah ia catat. Dalam saat yang sama, ia menggunakan tongkat penyangga yang miring, yang tadinya dikira tongkat, sebagai tuas kecil yang membuat kaki penagih itu tergelincir sempurna.

Pria besar itu oleng, tubuhnya yang besar jatuh menimpa dua rekannya di belakang. Tiga penagih itu ambruk dalam tumpukan yang memalukan di atas tikar kotor, lebih terkejut daripada terluka.

"Kami akan kembali!" teriak pemimpin kelompok itu dengan wajah merah karena marah dan rasa malu, sebelum bergegas bangun dan menyeret rekan-rekannya keluar dari gubuk itu.

Bima berdiri tegak, napasnya berderu, tetapi matanya tenang. Dia membungkuk dan memeluk Dinda.

"Jangan takut, Dinda. Mereka tidak akan datang lagi," katanya menenangkan.

Dinda mendongak, matanya yang indah penuh kekaguman. "Kakak... kau hebat sekali."

Bima memejamkan mata. Rasa bangga yang aneh menjalari dirinya. Ini lebih berharga daripada semua pemujaan di Alam Dewa.

{Kekuatan ilahiku mungkin telah hilang, tetapi pikiranku tetap menjadi alat rezeki yang paling tajam. Aku dapat melihat setiap nilai, setiap peluang, setiap kerugian, bahkan dalam debu.}

Dia melihat ke sekeliling gubuk. Lubang di atap bukan lagi kerusakan, melainkan harga kayu untuk perbaikan.

Bima, sang Dewa Kekayaan yang terperangkap, kini menatap adiknya yang tersenyum. Tekadnya mengeras, tidak lagi untuk mencari pengakuan ilahi, tetapi untuk membangun kekayaan yang nyata dan abadi.

{Mulai sekarang, aku tidak akan menghitung kekayaan Alam Dewa. Aku akan menciptakan kekayaan duniaku sendiri. Aku akan membuat hidup Dinda bahagia. Dan aku tahu persis bagaimana memulainya.}

1
Dewiendahsetiowati
ceritanya bikin nagih baca terus
Dewiendahsetiowati
hadir thor
Khusus Game: halo, ka. selamat membaca, sorry ya baru cek komen🙏😄
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!