NovelToon NovelToon
MERENDAH UNTUK MELANGIT

MERENDAH UNTUK MELANGIT

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Sekolah/Kampus / Kehidupan di Kantor / Kebangkitan pecundang / Bepergian untuk menjadi kaya / Romansa / Mengubah Takdir
Popularitas:5.8k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

​Di Desa Asri yang terpencil, Fajar Baskara, seorang pemuda multitalenta ahli pengobatan tradisional, harus menyaksikan keluarganya hancur—ayahnya lumpuh karena sabotase, dan adiknya difitnah mencuri—semuanya karena kemiskinan dan hinaan. Setiap hari, ia dihina, diremehkan oleh tetangga, dosen arogan, bahkan dokter lulusan luar negeri.
​Namun, Fajar memegang satu janji membara: membuktikan bahwa orang yang paling direndahkan justru bisa melangit lebih tinggi dari siapapun.
​Dari sepeda tua dan modal nekat, Fajar memulai perjuangan epik melawan pengkhianatan brutal dan diskriminasi kelas. Mampukah Fajar mengubah hinaan menjadi sayap, dan membuktikan pada dunia bahwa kerendahan hati sejati adalah kekuatan terbesar untuk meraih puncak kesuksesan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

MODAL TERKUMPUL - TRIO TERBENTUK

Empat setengah bulan kemudian.

Fajar duduk di kamar kosnya yang sempit, menatap tumpukan uang di atas kasur tipisnya dengan tangan gemetar. Uang itu ia susun rapi berdasarkan nominal—lembar demi lembar yang sudah ia hitung berkali-kali sejak tadi malam, takut salah hitung.

Lima ratus ribuan: lima lembar.

Seratus ribuan: lima belas lembar.

Lima puluh ribuan: dua puluh lembar.

Total: Tiga juta rupiah.

Tiga juta rupiah hasil keringat murni.

Empat setengah bulan pengorbanan yang luar biasa brutal.

Fajar menatap uang itu dengan mata berkaca-kaca. Tangannya gemetar mengusap wajahnya yang sudah sangat kurus—tulang pipinya menonjol tajam, mata cekung dengan lingkaran hitam pekat, kulit kusam keabu-abuan. Berat badannya turun dua belas kilogram dalam empat setengah bulan. Dari yang sudah kurus, sekarang menjadi kurus kering seperti orang sakit.

Harga yang harus ia bayar untuk tiga juta ini sangat mahal.

Sangat mahal.

Empat setengah bulan makan sekali sehari—kadang bahkan tidak makan sama sekali, hanya minum air keran sampai perut terasa penuh. Empat setengah bulan kerja di warung dari jam tiga sore sampai jam sepuluh malam setiap hari tanpa libur—bahkan saat sakit ia tetap kerja, bahkan saat demam tinggi ia tetap cuci piring. Empat setengah bulan jalan kaki pulang pergi ke kampus untuk hemat ongkos—sepuluh kilometer sehari, kaki penuh lecet dan berdarah. Empat setengah bulan tidur hanya empat jam sehari karena harus belajar untuk pertahankan IPK beasiswa. Empat setengah bulan hidup dalam tekanan mental yang luar biasa—kangen keluarga, khawatir Rani, takut gagal, takut semua pengorbanan sia-sia.

Tapi ia berhasil.

Ia mengumpulkan tiga juta rupiah.

Dengan keringat murni.

Dengan darah—secara literal, karena tangannya sering terluka saat cuci piring dengan air panas dan deterjen keras.

Dengan air mata yang ia tumpahkan setiap malam di kamar sempit ini ketika tubuhnya sudah tidak kuat lagi tapi ia harus tetap kuat.

"Akhirnya..." bisiknya dengan suara sangat bergetar. Air matanya jatuh membasahi uang-uang itu. "Akhirnya aku berhasil. Aku buktikan aku bisa. Aku nggak cuma omong doang."

Ia memeluk tumpukan uang itu erat-erat, menangis keras-keras di kamar yang sunyi.

Menangis lega.

Menangis bangga.

Menangis karena ia tahu—ini bukan akhir, tapi baru permulaan. Tapi setidaknya, ia sudah membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia bisa.

Sore itu, Fajar, Reza, dan Pak Ganes bertemu di warung Mbok Jumi. Mbok Jumi yang tahu akan ada "rapat penting" sengaja menutup warung lebih awal dan menyiapkan meja khusus untuk mereka bertiga—lengkap dengan teh manis hangat dan gorengan.

"Ini traktiran Ibu," kata Mbok Jumi sambil tersenyum hangat. "Untuk merayakan milestone kalian. Ibu bangga, Nak. Sangat bangga."

"Terima kasih, Bu," kata Fajar dengan senyum tulus. Tanpa Mbok Jumi, ia tidak akan pernah bisa sampai sejauh ini.

Reza datang dengan tas ransel besar. Pak Ganes datang dengan baju yang sudah ia setrika rapi—jarang sekali Pak Ganes pakai baju rapi, biasanya hanya kaos lusuh tukang becak. Tapi hari ini spesial.

Fajar mengeluarkan amplop cokelat tebal berisi tiga juta rupiah, meletakkannya di tengah meja dengan hati-hati—seolah itu adalah harta karun paling berharga di dunia.

"Ini," katanya dengan suara bergetar penuh emosi, "tiga juta rupiah. Hasil kerja keras empat setengah bulan. Keringat murni. Ini kontribusi aku sebagai founding partner."

Reza menatap amplop itu lama sekali. Ia tahu persis apa yang Fajar korbankan untuk mengumpulkan uang itu. Ia melihat sendiri bagaimana Fajar berubah dari pemuda kurus menjadi pemuda kurus kering yang hampir seperti mayat hidup. Ia ingat betul beberapa kali Fajar hampir pingsan di kampus karena kurang makan. Ia ingat bagaimana Fajar sering terlihat sempoyongan jalan karena kelelahan.

"Jar..." suara Reza bergetar. "Kamu... kamu nggak perlu sampai segitunya, Bro. Seriously. Aku bisa—"

"Aku perlu," potong Fajar tegas tapi lembut. "Aku perlu buktikan—bukan cuma pada orang lain, tapi pada diriku sendiri—bahwa aku bisa. Dan sekarang aku udah buktikan."

Ia tersenyum—senyum yang sangat lelah tapi sangat puas.

Reza menghapus matanya yang berkaca-kaca cepat. Kemudian ia mengeluarkan amplop dari tas ranselnya—amplop putih mewah dengan logo bank.

"Ini lima juta rupiah," katanya sambil meletakkan amplop itu di samping amplop Fajar. "Kontribusi aku sebagai co-founder dan investor."

"Reza, kita kan udah sepakat—"

"Dengar dulu," potong Reza dengan nada serius tapi ramah. "Kita sepakat kamu yang kumpulin modal awal sendiri untuk buktikan diri. Dan kamu udah buktikan. Kamu lebih dari buktikan—kamu sacrifice hampir segalanya. Sekarang giliran aku contribute sebagai partner yang equal. Ini bukan charity. Ini bukan kasihan. Ini adalah investment dari partner yang percaya 100% sama bisnis ini. Fair?"

Fajar terdiam. Hatinya sesak—tidak tahu harus bilang apa.

"Dan lagi," Reza melanjutkan sambil tersenyum, "kamu pikir tiga juta cukup? Kita butuh minimal delapan juta untuk start dengan proper: sewa ruko, mesin cuci bekas yang layak, deterjen stok awal, branding material, marketing material, operational cost bulan pertama. Tiga juta nggak akan cukup. Jadi ini bukan aku yang 'bantu'—ini aku yang 'butuh' invest lebih besar agar bisnis kita bisa jalan dengan layak."

Pak Ganes yang dari tadi diam mendengarkan, tiba-tiba angkat bicara dengan suara yang penuh wisdom.

"Nak Reza benar," katanya sambil menatap Fajar dengan tatapan hangat seorang ayah. "Bisnis itu butuh modal yang cukup. Kalau modal terlalu pas-pasan, sedikit masalah aja langsung collapse. Kamu udah buktikan diri dengan kumpulin tiga juta. Itu prestasi luar biasa. Sekarang terima contribution dari partner dengan ikhlas. Karena bisnis yang baik adalah bisnis yang dibangun bersama, bukan sendirian."

Fajar menatap mereka berdua—Reza yang menatapnya dengan penuh respek, Pak Ganes yang tersenyum hangat seperti ayah kandungnya sendiri. Dadanya sesak. Matanya panas.

"Oke," katanya akhirnya dengan suara bergetar. "Oke. Terima kasih. Terima kasih banyak."

"Jadi total kita punya delapan juta," kata Reza sambil menghitung. "Cukup untuk start dengan proper. Tapi masih ada satu masalah—"

"Tenaga kerja," sambung Pak Ganes.

"Exactly," Reza mengangguk. "Kita butuh minimal dua orang untuk operasional. Satu handle washing dan drying, satu handle customer service dan delivery. Fajar nggak mungkin handle semua sendirian sambil kuliah. Tapi kalau kita hire orang dari luar, kita butuh gaji—minimal dua juta per orang per bulan. Itu empat juta sebulan. Sementara kita belum tahu omzet bulan pertama bakal gimana."

Keheningan.

Semua memikirkan solusi.

Pak Ganes tiba-tiba tersenyum—senyum yang penuh determination.

"Aku mau bantu," katanya dengan suara tegas.

Fajar dan Reza langsung menatapnya dengan tatapan bingung.

"Pak Ganes maksudnya gimana?" tanya Fajar.

"Aku mau jadi tenaga kerja kalian," jawab Pak Ganes dengan senyum lebar. "Gratis. Nggak perlu gaji. Cukup kasih aku makan sama transportasi kalau perlu antar-jemput laundry."

"TIDAK!" Fajar langsung membentak—bentak pertama yang ia lakukan pada Pak Ganes. "Pak Ganes nggak boleh kerja gratis! Itu nggak adil! Bapak sudah tua, Bapak sudah capek jadi tukang becak bertahun-tahun—"

"Justru karena aku sudah tua," potong Pak Ganes dengan suara sangat lembut tapi tegas, "aku pengen ngelakuin sesuatu yang meaningful di sisa hidup aku, Nak."

Ia menatap Fajar dan Reza dengan mata berkaca-kaca.

"Aku udah puluhan tahun jadi tukang becak. Setiap hari ngayuh becak keliling kota, angkut penumpang, dapet bayaran pas-pasan, pulang ke gubuk kecil sendirian. Hidup aku... monoton. Hampa. Aku nggak punya istri lagi—dia udah meninggal. Anak aku jauh, sibuk dengan hidupnya sendiri. Aku... aku kesepian, Nak. Kesepian yang luar biasa."

Suaranya bergetar sangat kuat.

"Tapi sejak ketemu kalian berdua—terutama kamu, Fajar—aku merasa... aku merasa punya purpose lagi. Aku merasa hidup aku ada artinya. Aku merasa aku bisa contribute ke sesuatu yang lebih besar dari sekadar ngayuh becak setiap hari sampai mati."

Air matanya jatuh perlahan.

"Aku mau lihat anak muda kayak kalian sukses dengan cara yang benar. Dengan kerja keras. Dengan integritas. Bukan dengan cara kotor kayak yang banyak terjadi sekarang. Dan aku mau jadi part of that journey. Aku mau ngerasa aku berguna. Aku mau ngerasa hidup aku meaningful."

Pak Ganes mengusap air matanya dengan punggung tangan yang kasar penuh kapalan.

"Jadi please... please izinkan aku jadi bagian dari tim kalian. Nggak perlu gaji. Cukup kasih aku makan dan tempat untuk ngerasa aku dibutuhin. Itu udah lebih dari cukup buat orang tua kayak aku."

Fajar dan Reza terdiam total. Keduanya tidak bisa berkata apa-apa. Terlalu terharu. Terlalu tersentuh.

Mbok Jumi yang mendengar dari dapur menangis diam-diam sambil menutupi mulutnya dengan ujung kerudungnya.

Fajar akhirnya berdiri, berjalan menghampiri Pak Ganes, kemudian berlutut di depan kursi tua itu dan memeluk Pak Ganes erat-erat.

"Pak Ganes..." isaknya dengan suara bergetar keras. "Terima kasih. Terima kasih banyak. Bapak... Bapak kayak ayah kedua buat aku. Aku nggak akan pernah bisa balas kebaikan Bapak."

"Nggak usah dibales, Nak," bisik Pak Ganes sambil mengelus kepala Fajar dengan lembut—persis seperti ayah mengelus kepala anaknya. "Cukup kamu sukses. Itu udah balasan terbesar buat aku."

Reza juga berdiri, bergabung dalam pelukan itu. Tiga orang dari latar belakang yang sangat berbeda—anak petani miskin, anak konglomerat, dan mantan pengusaha yang sekarang tukang becak—sekarang bersatu dalam satu visi yang sama.

"Kita akan sukses, Pak," kata Reza dengan suara bergetar. "Kita akan buktikan bahwa bisnis yang dibangun dengan integritas bisa menang. Dan Bapak akan jadi bagian penting dari kesuksesan itu."

Mereka bertiga berpelukan lama—pelukan yang penuh emosi, penuh tekad, penuh harapan.

Mbok Jumi keluar dari dapur dengan mata merah bengkak, membawa nampan berisi nasi dan lauk-pauk.

"Udah," katanya sambil tersenyum walau air matanya masih mengalir. "Udah nangis-nangisnya. Sekarang makan dulu. Kalian butuh energi untuk mulai kerja besok."

Mereka makan bersama malam itu—makan dengan hati yang sangat penuh. Bukan karena makanannya enak—meski memang enak—tapi karena mereka merasakan sesuatu yang sangat langka di dunia yang kejam ini: genuine connection. Genuine care. Genuine partnership yang bukan berdasarkan uang atau kepentingan, tapi berdasarkan respect dan cinta yang tulus.

Setelah makan, mereka berdiskusi detail tentang rencana ke depan.

"Jadi," kata Reza sambil membuka laptopnya, "priority kita sekarang adalah cari lokasi. Kita butuh ruko atau tempat usaha yang strategis—deket kos-kosan mahasiswa, affordable, dan cukup untuk mesin cuci, area jemur, dan customer service area."

"Budget untuk sewa?" tanya Pak Ganes.

"Maksimal dua juta per bulan," jawab Fajar setelah menghitung cepat. "Dari delapan juta, kita alokasikan tiga juta untuk mesin cuci bekas, satu juta untuk deterjen dan supplies, satu juta untuk branding dan marketing materials, satu juta untuk operational cost bulan pertama. Sisanya dua juta untuk sewa bulan pertama."

"Dua juta untuk lokasi strategis di kota ini..." Pak Ganes menggeleng pelan. "Susah, Nak. Tapi nggak mustahil. Kita harus rajin hunting."

"Besok kita mulai," kata Reza dengan semangat. "Aku udah list 20 lokasi potensial dari internet dan dari temen-temen yang sewa ruko. Kita survey satu-satu."

"Aku ikut," kata Pak Ganes. "Aku kenal kota ini lebih baik dari kalian. Aku udah puluhan tahun ngayuh becak kemana-mana. Aku tahu mana lokasi yang bagus dan mana yang nggak."

Fajar tersenyum lebar—senyum yang penuh harap. "Kita akan dapat tempat yang pas. Aku yakin."

"Dan satu lagi," Reza mengeluarkan selembar kertas. "Ini draft nama brand dan tagline yang aku bikin. Mau denger?"

"Pasti!"

"BUMI BERSIH LAUNDRY," Reza membaca dengan suara jelas dan penuh pride. "Tagline: Bersih, Jujur, Terjangkau."

Keheningan sejenak.

Kemudian Fajar tersenyum sangat lebar—senyum paling lebar yang pernah ia tunjukkan dalam berbulan-bulan.

"Perfect," katanya dengan suara bergetar emosi. "Bumi Bersih. Aku suka. Simple, memorable, dan meaningful. Dan taglinenya... tepat banget. Itu exactly value yang kita mau tawarkan."

"Bumi Bersih," ulang Pak Ganes sambil mengangguk-angguk. "Bagus, Nak. Bagus banget. Nama yang sederhana tapi punya makna dalam."

Reza tersenyum puas. "Oke, jadi officially, mulai hari ini, kita adalah BUMI BERSIH LAUNDRY. Partnership antara Fajar Baskara, Reza Maheswara, dan—" ia menatap Pak Ganes dengan senyum, "Pak Ganes. The unlikely trio yang akan revolutionize bisnis laundry mahasiswa di kota ini."

Mereka bertiga tertawa—tawa yang tulus, tawa yang penuh harap, tawa yang mengusir semua kegelapan yang pernah mereka alami.

Malam itu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Fajar merasa...

Ia tidak sendirian lagi.

Ia punya tim.

Ia punya keluarga baru.

Dan bersama mereka, ia yakin—ia pasti bisa melangit.

1
Sean Eagle
yg gue bingung Fajar ini masih umur 5 tahun kah thor ?......dikit dikit nangis
Dri Andri: terlalu pedih hidupnya
total 1 replies
ceuceu
sebenarnya kasian sm fajar,tapi kerasnya yg bikin greget,ga mau minta bantuan akhirnya kerja trs ampe sakit,biaya rumah sakit gede kn .
lama" ngeselin fajar.
Meru Kristanto
udah tamatkah
Dri Andri: belum kak... aku belum update bab... masih update 2 novel lain Sultan setelah koma dan cinta beda alam

mungkin bab ini sekarang update tunggu ya 😊
total 1 replies
ceuceu
Masyaa Allah ikut senang nereka sukses bersama/Good//Good//Good/
Dri Andri: iya makasih hadirnya yah
total 1 replies
Adek Denu
nice thor💪😍
Dri Andri: makasi
total 1 replies
Dewiendahsetiowati
semoga cepat clear masalah Fajar dan Damar dapat hukuman
Dri Andri: susah kak... karena dari keluarga kaya koneksi besar hukum bisa di tutup dengan cuan
total 1 replies
ceuceu
terimakasih update nya thor
Dri Andri: sama sama makasih juga dukungan lewat komentarnya
total 1 replies
ceuceu
thor rani apa kabarnya pengacara david udh nanganin kasusnya blm?
Dri Andri: hehehe kelupaan.. kebawa suasana cerita kuliah,,, pokus dulu aja di sini
total 1 replies
ceuceu
gedeg bgt blm apa" udh ada pengacau
Dri Andri: 🤭minum dulu jngn terbawa suasana
total 1 replies
Dri Andri
ya seperti parkiran.... kan beda di sana kota... sama bahan bakar yang pake🤭
ceuceu
thor bukan nya sepeda ga pake bensin ya?
kok demi hemat fajar ga bawa sepeda ke kampus?
kalaw jalan kaki bukan nya hemat malah lebih boros di waktu dan tenaga.
Dri Andri
sama....bukan lebay yah aku aja yang tulis mau nangis
ceuceu
tiap bab penuh bawang/Sob/
Dri Andri: sama.... bukan lebay ya... aku aja yng tulis sampe mau nangis
total 1 replies
ceuceu
ga tega bgt fajar/Sob/
Dri Andri
sabar yaa
Dri Andri
terimakasih udah selalu hadir di novel saya.... ini suatu kebangaan bagi saya 🙏
Dri Andri
Terimakasih kak udah selalu hadir di novel saya ini suatu kebangaan bagi saya
Dewiendahsetiowati
bikin dada nyesek.baca 😭😭
Dewiendahsetiowati
hadir thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!