Saat kehamilan itu benar-benar terjadi pada Livia, dia bermaksud memberikan kejutan dengan datang ke kantor suaminya untuk mengabarkan kabar bahagia tersebut.
Tapi apa yang dia dapatkan, sangatlah mengguncang perasaannya.
Ternyata di ruangannya, Alex tengah bersama seorang wanita berparas lembut, dengan gadis kecil yang duduk di pangkuannya.
Bukannya merasa bersalah, setelah kejadian itu Alex malah memberi pernyataan, "kita berpisah saja!" Betapa hancur hati Livia. Dia tak menyangka, Alex yang begitu
mencintainya, dengan mudah mengatakan kata-kata perpisahan. Lalu apa jadinya jika suatu hari Alex mengetahui kalau dia sudah menelantarkan darah dagingnya sendiri dan malah memberikan kasih sayangnya pada anak yang tidak ada hubungan darah dengannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KERIBUTAN
Aurel ke luar dari ruangan Ishana dengan langkah penuh kemenangan. Wajahnya yang tadi suram, kini dihiasi seringai culas dan penuh rasa puas.
Dia teringat tadi, bagaimana wajah ketakutan Ishana.
Dan Aurel senang karena merasa sudah menancapkan belati dalam-dalam ke hati Ishana.
Kini langkahnya ringan menyusuri koridor rumah sakit. Sesekali matanya melihat para pasien yang akan berobat. Tapi rasa senang itu hanya berlangsung beberapa saat... sampai matanya menangkap pemandangan di depan poli kandungan.
Ia berhenti mendadak.
Tepat di kursi tunggu, duduk sepasang pria dan wanita. Sang wanita bersandar manja di bahu si pria, tangan mereka saling menggenggam, seolah dunia ini hanya milik mereka berdua. Wanita itu mengenakan baju hamil longgar. Sesekali si lelaki berbisik, membuat Wajah wanita itu berseri-seri penuh cinta.
Dan si pria...
"Apa-apaan ini..." gumam Aurel. Matanya membelalak. Napasnya memburu. Darahnya langsung naik ke kepala.
Itu Barly.
Suaminya.
Tanpa pikir panjang, Aurel menerjang ke arah mereka. Sepatunya berderap keras, tangannya langsung menarik rambut perempuan itu, membuat semua mata di lorong rumah sakit menoleh.
"PELAC*R!!!" Aurel menjerit histeris. "Berani-beraninya kamu duduk mesra sama suami orang di tempat umum?!"
Perempuan itu terkejut. Rambutnya ditarik. Ia menjerit dan mencoba melepaskan diri. Tapi Aurel lebih cepat.
PLAK!
Tamparan keras mendarat di pipi wanita itu. Kepala perempuan itu terpelanting ke samping.
"APA KAMU GAK PUNYA MALU?! НАН?!"
Barly berdiri, berusaha memisahkan mereka. Tapi Aurel justru makin menggila. Dia menampar dada Barly berulang kali, mendorongnya, mencaci maki tanpa ampun.
"Jadi bener, ya?! Kamu hamilin perempuan ini?! Kamu selingkuh, nikah diam-diam, terus jalan-jalan kayak pasangan halal?!"
"BISA TENANG GAK, SIH?!" bentak Barly, tiba-tiba kehilangan kesabaran.
"GAK BISA, PENGKHIANAT!!"
PLAK!
Tamparan Barly mendarat keras di pipi Aurel, menghentikan teriakan wanita itu. Suasana langsung hening. Beberapa orang menjerit pelan. Perawat menutup mulut. Semua mata terbelalak.
Aurel terdiam beberapa detik. Matanya menatap suaminya tajam... lalu dia tersenyum miring.
"Bagus. Bagus sekali." Suaranya pelan tapi menggigit.
"Kamu tampar aku... di depan selingkuhanmu? Kamu bela dia di depan umum? Dan lebih parah, diam-diam kamu menikah siri setelah menghamilinya?! TANPA SEPENGETAHUAN AKU!!" Teriakan Aurel semakin menggema. Telunjuk dan matanya mengarah tajam pada perempuan yang sudah merebut suaminya.
"Kamu pikir aku akan diam saja, Barly?" Suaranya mulai bergetar, bukan karena takut, tapi karena amarah yang sudah tak bisa ditahan lagi.
"Kamu pikir aku perempuan lemah yang bisa kamu perlakukan seenaknya? Aku akan laporkan kamu dan pelac"rmu ke polisi, atas tuduhan perzinahan dan perselingkuhan! Kamu tau akibatnya?"
Barly tampak pucat.
"Ya. Hukum pidana! Penjara, Barly! Tujuh tahun!"
Lalu Aurel kembali menunjuk ke arah wanita yang kini ketakutan dan bersembunyi di balik Barly.
"Dan kamu! Siap-siap saja. Kamu akan melahirkan
Anakmu di dalam penjara!"
Wajah kedua peselingkuh itu semakin pucat. Barly tahu, Aurel tidak akan main-main dengan ucapannya.
Di tengah keriuhan, beberapa petugas keamanan
datang. Mereka mencoba melerai pertengkaran itu. Tapi Aurel sempat meludah ke lantai sebelum ditarik menjauh.
"Aku tak akan mati sendirian, Barly. Kalau aku jatuh, kalian ikut hancur!"
Di sekeliling mereka, ibu-ibu hamil yang dari tadi hanya jadi penonton, akhirnya ikut buka suara. Kata-kata nyinyir pun mengalir saling bersahutan, memojokkan si pelakor, musuh para istri sah.
"Lagaknya saja dari tadi kayak bini sah. Ternyata cuma istri simpenan!"
"Kalau saya yang jadi istrinya, udah saya unyeng-unyeng tuh pelakor sampe palanya botak!"
""Ih, hamil dari hasil ngerebut suami orang. Gak kasihan apa, nanti tuh anak lahir, langsung dibully netizen?"
Hahaha... tawa mereka menggema.
Beberapa berdiri dari kursi, ikut menunjuk-nunjuk ke arah wanita simpanan Barly yang makin pucat dan gemetar.
"Muka kayak gitu masih berani tampil di tempat umum. Gak malu, ya?"
Salah satu ibu hamil mendekat, berdiri tepat di depan Barly.
"Pak, situ sadar tidak? Seharusnya anda memperbaiki diri, menjadi ayah yang baik dan bisa dibanggakan, bukan malah menghamili wanita lain dan menghancurkan perasaan anak dan istri mas. Apalagi tadi menampar istri sah di depan umum? Dasar laki-laki gak punya otak!"
Barly hanya bisa terdiam, mulutnya mengatup rapat, sementara para ibu-ibu lain masih menyorotkan kamera ponsel mereka yang dari tadi merekam kejadian itu.
"Rekaman ini akan masuk akun gosip!"
"Biar viral! Biar orang-orang tau muka pelakor yang lagi naik daun ini!"
"Eh, Mas Barly ya? Pegawai instansi kan? Waduh, bisa-bisa dipecat nih!"
Suara mereka tumpang tindih, makin panas. Suasana jadi kacau, bukan karena Aurel, tapi karena amarah para perempuan yang merasa ikut tertampar oleh penghinaan terhadap istri sah.
Aurel berdiri tegak. Meski pipinya masih memerah, tapi sorot matanya tajam. Dia tak butuh simpati. Dia hanya ingin balas dendam tuntas, dan hari ini-semesta mendukung.
Ia menatap mereka satu per satu. Dingin, penuh dendam, penuh bara.
Aurel keluar dari rumah sakit dengan langkah cepat.
Wajahnya masih panas karena tamparan Barly, tapi amarahnya jauh lebih besar dari rasa sakit itu. Beberapa orang masih menatapnya, beberapa masih merekam. Tapi Aurel tak peduli.
Dia membuka pintu mobilnya. Sebelum masuk, Aurel dihampiri oleh seorang ibu hamil muda. Nafasnya ngos-ngosan karena tadi ikut ribut.
"Bu Aurel!" panggilnya.
Aurel menoleh cepat. "Iya?"
"Saya rekam semua kejadian tadi. Dari awal sampe pak Barly nampar Ibu. Saya menyimpannya di ponsel saya, mau saya kirim ke Ibu juga."
Aurel mengernyit. "Ibu rekam?"
"Iya. Ibu-ibu tadi juga pada rekam, tapi saya yang paling lengkap. Saya juga udah screenshot wajah perempuan itu, dan story Instagram-nya."
Tanpa banyak tanya, Aurel ambil ponsel dan minta file dikirim via WhatsApp. Begitu selesai, dia cuma berkata, "Terima kasih. Ini sangat berarti."
Wanita hamil itu mengangguk senang.
Aurel pun masuk ke dalam mobilnya. Matanya kosong, tapi hatinya bulat. Dengan rekaman itu dia siap melawan.
Aurel langsung menginjak pedal gas. Tangannya
Gemetar saat memegang setir, tapi pikirannya sudah bulat.
Tidak ada lagi ruang untuk pertimbangan.
Dia akan pergi ke kantor polisi untuk melaporkan Barly dan selingkuhannya. Tapi sebelum itu dia mampir dulu ke rumahnya untuk mengumpulkan semua dokumen yang terhubung. Karena pasti semua itu akan diperlukan untuk melengkapi laporannya.
Setelah semua dokumen terkumpul, iapun membawanya ke kantor polisi.
Setiba di kantor polisi, Aurel langsung menuju bagian resepsionis.
"Selamat siang, Bu. Ada yang bisa kami bantu?"
"Ya. Saya mau melaporkan suami saya atas dugaan perzinahan dan pernikahan siri tanpa izin saya sebagai istri sah."
Petugas sedikit terkejut, tapi segera bersikap profesional.
"Boleh saya lihat identitasnya, Bu?"
Aurel menyerahkan KTP dan surat nikahnya. Matanya lurus. Tidak ada air mata. Hanya aura dingin dan tegas.
"Nama suami saya Barly Armandio. Dia menikah lagi secara diam-diam dengan perempuan lain. Saya punya bukti video, foto, dan saksi langsung. Bahkan tadi dia menampar saya di depan umum."
Petugas mencatat. "Baik. Akan kami proses sesuai
Hukum yang berlaku. Ibu bersedia membuat laporan tertulis?"
"Sangat bersedia."
Aurel duduk dan mulai menceritakan kronologi. Kata demi kata direkam oleh petugas. Tentang pernikahan mereka. Tentang perselingkuhan. Tentang kejadian hari ini. Tentang tamparan itu.
Saat petugas meminta bukti, Aurel mengirimkan video yang barusan dikirim salah satu ibu hamil lewat WhatsApp.
"Ini semua kejadian real-time. Di depan umum. Banyak saksi."
Petugas mengangguk. "Kami akan tindak lanjuti, Bu. Jika terbukti, pelaku dapat dijerat pasal perzinahan dan pelanggaran UU perkawinan. Ancaman hukumannya jelas. Ibu siap jika perkara ini masuk ke jalur pidana?"
Aurel menatap petugas itu lurus. "Saya tidak main-main. Saya mau dia dipenjara."
Aurel sadar, lelaki yang akan ia jebloskan ke penjara adalah ayah dari anak-anaknya.
Tapi dia juga sadar, kalau ini didiamkan, maka harga dirinya akan diinjak-injak untuk selamanya. Dan Aurel tidak sudi harga dirinya diinjak-injak.
Sean melangkahkan kaki panjangnya memasuki
Brilliant Consulting dengan penuh percaya diri tinggi.
Setiap mata memandang penuh rasa kagum pada atasan tertinggi mereka.
Setiap sapaan dari para pegawainya, dibalas dengan penuh wibawa.
Tiba di ruangannya, dia langsung meminta sekretarisnya untuk memanggil Brenda ke ruangannya.
Tak berapa lama, seorang perempuan muda seusia
Livia datang dengan wajah bingung. Tapi dalam hatinya ada ketakutan besar. Seolah ia sadar, telah melakukan kesalahan besar.
"A-ada memanggil saya, pak?" Tanyanya dengan kepala tertunduk.
"Iya, silahkan duduk!"
Brenda duduk di hadapan Sean yang dibatasi meja kerja.
"Saya yakin, kamu tahu alasan saya kenapa memanggil kamu ke sini." Tanpa basa-basi, Sean langsung bicara ke pokok permasalahan. Dan Brenda semakin menunduk.
"Sudah beberapa lama saya meminta pihak disipliner karyawan untuk memantau kamu. Dan hasilnya, tidak diragukan lagi. Kamu sudah melanggar secara sah, kebijakan di perusahaan ini. Kinerja kamu juga tidak memuaskan. Banyak klien yang menolak ditangani kamu. Bahkan kamu sudah mencoba mengadu domba saya dengan istri saya. Tapi sayangnya, kamu tidak berhasil.
Untuk semua kesalahan itu, perusahaan ini memutus hubungan kerja denganmu. Mulai saat ini kamu bukan karyawan di perusahaan ini lagi. Kamu dipecat secara tidak hormat!"
Suara Sean sangat tenang, tapi tegas dan tajam.
Brenda terpaku. Wajahnya pucat, kedua tangannya mengepal di atas lutut. Nafasnya terasa berat, seolah udara di ruangan itu tiba-tiba lenyap.
"Pak, saya... saya bisa jelaskan," ucapnya lirih, mencoba bangkit dari keterpurukan yang datang mendadak.
Sean menatapnya datar. "Saya tidak butuh penjelasan. Saya butuh tanggung jawab. Dan kamu sudah gagal memberikannya."
Brenda menggigit bibir bawahnya. Sorot matanya mulai bergetar, tapi Sean tidak menunjukkan sedikit pun empati. Baginya, keputusan ini sudah final.
"Berkas pemecatanmu akan segera diserahkan. Kamu punya waktu satu jam untuk mengemasi barang-barangmu. Setelah itu, akses masukmu ke semua sistem perusahaan akan diblokir permanen."
Brenda tak mampu berkata apa-apa. Matanya mulai memerah, tapi ia tahu menangis di depan Sean hanya akan mempermalukan dirinya lebih dalam. Dengan pelan, ia bangkit dari kursi, membungkuk kaku, lalu melangkah keluar tanpa menoleh sedikit pun.
Begitu pintu tertutup, Sean menyandarkan tubuhnya ke kursi kerja. Ia menghela napas panjang, menyapu wajah dengan telapak tangan.
Perusahaan ini harus tetap berdiri tegak, dan ia tidak akan membiarkan satu orang pun merusaknya. Terutama yang mencoba mengganggu keluarganya.