Calista Queen Alexander menatap nanar jasad suaminya yang berada dipangkuannya,karena merasa tidak dapat hidup sendiri,tanpa pikir panjang Calista mengakhiri hidupnya,berharap bisa bertemu lagi dengan sang suami,
Namun bukannya pergi ke alam baka bertemu sang suami,Tuhan memberikan kesempatan kedua untuknya,,
Calista yang menyadari akan kesempatan kedua kehidupannya bertekad akan membalas dendam kepada orang-orang yang sudah merenggut kebahagiaannya,,
Hanya karya fiktif dari kehaluan penulis...!!
Adapun nama tempat ,makanan serta latar kebiasaan hanya fiktif belaka.
Kalaupun ada kesamaan nama tempat dan makanan serta latar dengan dunia nyata,mohon maklum tidak ada niat menjelekkan atau mencemarkan hal tersebut.
Harap diingat novel bertema Halu ya genks,,,jadi isinya hanya dunia halu,,🤭🤭semoga sukaaa,,,,,🥰🥰
happy reading,,,,🥰🥰🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Athena_25, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SLOC_01
Hallo readers, Perkenalkan aku Athena, penulis novel SECOND LIFE OF CALISTA.
Kalian bisa memanggilku mami Athena, novel ini alurnya Slowly alias tidak terburu-buru, seperti contoh, alur yang terburu-buru: mc yang awalnya lemah satu detik kemudian langsung berubah jadi wonder women, tidak ya sayang...
Disini semua berproses pelan-pelan tapi pasti.
Karakter MC cewenya badas, tidak menye-menye.
Jadi untuk kalian yang suka MC badas kalian tidak salah lapak. Semoga suka dengan karya mami 🤗
HAPPY READING...
Darah mengalun di lantai sepi,
Cinta dan dendam berpadu menjadi satu.
Nafas terakhir berbisik, " Pergilah!"
Tapi takdir menulis: "Kembali, dan bertaruh!"
Kabut pagi menyelinap lewat jendela pecah gedung tua, menyapu bau besi tua dan darah segar.
Di lantai beton yang dingin, Calista Queen Alexander (28) mendekap erat tubuh Evander Niel Grisham. Darah suaminya merembes, menghangatkan kain roknya yang sudah basah kuyup, warna merah anggur gelap di atas hitam. Tiga luka tembak—satu di bahu, dua di dada—membentuk pola mengerikan di kemeja putihnya yang kini lebih merah daripada putih. Napas Niel tersengal-sengal, gelembung merah kecil pecah di sudut bibirnya yang pucat.
"Jangan sesali apa pun, Queen," bisik Niel, suaranya seperti daun kering tertiup angin.
Matanya, biru samudra yang dulu selalu memancarkan kehangatan dan kepemilikan yang membuat Calista merasa satu-satunya di dunia, kini memudar.
Dia mengangkat tangan lemah, menyentuh pipi Calista yang basah oleh air mata. "Jalani hidupmu... carilah kebahagiaan... Aku—" tarikan napas panjang, paru-paru berjuang.
"—sangat mencintaimu, Queen."
Lengan itu jatuh lemas. Cahaya di mata biru itu padam selamanya. Hening gedung terbengkalai di tengah rimba itu hanya pecah oleh lolongan angin jauh dan denyut jantung Calista yang kacau.
"Niel?" Calista mengguncang bahunya, kuku-kuku jari menghujam ke jaket kulitnya yang lembab.
"Bangun! Buka matamu! Bagaimana aku bisa menjalani hidup... kalau kamu tidak ada?" Tangisnya pecah, getir dan putus asa, mengguncang tubuhnya yang kurus.
"Tujuanku... kamu! Tanpamu, hanya ada kegelapan!"
Kenangan setahun kebahagiaan—candaan di pagi buta, pelukan di malam dingin, janji-janji tentang masa depan sederhana—berbenturan dengan kenyataan hampa: keluarga yang menolaknya, tunangan yang membencinya, saudara angkat licik yang merampas segalanya. Tuhan memang kejam.
Matanya yang berkaca-kaca menyapu lantai berdebu. Cahaya lemah dari jendela tinggi menyoroti sebilah pisau kotor, tergeletak dekat kaki Niel. Mungkin milik anak buah para penjahat yang menyekapnya. Calista merangkak, jemarinya mencengkeram gagang besi yang dingin. Dendam atas ketidakadilan, cinta yang terpenggal, kemarahan pada nasib—semua menyatu jadi satu tekad.
"Niel," bisiknya, suara parau penuh keyakinan.
"Tunggu aku. Aku akan membawa cinta dan dendam kita... ke neraka." Tanpa ragu, tanpa rasa sakit yang berarti di awal, dia tancapkan pisau itu tepat ke dada kiri, menembus tulang rusuk, mencari jantung. Tekanan kuat, rasa pedih yang menusuk, lalu... kehangatan darah yang mengalir deras.
Dia merangkak kembali, memeluk tubuh Niel yang kian dingin, menekan gagang pisau lebih dalam. "Jika aku bisa mengulang waktu... aku takkan biarkan ini terjadi," desisnya, napasnya mulai tersendat. Dunia mengabur.
🍒🍒🍒
"Eugh..." Kepala berdenyut-denyut bak dipalu godam. Calista mengerang, perlahan membuka mata. Cahaya neon putih yang kejam menyilaukan. Bau disinfektan menyengat hidung.
"Bukan bau besi, darah, atau hutan" pikirnya bingung. Bukan dinginnya lantai beton gedung tua. Dia... duduk di lantai keramik dingin, bersandar di dinding plastik putih, di dalam sebuah... bilik toilet?
Gedung terbengkalai? Neraka? Surga? Otaknya berputar kencang.
Aku menusuk jantungku sendiri! Pasti mati! Dia memeriksa dada—tidak ada pisau, tidak ada luka, hanya kemeja lengan pendek yang kotor .
Arwah gentayangan? Rasa tidak terima membuncah.
"Apakah aku akan jadi hantu penunggu toilet?" gerutunya lirih, wajahnya berkerut masam.
"Kenapa harus toilet, sih? Gak keren banget! Kenapa gak jadi hantu rumah mewah, atau minimal hantu rumah sakit, biar ada class-nya dikit, Atau hantu gedung bersejarah, Hantu toilet... astaga yang benar saja"
Dia mencoba berdiri, kakinya agak gemetar.
"Kalau aku arwah, harusnya bisa menembus benda" Dengan penuh keyakinan, dia maju ke arah pintu bilik—langsung menunduk untuk 'menembus'.
Brakkk!
"Aargh!" Keningnya membentur pintu kayu lapis yang sangat padat dan sangat nyata. Rasa sakitnya tajam.
Dia mengusap kening yang memerah. "Gak bisa tembus... berarti... aku hidup?"
Realisasi kedua menghantam. "Apa aku... transmigrasi? Seperti di novel-novel itu?" Jantungnya berdebar kencang, campuran harap dan takut. Dia harus tahu! Sekarang!
Dengan gerakan cepat, dia membuka bilik toilet dan melesat keluar. Lorong toilet terlihat sangat biasa—keramik biru muda, wastafel stainless steel, cermin panjang di dinding. Calista terpeleset sedikit di lantai yang agak basah sebelum berhenti tepat di depan cermin besar itu.
Dan di sana, pantulan yang membuatnya membeku.
Bukan wajah wanita 28 tahun yang lelah dan berlumuran duka. Bukan Calista Queen Alexander yang baru kehilangan segalanya.
Tapi seorang remaja. Rambut hitam yang agak kusut, kulit lebih cerah tanpa bayang-bayang stres, mata cokelat besar yang masih polos meski sekarang dipenuhi kejutan maut.
Dia baru menyadari pakaian yang dikenakannya—seragam SMA-nya dulu! Dan wajah itu... wajahnya sendiri, yang terlihat... lebih muda!
Mengulang waktu.... Kata-kata terakhirnya pada Niel bergema di benak. Aku kembali...
Tangan gemetar menyentuh pipi yang masih kenyal, bebas dari garis halus dan bayangan hitam di bawah mata.
Napasnya tertahan. Jika ini benar... jika aku benar-benar kembali.... Potensi itu, kemungkinan untuk mengubah segalanya, untuk menyelamatkan Niel, untuk menghancurkan mereka yang merenggut kebahagiaannya, menggelegak seperti gunung berapi dalam dadanya. Harapan liar bercampur kebingungan dan trauma yang masih segar.
Calista menatap pantulan dirinya yang muda di cermin, mata yang tadinya polos kini mulai menyala dengan api asing—api dendam, penyesalan, dan tekad baja. Bibirnya yang pucat berkomat-kamit membentuk satu nama: "Niel..."
Lalu, seperti ditusuk ingatan, bayangan sosok lain muncul di benaknya—senyum manis palsu, tatapan licik yang dulu berhasil menipunya. Wajah saudara angkatnya, sang perampas kebahagiaan. Calista mengepal.
Aku harus mengetahui aku berada di tahun berapa, Calista kemudian keluar dari toilet dia harus memastikan Sesuatu....
.
.
.
Terima kasih.. sudah mampir di karya mami.. semoga kalian suka..
JANGAN LUPA KASIH LIKE DI SETIAP BAB, KOMEN, & VOTE YA SAYANG...
Terima kasih😘