NovelToon NovelToon
Istri Rahasia Tuan Davison

Istri Rahasia Tuan Davison

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Aliansi Pernikahan / Nikah Kontrak / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:4.1k
Nilai: 5
Nama Author: Rembulan Pagi

Pura-pura menikah dengan tetangga baru? Tentu bukan bagian dari rencana hidup Sheina Andara. Tapi semuanya berubah sejak tetangga barunya datang.

Davison Elian Sakawira, pria mapan berusia 32 tahun, lelah dengan desakan sang nenek yang terus menuntutnya untuk segera menikah. Demi ketenangan, ia memilih pindah ke sebuah rumah sederhana di pinggir kota. Namun, hari pertama justru dipenuhi kekacauan saat neneknya salah paham dan mengira Sheina Andara—tetangga barunya—adalah istri rahasia Davison.

Tak ingin mengecewakan sang nenek, Davison dan Sheina pun sepakat menjalani sandiwara pernikahan. Tapi saat perhatian kecil menjelma kenyamanan, dan tawa perlahan berubah menjadi debaran, masihkah keduanya sanggup bertahan dalam peran pura-pura?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rembulan Pagi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 26. Tenang, Aku menemani Lukamu

Pagi hari Minggu datang dengan tenang. Udara masih sejuk, dan aroma teh dari dapur menyusup masuk ke ruang makan. Sheina duduk di meja makan dengan satu piring nasi, sebutir telur ceplok, dan sayur bening yang masih mengepulkan uap hangat.

Sean duduk di seberangnya. Gerak-geriknya biasa saja, tapi ada sesuatu yang berbeda dari tatapannya. Bukan marah, bukan juga ingin berdebat. Tapi seolah ada sesuatu yang ingin dia pastikan. Sesuatu yang menggantung sejak malam sebelumnya.

Sheina melirik sekilas, lalu mengambil piringnya dan meletakkan telur ceplok di piring Sean.

“Buat kamu aja,” katanya pendek, tapi netral.

Sean mengangkat alis. “Tumben baik.”

“Tumben kamu nggak bawel,” sahut Sheina, masih pelan.

Sean menatap telur ceplok itu sejenak, lalu matanya menyipit, ekspresinya berubah usil. “Terima kasih,” katanya, nadanya dibuat sedikit menggoda, seperti anak kecil yang menang taruhan.

Sheina pura-pura malas menanggapi, tapi sudut bibirnya sedikit terangkat.

Di tengah keheningan pagi itu, ponsel Sheina yang tergeletak di meja tiba-tiba bergetar. Satu pesan masuk dari nomor tak dikenal. Ia mengambilnya pelan, membuka pesan dengan alis sedikit berkerut.

08XXXXX: Halo. Maaf ganggu. Ini Ari. Temannya Pak Davison.

Sheina terdiam. Butuh beberapa detik untuk mengingat siapa Ari.

08XXXXX: Pertemuan kita kemarin sebentar banget. Tapi aku butuh bantuan.

Jantung Sheina berdebar agak cepat. Jemarinya bergerak membuka pesan berikutnya.

08XXXXX: Kamu bisa lihat ke rumah Davison? Mobilnya ada? Soalnya aku udah nelpon dia beberapa kali, tapi nomornya nggak aktif.

Sheina spontan menegakkan badan.

Sheina menyibak tirai dengan pelan. Mobil hitam itu masih terparkir di halaman, diam tak bergerak. Tapi tetap ada sesuatu yang membuat dadanya tak tenang. Mungkin karena pesan Ari barusan. Mungkin juga karena sesuatu yang lebih halus, yang tak bisa ia jelaskan.

Ia mengetik cepat.

Sheina: Ada mobilnya. Mungkin dia di rumah. Tapi nanti aku cek, ya.

Lalu ia taruh ponsel di saku celana, melangkah ke luar rumah. Langkahnya ringan tapi waspada, dan saat berdiri di depan pintu rumah Davison, ia bisa merasakan keheningan dari balik dinding itu—bukan keheningan biasa. Tapi yang terlalu padat.

Begitu sampai di depan pintu, Sheina mengetuk pelan.

Tok... Tok... Tok...

Satu ketukan.

Dua.

Tiga.

Tidak ada jawaban.

“Pak Dev?”

Tidak ada jawaban lagi.

Ia mengetuk lagi. Lebih keras. Masih hening.

“Pak Dev? Ini Sheina.”

“Tenang Sheina,” gumamnya sendiri, menenangkan napasnya yang tiba-tiba terasa berat. Lalu ia mencoba memutar kenop pintu.

Dan terbuka.

Pintunya tidak terkunci.

Sheina langsung membeku. Ada rasa aneh di dada. Antara khawatir dan bingung. Ia mendorong pintu lebih lebar, mengintip pelan ke dalam rumah.

Sepi. Tak ada suara dari ruang tengah. Hanya suara samar kipas angin dari dalam kamar yang membuat bulu kuduknya meremang.

“Sheina masuk ya,” bisiknya pelan, lebih untuk dirinya sendiri.

Langkahnya menyusuri lantai rumah yang dingin. Cahaya matahari dari jendela menyinari sebagian ruang tamu. Rumah itu seperti kehilangan napas, terlalu tenang, terlalu kosong.

“Pak Dev?” panggilnya lagi, tapi tidak ada jawaban.

Sampai ia tiba di depan pintu kamar.

Pelan-pelan Sheina mengetuk. Lalu, tanpa menunggu izin, ia mendorong pintu itu terbuka.

Davison terbaring di atas ranjang, tubuhnya setengah miring, wajahnya tampak pucat, dan napasnya tidak beraturan. Dahinya basah oleh keringat. Selimutnya tergulung tidak rapi, seolah dia sempat menggeliat gelisah.

“Pak Dev?” bisik Sheina pelan, mendekat.

Davison tidak menjawab.

“Sheina masuk ya.”

Ia duduk di tepi ranjang, menyentuh pelan dahi Davison dengan punggung tangan. Panas.

“Pak Dev,” ulang Sheina, kali ini lebih lembut.

Davison menggerakkan kepalanya sedikit, gelisah. Ia menggumam tidak jelas, seolah berbicara dalam mimpi.

Sheina langsung berdiri, panik.

“Duh, ini demam tinggi.”

Sheina menatap sekeliling. Tidak tahu harus ngapain lebih dulu. Lalu buru-buru ke dapur, mencari air dan lap bersih. Saat ia kembali dengan baskom dan handuk kecil, Davison menggumam lagi, pelan, nyaris tidak terdengar.

“Devin, maafkan aku”

Sheina menghentikan gerakannya.

“Jangan tinggalin Dev... jangan...”

Napasnya tercekat.

Davison masih meracau. Suaranya pelan, nyaris seperti anak kecil. Dan ketika Sheina menaruh kain basah di dahinya, tubuhnya sempat tersentak ringan.

“Davison,” bisik Sheina.

Tapi gumaman itu terus keluar dari mulut lelaki itu.

“Maafkan aku. Devin mati karena aku. Maafkan aku.”

Sheina menatap wajah Davison yang gelisah. Ada luka di sana, terbuka, meski tidak terlihat. Luka yang selama ini tersembunyi di balik sikap dewasa dan tegas. Luka yang sekarang muncul tanpa bisa dikendalikan.

Sheina menggenggam pelan tangan Davison.

Dan untuk pertama kalinya, ia sadar bahwa

lelaki itu bukan hanya terluka.

Ia hancur.

Dan masih berusaha berdiri sambil membawa semua itu sendirian.

"Tenang Pak, saya di sini," kata Sheina pelan sembari mengompres dahi Davison dengan handuk basah.

Ia tak tahu apakah kalimat itu cukup. Tapi untuk sekarang, itu yang bisa ia beri adalah keberadaannya.

Sheina mengganti kain yang mulai hangat, mencelupkannya lagi ke baskom air, memeras pelan, lalu meletakkannya kembali di dahi Davison. Gerakannya hati-hati. Teratur. Seolah dengan begitu, detak jantungnya sendiri bisa lebih tenang.

Beberapa menit berlalu dalam diam.

Tiba-tiba kelopak mata itu bergerak. Pelan. Berat. Seolah melawan rasa sakit dari dalam.

“Ayah?” suara Davison nyaris seperti gumaman, serak dan lemah.

Sheina segera mendekat, duduk lebih rapat ke sisi ranjang. "Ada apa Pak? Ayah mana?”

Mata Davison terbuka sedikit, pandangannya kabur, tak benar-benar fokus. Tapi ada sesuatu di balik tatapan itu. Luka yang belum selesai.

“Maaf,” bisiknya. Bibirnya bergerak pelan. “Aku nggak bisa jagain Devin.”

Sheina menahan napas.

Suara itu lirih, hampir lenyap. Tapi beban yang terkandung di dalamnya seakan mengisi seluruh ruangan.

Tubuhnya masih terbaring di atas ranjang. Tubuhnya berkeringat, napasnya berat. Tapi yang lebih mengguncang adalah suaranya, gumaman lirih yang datang dari celah-celah demam dan kesakitan.

“Maaf, Ayah,” bisiknya, nyaris tak terdengar. “Aku nggak bisa jagain Devin.”

Sheina yang masih setia duduk di tepi ranjang terdiam. Tangannya mengganti kain kompres, tapi matanya tak lepas dari wajah pucat Davison.

“Aku cuma sebentar mainnya, beneran cuma sebentar,” lanjutnya, suaranya penuh rasa bersalah yang nyaris membuat dada Sheina ikut sesak.

“Dia takut banget, aku berusaha untuk gapainya.” gumaman itu mulai bergetar. “Tapi aku, dia lebih dulu ketangkap.”

Davison menggenggam ujung selimut erat-erat, seolah menarik kembali kenangan yang selama ini ia kubur dalam-dalam.

“Ayah maafin aku, jangan liat aku kayak gitu. Aku udah nyoba, aku udah lari sekuat aku.”

Sheina membeku. Suara itu seperti tangisan yang ditahan terlalu lama. Tapi tidak keluar lewat air mata. Keluar lewat kata-kata yang pecah.

Davison diam beberapa saat, lalu menarik napas panjang, gemetar.

“Dia diambil orang itu, Ayah,” bisiknya. “Orang itu bawa Devin.”

Dan di situ, suaranya benar-benar padam.

Sheina hanya bisa menatapnya. Tak bergerak. Tak bicara.

Ia tak tahu pasti apa yang terjadi.

Tapi ia tahu, luka itu nyata.

Dan lelaki yang tampak kuat dan angkuh di hadapannya selama ini sedang merintih dalam mimpi, mencari ampun dari seseorang yang bahkan mungkin sudah tak ada.

“Sheina di sini,” bisiknya pelan.

Ia menyentuh punggung tangan Davison pelan, memastikan ia tidak sendiri.

Pagi itu, luka itu belum terbuka seluruhnya.

Tapi Sheina tahu, suatu saat nanti saat luka itu siap diceritakan, ia akan tetap ada di sini.

Untuk mendengar semuanya.

1
LISA
Menarik juga nih ceritanya
LISA
Aneh tp ntar kmu suka sama Sheina Dev🤭😊
LISA
Aku mampir Kak
Rian Moontero
lanjuutt thor,,smangaaat💪💪🤩🤸🤸
Rembulan Pagi: terima kasih kakk
total 1 replies
Umi Badriah
mampir thor
Rembulan Pagi
Bagi yang suka romance santai, silakan mampir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!