Jiang Hao adalah pendekar jenius yang memiliki tangan kanan beracun yang bisa menghancurkan lawan hanya dengan satu sentuhan. Setelah dihianati oleh sektenya sendiri, ia kehilangan segalanya dan dianggap sebagai iblis oleh dunia persilatan. Dalam kejatuhannya, ia bertemu seorang gadis buta yang melihat kebaikan dalam dirinya dan mengajarkan arti belas kasih. Namun, musuh-musuh lamanya tidak akan membiarkannya hidup damai. Jiang Hao pun harus memilih: apakah ia akan menjadi iblis yang menghancurkan dunia persilatan atau pahlawan yang menyelamatkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhamar Sewu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 33: Bunga yang Tumbuh dari Abu
----
----
Tiga bulan telah berlalu sejak gerbang purba ditutup. Dunia tampak damai di permukaan, namun bayang-bayang dari masa lalu belum sepenuhnya sirna.
Di sudut barat Benua Langit Hijau, sebuah kota bernama Yue Lin dibangun di atas reruntuhan perang. Kota itu tumbuh cepat, makmur dengan perdagangan antara sekte dan klan-klan yang sebelumnya bermusuhan. Di tengahnya berdiri pagoda putih keperakan: markas baru Aliansi Jiwa Bebas, organisasi yang didirikan oleh Jiang Hao dan sekutunya untuk menjaga keseimbangan dunia tanpa dominasi kekuatan tunggal.
Namun di malam hari, angin kota membawa desau aneh. Kabut hitam kadang muncul di gang-gang sepi. Orang-orang mulai menghilang tanpa jejak. Dan tak satu pun roh penjaga kota sanggup menjelaskan penyebabnya.
Jiang Hao duduk di ruang meditasi, menatap lukisan langit yang digambar Ying’er di dinding. Tiba-tiba, pintu terbuka cepat. Li Fan masuk dengan ekspresi tegang.
“Kita punya masalah. Ada yang membuka segel di reruntuhan Biara Gelap.”
Jiang Hao berdiri. “Siapa?!”
Li Fan menggeleng. “Tidak terdeteksi oleh roh penjaga. Tapi seseorang melihat simbol berdarah di langit. Simbol yang sama seperti yang muncul saat Mu Lei bangkit.”
Hening sejenak. Cahaya di ruangan berubah suram.
Ying’er masuk sambil memegang gulungan baru. “Aku baru saja menerjemahkan lembaran kuno dari Perpustakaan Tak Bernama. Isinya adalah catatan tentang ‘Tiga Inti Dunia’.”
Jiang Hao menyipit. “Tiga Inti Dunia?”
Ying’er mengangguk. “Selama ini kita pikir gerbang purba itu satu-satunya ancaman. Tapi menurut catatan ini, dunia ini punya tiga poros energi yang menjaga siklus kehidupan dan kematian. Satu di langit—yang sudah kau selamatkan. Satu di bumi—masih tersembunyi. Dan satu di dalam jiwa manusia.”
Li Fan menimpali, “Dan jika yang di jiwa manusia mulai terganggu, mungkin itulah penyebab munculnya fenomena ‘bayangan kabut’ di kota.”
Jiang Hao menatap ke luar jendela. Malam sudah jatuh. Tapi ada rasa dingin yang tak biasa merayap di balik udara.
“Aku akan ke reruntuhan Biara Gelap malam ini,” katanya tegas.
Ying’er mencoba menahan. “Kau belum pulih sepenuhnya. Dan tangan kananmu belum kembali setelah kau putuskan hubungan dengan kekuatan lama.”
“Aku tahu,” kata Jiang Hao. “Tapi kekuatan lama hanya alat. Sekarang aku harus bertarung sebagai diriku sendiri.”
Ying'er tidak lagi bisa mencegah. "Aku akan ikut bersamamu."
---
Malam itu, Jiang Hao, Li Fan, dan Ying’er tiba di Biara Gelap.
Reruntuhan itu penuh reruntuhan batu dan akar-akar pohon hitam yang seolah merayap hidup. Di tengahnya, sebuah lingkaran sihir tua menyala samar. Simbol-simbol darah berdenyut pelan, seperti jantung raksasa.
Tiba-tiba—dari balik kabut—muncul sosok.
Ia tinggi, memakai topeng kuno berbentuk wajah bayi menangis. Bajunya compang-camping, namun dari bawah jubahnya, keluar aura sehitam malam tak berbintang.
“Kau yang membuka segel?” tanya Jiang Hao tajam.
Sosok itu tidak menjawab, tapi dari balik topengnya keluar suara—berlapis, seolah ratusan jiwa berbicara bersamaan.
“Kami adalah yang ditinggalkan. Yang tak pernah dicatat. Yang dibuang dari riwayat baru milikmu.”
Li Fan menghunus pedangnya. “Siapa kau sebenarnya?!”
Sosok itu akhirnya berbicara dengan satu suara. “Aku adalah Bayangan Riwayat. Aku lahir dari bagian sejarah yang kau bakar. Dari korban-korban yang tidak pernah disebut. Dari jiwa-jiwa yang tak diberi tempat di gulunganmu.”
Ying’er menegang. “Maksudmu, kau terbentuk dari bagian sejarah yang tidak ditulis?”
Sosok itu mengangguk. “Setiap kisah punya sisi gelap. Dan saat kau menulis akhir cerita, kau juga menciptakan awal baru untuk kami—yang terlupakan.”
Lingkaran sihir meledak. Dari dalamnya, muncul makhluk-makhluk berwujud kabut, menangis, tertawa, berteriak bersamaan. Wajah mereka samar—seperti pecahan kenangan masa lalu yang tak selesai.
Jiang Hao melangkah maju. “Jika memang aku yang menciptakanmu, maka aku pula yang akan mengakhirimu.”
Ia mencabut pedangnya. Tapi saat ia hendak menyerang, salah satu makhluk kabut menyentuhnya—dan tiba-tiba, pandangan Jiang Hao berubah.
Ia kembali ke masa lalu.
---
Ia berdiri di medan perang, di mana mayat ribuan pasukan tak dikenal tergeletak. Ia melihat wajah-wajah yang pernah ia temui—tapi tak pernah ia selamatkan. Anak-anak. Rakyat biasa. Bahkan prajurit musuh yang hanya menjalankan perintah.
Suara berbisik terdengar di telinganya: Kau lupa kami. Kau tulis kemenangan. Tapi tidak luka kami. Kau tulis Ying’er. Tapi tidak kematian anak-anak desa di barat. Kau menulis damai. Tapi damai untuk siapa?
---
Jiang Hao terbangun dari penglihatan itu, berdiri terhuyung.
Li Fan membantu menahan tubuhnya. “Apa yang kau lihat?”
"Katakan padaku!"
Namun, Jiang Hao terdiam. Tapi dari matanya keluar setetes air mata—bukan karena takut, tapi karena sadar: meski dunia telah diselamatkan, tidak semua jiwa bisa benar-benar tenang.
Ying’er menggenggam tangannya. “Apa yang akan kau lakukan?”
Jiang Hao menatap ke depan. “Kalau dia benar, maka pertempuran belum selesai. Kita tidak hanya melawan kegelapan di luar. Tapi juga bayangan di hati sendiri.”
Bayangan Riwayat tertawa kecil.
“Benar, Jiang Hao. Karena sejarah yang tidak ditulis akan selalu mencari jalannya untuk hidup kembali.”
Dan dengan satu gerakan tangannya, Bayangan Riwayat membuka lubang hitam di tengah reruntuhan, menghisap makhluk-makhluk kabut ke dalamnya.
Tapi sebelum mereka terserap, salah satu dari mereka menyusup masuk ke tubuh Li Fan.
Mata Li Fan mendadak berubah kelam.
Ying’er menjerit, “Jiang Hao! Ada yang masuk ke tubuhnya!”
Jiang Hao hendak menyerang, tapi suara Li Fan berubah.
“Kau tidak bisa membunuhku, karena aku temanmu.”
Jiang Hao terdiam.
Tangannya gemetar. Ia dilema , Jiwa Teman, Tubuh Musuh, membuatnya beku.
Hening.
Tak ada angin, tak ada suara dedaunan, tak ada nyanyian malam. Yang ada hanya tiga sosok berdiri di reruntuhan yang bercahaya merah darah, seperti luka yang belum kering di tanah dunia.
Li Fan berdiri diam, tubuhnya tegak, tapi sorot matanya bukan miliknya. Mata itu pekat—tak memantulkan cahaya bulan sedikit pun.
Jiang Hao merasakan dadanya mengencang. Di hadapannya bukan hanya ancaman, tapi juga sahabat. Seseorang yang berjalan bersamanya sejak awal, yang pernah mengorbankan banyak hal demi kebenaran.
“Li Fan ...” ucapnya perlahan, suara serak seperti tertahan petir di tenggorokan.
Namun pria itu tidak menjawab. Sebaliknya, senyum dingin terulas di bibirnya. “Nama itu sudah lama mati, Jiang Hao. Yang kau lihat kini hanyalah bejana dari semua penderitaan yang kau abaikan.”
Ying’er melangkah mundur, tangannya menggenggam jimat pelindung di lehernya. “Tidak. Li Fan masih ada di dalam sana. Aku tahu! Aku bisa merasakannya!”
Bayangan Riwayat tertawa lirih, melayang di atas lubang hitam yang berputar pelan seperti pusaran takdir. “Tentu saja dia masih di sana. Tapi hanya sebagai penonton. Dan sebentar lagi ... penonton itu akan hilang.”
Jiang Hao melangkah maju, tak peduli tanah di bawahnya mulai retak oleh energi tak stabil. Ia mengangkat pedangnya—tapi gemetar. Bukan karena takut kalah, tapi karena takut harus memilih.
Dan dalam gemetar itu, ia mengenang kembali.
Ingat ketika Li Fan terluka demi melindunginya saat perang di Benteng Luar Langit.
Ingat ketika Li Fan menyerahkan satu-satunya batu roh yang ia punya, agar Ying’er bisa sembuh dari racun jiwa.
Ingat tawa mereka di sungai kecil, saat semua terasa sederhana.
“Aku tidak akan membunuhmu,” ucap Jiang Hao, suara lirih tapi penuh keteguhan.
Li Fan—atau makhluk dalam dirinya—mengerutkan kening. “Maka kau akan mati.”
Dalam sekejap, Li Fan melompat, tinjunya menebas udara. Tapi bukan sembarang serangan. Ini bukan jurus manusia. Ini adalah serangan dari kegelapan yang hidup dari kelupaan. Tanah pecah, langit berdenyut.
Jiang Hao menangkis, terlempar tiga langkah, darah keluar dari mulutnya. Tapi ia tetap berdiri.
“Ying’er,” serunya cepat. “Cari jalur masuk ke kesadaran Li Fan. Kau ahli dalam sihir jiwa. Kau harus memanggilnya dari dalam sebelum dia tenggelam sepenuhnya!”
Ying’er mengangguk cepat. Ia berlutut, menggambar pola sihir di udara dengan jari penuh energi bulan.
Li Fan menyerang lagi, kali ini lebih cepat. Jiang Hao melompat menghindar, pedangnya nyaris menusuk dada Li Fan tapi—ia menahan. Lagi-lagi ia menahan. Dan itu hampir membunuhnya.
“Jangan jadi pengecut karena cinta masa lalu,” suara Bayangan Riwayat menggelegar. “Cinta tak bisa menyelamatkan dunia, Jiang Hao!”
Jiang Hao menoleh cepat. “Tapi cinta bisa menyelamatkan satu jiwa—dan kadang itu cukup.”
Ying’er menekan pola sihir ke tanah. Lingkaran cahaya terbuka di bawah kaki Li Fan. Tubuhnya menggigil hebat.
Dan di dalam pusaran sihir itu, Jiang Hao melihatnya.
Li Fan. Duduk di ruangan kecil. Terkurung oleh dinding kenangan yang dipelintir. Ia memeluk lututnya, tubuhnya penuh luka jiwa.
“Li Fan!” seru Jiang Hao. "Kau boleh tak melihatku! Tapi tidak dengan hatimu!"
Sahabatnya mengangkat kepala. Mata kosong itu perlahan berubah—bercahaya lagi. Tapi sangat redup.
“Jiang ... Hao?” bisiknya. “Aku ... aku tak tahu di mana aku .... Aku melihat mereka semua ... yang mati ... karena pilihan kita .... Aku tak kuat ....”
Jiang Hao melangkah ke arahnya, berlutut dan menggenggam pundaknya. “Kita semua punya beban. Tapi kau tak sendiri, Fan. Dengarkan aku—dunia ini belum selesai untukmu.”
“Semua itu berdarah. Aku bahkan ingat anak-anak yang menangis. Mereka tak salah, tapi mereka mati, dan kita lanjut hidup ... tidak adil.”
“Adil! Karena hidup adalah beban,” jawab Jiang Hao. “Dan kita menebusnya dengan tidak menyerah.”
Li Fan menunduk. Tapi dari balik tubuhnya, muncullah sosok kabut hitam yang mencengkeram kepalanya, mencoba menariknya kembali ke jurang.
“AKU YANG MENGENDALIKAN TUBUH INI!” teriak makhluk itu.
Jiang Hao meraih pedangnya.
Bukan untuk membunuh.
Tapi untuk menusuk dirinya sendiri.
Cahaya terang meledak dari tubuh Jiang Hao. Jiwa dan tubuhnya terbelah sementara—memasuki dunia jiwa Li Fan.
Ying’er menjerit di dunia nyata. “Jiang Hao, jangan! Itu teknik pemisah jiwa! Kalau gagal, kau tak bisa kembali!”
"JANGAN ...!!"
Tapi ia sudah masuk.
Dalam dunia jiwa Li Fan, Jiang Hao memegang tangan sahabatnya dan menariknya dari kubangan gelap. Bersama mereka menyerang makhluk itu dari dalam—bukan dengan kekuatan, tapi dengan kenangan: tawa, luka, pengorbanan, dan janji mereka dahulu untuk membangun dunia baru.
Makhluk itu menjerit, tubuh kabutnya terpecah oleh cahaya kenangan. Tapi sebelum lenyap, ia berteriak:
“Kau pikir ini akhir?! Aku hanyalah satu dari tiga bayangan. Yang lain akan datang. Dan mereka bukan sekadar kenangan. Mereka punya tubuh!”
Ledakan jiwa terjadi.
Semua kembali ke dunia nyata.
Tubuh Jiang Hao terbaring di tanah. Li Fan jatuh berlutut, bernapas terengah.
Ying’er memeluk keduanya dengan tangis bahagia.
“Kalian berhasil ....”
Tapi sebelum mereka bisa menarik napas lega, tanah di bawah Biara Gelap berguncang hebat.
Dari dalam lubang hitam yang nyaris tertutup—muncul tangan besar berwarna merah batu, jari-jarinya bercahaya ungu. Suara rendah bergema dari kedalaman:
“Bayangan Kedua ... telah terbangun.”
nyala lampu sedikit mmenerangi di dalam gua gunung berkabut.novel apa puisi.hhhhh