NovelToon NovelToon
Kapten Merlin Sang Penakluk

Kapten Merlin Sang Penakluk

Status: sedang berlangsung
Genre:Action
Popularitas:314
Nilai: 5
Nama Author: aldi malin

seorang kapten polisi yang memberantas kejahatan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aldi malin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

akhir yang belum usai

Hotel Grand Lotus, lantai 3, kamar 305. Lampu redup. Aroma dupa tipis menguar, memberikan suasana tenang namun mencekam. Frenki melangkah masuk dengan sedikit gugup, tangannya menggenggam erat jemari Laras yang tampak tenang.

Di dalam ruangan, Si Bayangan sudah duduk di kursi panjang dekat jendela. Wajahnya tertutup sebagian oleh topi dan masker gelap. Sosoknya tinggi besar, dengan tatapan tajam menembus gelap.

> “Kau bawa tamu, Frenki?” suaranya dalam dan datar.

> “Dia… calon istriku. Dia tidak tahu apa-apa,” ujar Frenki cepat, mencoba meredakan ketegangan.

Bayangan diam sesaat, lalu berdiri. Langkahnya pelan, mendekati Laras.

> “Calon istri, ya? Cantik…” katanya lirih sambil menatap Laras dari atas ke bawah.

Tania—dengan identitasnya sebagai Laras—tetap tenang. Ia mengangkat satu kakinya dan duduk menyilangkan paha, memperlihatkan sedikit kulit mulus di balik gaun pendeknya. Paha mulus itu disengaja terlihat, bahkan sedikit dari celana dalam hitamnya tampak. Ia tahu, perhatian musuhnya sedang terfokus.

Bayangan sempat terdiam, lalu tertawa kecil.

> “Tunggu di sini, Nona. Aku hanya ingin bicara empat mata dengan pria ini.”

Tania tersenyum, anggukan kecil dari wajahnya seolah berkata, "Silakan." Tapi di balik senyum itu, ia sudah aktifkan alat perekam kecil tersembunyi di bawah kursi, dan perlahan meraih senjata kecil yang terselip di tali bra-nya.

> Dalam hatinya: Akhirnya aku melihatmu, Bayangan... kau tak akan lolos kali ini.

Setelah percakapan panjang di aula hotel yang tertutup rapat, Frenki dan Bayangan keluar dari ruangan. Udara malam terasa dingin. Di luar, sejumlah pria berbadan kekar bersenjata lengkap berdiri waspada, mata mereka mengawasi tiap sudut lobi hotel dengan penuh curiga.

Bayangan tersenyum tipis, menoleh pada Frenki sambil berjalan pelan ke arah pintu keluar.

> “Kapan kalian menikah?” tanyanya dengan nada ringan tapi penuh makna.

Frenki tertawa kecil, melirik Laras yang masih berdiri di sisi ruangan.

> “Tergantung Nona ini… kalau dia mau, besok pun aku siap,” ucapnya, setengah menggoda.

Bayangan mengangguk perlahan.

> “Kalau begitu… jangan sungkan minta hadiah dariku. Aku orang yang tahu berterima kasih.”

Dentuman irama musik dari aula dansa terdengar samar, menciptakan suasana yang kontras—bahaya dan romantisme berdampingan. Bayangan lalu menoleh ke Laras.

> “Nona Laras… maukah berdansa dengan aku? Anggaplah aku... keluarga dekat.”

Laras menoleh ke Frenki, seolah minta restu. Frenki mengangguk perlahan, tapi ekspresi wajahnya tak bisa menyembunyikan kecemburuan yang membara.

Laras melangkah ke lantai dansa, membiarkan dirinya dipimpin oleh Bayangan. Gerakan mereka harmonis, langkah demi langkah. Tania menyembunyikan kegelisahannya di balik senyum tipis.

Saat irama lagu melambat, Bayangan merangkul pinggang Laras sedikit lebih erat dan berbisik di telinganya.

> “Ini… nomorku.”

Dengan cepat dan nyaris tak terlihat, ia menyelipkan secarik kertas kecil ke bra Laras.

Dengan sigap laras pun menyelipkan kartu nama kedalam celana bayangan dan agak menyentuh daerah vitalnya

“Siapa tahu aku berubah pikiran dan ingin berdansa lagi… hanya berdua.”

Laras tersenyum menawan.

> “Mungkin aku juga akan berubah pikiran…”

Dalam hatinya, Tania mencatat setiap gerak dan kata Bayangan.

Hati Si Bayangan berkecamuk. Wajah Laras terlintas dalam benaknya—senyumnya yang misterius, tatapannya yang menusuk, dan aroma tubuh yang samar masih membekas di ingatan. Sentuhan ringan saat berdansa, adu betis yang terasa disengaja... semuanya menari-nari di pikirannya, membakar sisi maskulinnya yang selama ini dingin dan tak tergoyahkan.

Ia mendekap gelas wine di tangannya, namun yang ia rasakan bukan rasa anggur, melainkan rasa penasaran. Siapa sebenarnya wanita itu?

> “Apakah ini hanya ilusi... atau dia benar-benar berbeda?” gumamnya pelan.

Si Bayangan duduk di kursi kerjanya, lampu meja menyala redup. Di tengah tumpukan dokumen dan senjata api, tangannya merogoh saku celana yang kemarin ia pakai saat pertemuan di hotel.

Ia menemukan selembar kartu kecil berwarna hitam keemasan.

"Laras — Entertainer & Hostess, Klub Malam Elit Vega."

Ia menatapnya lama. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Aroma parfum Laras seolah masih menempel di kartu itu, membawanya kembali ke dansa semalam—senyum menggoda, tatapan yang menusuk, dan bisikan penuh misteri di telinganya.

> “Dia bukan wanita biasa…” pikirnya. “Dan mungkin, aku masih punya kesempatan.”

Kartu itu ia genggam erat. Hatinya berkecamuk. Ini bukan sekadar ketertarikan biasa. Ada sesuatu dari wanita itu yang membuatnya lupa siapa dirinya—sang Bayangan yang tak tersentuh.

Ia berdiri, menatap malam dari jendela tinggi apartemennya.

"Kita akan bertemu lagi, Laras..."

Bayangan menatap layar ponselnya. Tangan dinginnya sedikit gemetar saat mengetik pesan di WhatsApp:

"Malam, nona. Maaf mengganggu."

Beberapa detik sunyi. Tak ada balasan.

Hatinya mulai tak tenang. “Mungkin dia menganggapku hanya tamu biasa,” pikirnya.

Tiba-tiba layar ponsel bergetar. Video call masuk dari Laras.

Dengan cepat dia menjawab.

Wajah Laras muncul jelas di layar. Ia hanya mengenakan pakaian tidur tipis, rambutnya masih basah seperti habis mandi. Senyum misterius terulas di bibirnya.

> "Ada apa, Pak? Kangen, ya?" ucapnya sambil bermain dengan ujung rambut.

Bayangan terdiam sejenak, menelan ludah. Ia mengatur nafasnya sebelum menjawab.

> "Bolehkah… kita ketemu lagi?"

Laras menatap kamera sejenak, lalu menggigit bibir bawahnya. Sorot matanya tajam, seperti sedang menilai lawan bicara.

> "Sebelum janur kuning melengkung... belum ada kata terlambat."

Ia menyisipkan senyum menggoda. Lalu sambung:

> "Aku tunggu di hotel kemarin, Pak Bayangan..."

Panggilan berakhir.

Bayangan berdiri. Dada berdebar. Tapi entah karena cinta… atau karena perangkap.

"Masuklah..." lirih Laras dari balik pintu kamar hotel.

Bayangan — Arya — melangkah masuk, langkahnya berat tapi matanya terpaku pada sosok Laras yang berdiri di dekat jendela. Siluet tubuhnya tersapu cahaya malam kota, begitu menggoda. Tanpa sepatah kata pun, Laras berjalan perlahan mendekat.

"Apa kita lanjutkan berdansa seperti semalam, Mas?" bisiknya, dengan suara bergetar dan lirih.

Arya menelan ludah, hatinya berkecamuk. "Panggil aku… Arya," ujarnya pelan. Tatapannya mencoba mencari jawaban dari wajah Laras. "Maaf… apakah kau mencintai Frenki?"

Laras menatapnya penuh teka-teki. "Apakah malam ini… kamu membayarku, Mas?" ucapnya datar namun tajam.

Dia kemudian merapat, merangkul Arya dengan lembut. "Bisakah… kita lupakan Frenki malam ini, Mas?" bisiknya ke telinga Arya, suaranya nyaris seperti hembusan angin malam.

Arya menutup matanya sesaat. Jiwanya bergelora, antara hasrat dan rasa bersalah. "Bagaimana kalau Frenki tahu apa yang barusan aku lakukan…?" pikirnya, terjebak dalam dilema.

Arya — atau si Bayangan — nyaris lumpuh dalam pelukan Laras. Bibir wanita itu menyentuhnya begitu lembut, seperti aliran arus hangat yang menghapus sisa-sisa logika dalam pikirannya. Ia ingin menahan diri, namun rangkulan tubuh Laras begitu kuat… bukan dalam kekerasan, tapi dalam kelembutan yang menenangkan sekaligus membakar.

Tania — di balik sosok Laras — memainkan peran dengan sempurna. Tak ada keraguan, tak ada jeda, setiap gerakannya alami, setiap tatapan dan sentuhannya penuh rasa. Bahkan Arya tak mampu membaca bahwa semuanya adalah bagian dari misi.

Di tengah keintiman yang baru saja dimulai, telepon Laras berdering. Getaran dan suara itu bagai lonceng kenyataan.

Tania membuka mata, menoleh cepat ke arah ponselnya. Wajahnya tetap tenang, tapi pikirannya langsung siaga.

“Aku… harus angkat sebentar,” katanya sambil melepaskan pelukan, suaranya masih lembut namun matanya menyiratkan fokus seorang agen.

Arya hanya menatap, separuh kesadarannya kembali. “Siapa yang menelepon malam-malam begini…?” gumamnya pelan, mulai muncul tanda tanya dalam benaknya—walau masih diliputi kabut gairah yang belum tuntas.

Tania — masih dalam penyamaran sebagai Laras — menatap layar ponselnya. Nama Frenki tertera jelas. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Ini waktu yang genting.

Dia menoleh sejenak ke arah Arya yang masih terbaring santai di ranjang, lalu membalikkan badan, menarik selimut seadanya untuk menutupi tubuhnya. Suara Frenki terdengar dari seberang, panik.

“Laras, kamu di mana?”

“Aku… di tempat kos. Kenapa?” Tania mencoba menjaga nada suara tetap tenang.

“Jangan bohong. Aku butuh lihat kamu. Sekarang. VC!”

Gugup mulai menyeruak. Ini pertama kalinya Frenki mendesak sedemikian rupa. Tania menoleh sebentar ke arah Arya yang tampak mulai curiga.

Dengan sigap, Tania berdiri, membawa ponsel ke arah kamar mandi sambil berkata lembut, “Tunggu sebentar ya, aku ke kamar mandi sebentar.”

Begitu pintu tertutup, ia mengaktifkan video call. Wajah Frenki muncul, tegang. Matanya menyapu layar cepat, mencari tanda-tanda ruangan.

“Kamu... kamu di mana, Laras? Itu bukan kamarmu, kan?”

Tania menatapnya dengan sorot luka palsu. “Aku cuma butuh waktu sendiri, Frenk... tolong jangan paksa aku malam ini.”

Frenki diam, tapi matanya menyimpan kecurigaan. Ia merasa ada sesuatu yang salah. Tapi Tania tahu betul cara meredakannya — dengan ekspresi lembut, suara yang meyakinkan, dan kepura-puraan yang begitu nyata.

“Aku janji akan jelasin nanti. Sekarang... percaya sama aku, ya?”

VC berakhir. Tapi malam itu, benih keraguan tumbuh di hati Frenki. Dan Tania tahu, waktunya tidak banyak lagi.

Laras — alias Tania — mengaktifkan fitur lokasi di ponselnya secara diam-diam. Dalam pikirannya, ini adalah fase terakhir dari penyamaran. Ia ingin tahu sejauh mana Frenki akan bertindak… apakah pria itu sekadar jatuh cinta, atau benar-benar bisa jadi pion yang ia butuhkan untuk menjatuhkan Bayangan.

Sementara itu, di sisi lain kota, Frenki yang sebelumnya memblokir Laras akhirnya membuka blokiran itu. Rasa curiga yang menggunung membuatnya membuka aplikasi pelacak. Dan di sana… sebuah titik merah menyala di layar, menunjukkan hotel tempat ia dan Bayangan pernah bertemu.

Wajah Frenki menegang. “Laras...”

Di dalam kamar hotel, Arya — Bayangan — sedang bersandar di ranjang, menatap Tania dengan senyum penuh gairah.

"Apakah kita tunda permainan ini, sayang?" tanyanya sambil menarik selimut pelan.

Tania membalas dengan senyum lembut dan merentangkan tubuhnya di samping Arya.

"Lanjutkan saja, Mas… Lagipula, Frenki tak akan ke sini."

Nadanya lembut, menggoda, tapi pikirannya tajam. Ia tahu Arya hampir sepenuhnya terpikat.

Mereka kembali terperangkap dalam alunan emosi, tubuh, dan tipu daya. Setiap gerakan di kamar itu bukan sekadar kenikmatan — tapi bagian dari strategi. Namun, suara langkah kaki tergesa di lorong luar kamar mulai mendekat… dan suara ketukan yang keras menghantam pintu hotel.

Arya menoleh. Tania menahan napas. Frenki telah tiba.

Pintu kamar terbuka perlahan—Frenki berdiri di ambang pintu, tubuhnya menegang saat matanya menangkap pemandangan di hadapannya.

Laras berada di atas Arya, tubuh mereka saling menempel erat. Mereka berdua menoleh dengan ekspresi terkejut saat melihat Frenki. Laras buru-buru turun dari tubuh Arya, menyelimuti dirinya dengan selimut, matanya membelalak, dan bibirnya bergetar.

"Frenki... aku bisa jelaskan," katanya terbata-bata.

Tapi Frenki tak menjawab. Tangannya sudah terangkat, dan di genggamannya—sebuah pistol. Didorong oleh amarah dan rasa dikhianati, ia membidik langsung ke dada Arya.

"Kau... ternyata kau," ucapnya dingin, "bosku sendiri... si bayangan."

Arya tetap tenang. Bahkan tersenyum kecil. "Kau terlalu emosional, Frenki."

Dalam sekejap, Arya bergerak. Tangannya menyambar pistol yang sudah ia sembunyikan di bawah bantal. Kini keduanya saling menodongkan senjata, ujung laras mengancam nyawa masing-masing.

Laras berdiri di tengah-tengah mereka, tubuhnya gemetar. "Berhenti! Kalian akan saling bunuh!"

"Dia mengkhianatiku," kata Frenki tajam.

"Kau mengkhianati dirimu sendiri," balas Arya pelan. "Dan sekarang, kau harus memilih: ikut denganku... atau mati seperti Dika."

Ketegangan di kamar itu menegang seperti senar yang siap putus. Laras tahu, satu pelatuk ditarik—dan semuanya akan berakhir.

"Tentukan pilihanmu, Laras!" teriak Frenki dengan suara penuh luka. "Sekarang juga!"

Tangannya gemetar, pistol dipegang erat, tapi matanya memohon. Laras menatap dua lelaki di hadapannya—masa lalu dan misinya.

Laras menarik napas panjang. Langkahnya pelan, tapi pasti. Ia berjalan mendekati Arya... lalu memeluknya erat.

"Aku memilih dia," ucapnya tanpa ragu, sambil memeluk Arya dari samping. "Maaf, Frenki."

Wajah Frenki berubah. Pistolnya mulai goyah. Matanya merah, seakan dunia runtuh di hadapannya. Dalam sekejap, lengah menyelimuti dirinya.

DOR!

Suara tembakan meledak di ruangan. Peluru melesat cepat dan menghantam tepat di tengah kening Frenki.

Tubuhnya ambruk seketika. Mata terbuka, tak percaya. Darah mengalir dari dahinya, membasahi lantai kamar hotel.

Arya menurunkan pistol perlahan, lalu mencium kening Laras. "Kau memilih dengan tepat," bisiknya pelan.

Tania menarik selimut menutupi tubuhnya, pura-pura gemetar ketakutan.

"Arya... aku takut... ini bagaimana dengan mayatnya? Kita bisa masuk penjara!" suaranya lirih, nyaris panik.

Arya mengenakan kembali baju tidurnya, lalu mendekati Tania sambil merangkul lembut.

"Tenanglah, sayang. Anak buahku akan membereskan semuanya. Tak akan ada yang tahu."

Beberapa ketukan di pintu terdengar. Arya membuka sedikit, lalu memberi isyarat. Dua pria bersenjata lengkap, berpakaian hitam, masuk tanpa suara. Mereka mengangkat tubuh Frenki yang tak bernyawa dan membungkusnya dalam plastik hitam. Tak lama kemudian, mereka pergi, meninggalkan kamar itu kembali sunyi.

Arya menutup pintu, menarik napas lega.

"Sudah selesai. Sekarang kita bisa santai..."

Namun, tanpa Arya sadari, Tania telah menyelipkan tangan ke dalam bantal. Dengan tenang, ia mengetik satu pesan pendek:

"Lokasi dikonfirmasi. Frenki tewas. Butuh backup diam-diam. —Tania."

Pesan terkirim ke Reno, melalui jalur terenkripsi. Tania menyimpan kembali ponselnya, lalu memeluk Arya dari belakang.

"Aku butuh kamu malam ini, Arya..." bisiknya, sambil menyembunyikan luka dan dendam di balik senyumannya.

Tania menuangkan dua gelas wiski dan menoleh ke Arya dengan senyum menggoda.

"Bagaimana kalau kita minum dulu... buat stamina?" ujarnya sambil menyerahkan satu gelas ke Arya.

Arya tak menaruh curiga, menerima dan meneguk setengah isi gelas dalam sekali minum.

"Wiski malam ini terasa beda, manis ya..." gumamnya santai.

Tania hanya tersenyum kecil. Mereka kembali larut dalam permainan yang sempat tertunda. Tania meluapkan seluruh kepiawaiannya, membuat Arya melayang dalam gelombang kenikmatan dan melupakan segalanya—bahkan bahaya yang sudah di depan mata.

Di saat Arya mulai lemas, Tania mendekapnya erat-erat, membisikkan sesuatu dengan nada menggoda, padahal ia sedang menghitung detik efek obat tidur bekerja.

Beberapa menit kemudian, tubuh Arya terkulai di pelukannya. Tertidur sangat pulas. Nafasnya berat, wajahnya tenang—tidak tahu bahwa malapetaka sedang menanti.

Tania perlahan menyibak diri dari pelukan itu, mengambil ponsel dari balik bantal dan mengirim pesan singkat:

"Target tidur. Masuk sekarang. Cepat."

Dia lalu berdiri, membuka jendela balkon kamar hotel. Angin malam menyapu rambutnya saat dari kejauhan, siluet Reno dan tim operasi bayangan mulai bergerak mendekat…

Satu per satu anak buah Arya dilumpuhkan secara senyap dan cepat oleh tim Reno. Beberapa berusaha kabur, tapi sudah dikepung dari segala arah. Peluru senapan kejut menghentikan perlawanan terakhir.

Di dalam kamar hotel, Arya terbangun dengan kepala pening, tangannya sudah diborgol ke belakang tempat tidur. Matanya membelalak melihat kekacauan di sekelilingnya.

“Apa yang terjadi...?” gumamnya panik.

Reno melangkah masuk, mengenakan rompi taktis. Tatapannya tajam. Ia berdiri di hadapan Arya dengan wajah tanpa ekspresi.

"Akhirnya kau bangun, Bayangan."

“Jangan sakiti dia! Jangan sakiti Laras! Dia tidak tahu apa-apa!” teriak Arya, meronta. Ia belum menyadari siapa sebenarnya wanita yang memikat hatinya.

Reno memberi isyarat ke anak buahnya.

“Amankan wanita itu. Masukkan ke mobil yang terpisah.”

“Laras!!” Arya menjerit sekuat tenaga saat melihat Tania—masih dalam sosok Laras—dibawa keluar.

“Jangan bawa dia! Aku yang bertanggung jawab, dia tidak bersalah!!”

Tania menoleh sekilas ke arah Arya. Tatapannya dingin. Tak ada lagi senyum manja, tak ada lagi ragu. Kini dia adalah agen. Seorang Tania yang tak bisa disentuh dengan dusta.

Ruang Interogasi, malam hari.

Arya duduk lemah, wajahnya pucat tapi tetap penuh perlawanan. Reno duduk di seberangnya, Tania (dalam seragam resmi) mengamati dari balik kaca satu arah tanpa membuka jati dirinya.

Reno:

"Siapa yang menggerakkan jaringanmu? Siapa di balik semua ini?"

Arya:

(tersenyum kecil)

"Kalian pikir sudah menang? Chen belum tertangkap. Dia masih bebas. Dan lebih parah—dia tidak sendiri."

Reno mencondongkan tubuh ke depan.

"Maksudmu ada orang dalam?"

Arya mengangguk pelan.

"Lebih dekat dari yang kau pikir."

Beberapa menit kemudian, interogasi dihentikan sementara. Arya dibawa ke sel tahanan.

---

Beberapa jam kemudian.

Alarm berbunyi.

Petugas berteriak:

"Tahanan satu, tak merespon!"

Tania dan Reno berlari menuju sel. Mereka melihat tubuh Arya tergeletak di lantai. Busa keluar dari mulutnya.

Petugas:

"Dia sudah tidak bernyawa."

Reno:

"Apa-apaan ini?!"

Pemeriksaan cepat menunjukkan racun dalam tubuhnya—kemungkinan besar disisipkan ke makanannya.

Tania:

(dingin, pelan)

"Ada orang dalam. Seseorang yang tahu dia akan bicara."

Reno menatap Tania.

"Kau pikir Chen sudah mulai bergerak?"

Tania memandangi tubuh Arya.

"Tidak hanya Chen. Kita sedang diawasi dari dalam. Dan Arya baru langkah pertama..."

Pagi itu, langit Jakarta memerah seperti luka yang belum sembuh. Restoran Dika kembali dibuka. Aroma masakan hangat bercampur dengan kenangan pahit yang masih menggantung di udara. Mbok Atik menggendong bayi kecil bernama Dikara, anak dari seorang ayah yang telah gugur sebagai pahlawan.

Kapten Merlin menatap wajah mungil itu, hatinya perih namun penuh harapan. “Ayahmu mungkin sudah tiada, tapi semangatnya akan terus hidup,” bisiknya pelan.

Tania datang, mengenakan seragam lengkap. Ia memeluk Merlin erat. “Selamat, Komandan.”

Merlin tersenyum tipis. “Aku sangat bangga padamu, Tania. Tapi ini belum usai, bukan?”

Tania mengangguk. “Belum. Arya memang tumbang, tapi informasinya membuka lubang yang lebih dalam. Chen yang asli... masih hidup. Dan dia di luar negeri.”

Merlin menggenggam tangan Tania. “Besok aku kembali memimpin sektor Jakarta Timur. Jika ada api kecil yang masih menyala di kegelapan, maka tugasku adalah menjaga agar ia tak pernah padam.”

Tania melangkah keluar, angin pagi meniup ujung jas dinasnya. Di matanya, terpancar tekad. Ia tahu, perang belum usai.

Dan di kejauhan, di balik bayangan kekuasaan, seseorang sedang tersenyum menatap layar monitor. Sosok Chen yang asli... masih mengatur langkah berikutnya.

1
aldi malin
terima kasih semoga ikutin episode berikutnya
Lalula09
Dahsyat, author kita hebat banget bikin cerita yang fresh!
うacacia╰︶
Aku sangat penasaran! Kapan Thor akan update lagi?
aldi malin: oke ...dintunggu ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!