NovelToon NovelToon
Diremehkan Karna Miskin Ternyata Queen

Diremehkan Karna Miskin Ternyata Queen

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Mafia / Reinkarnasi / Fantasi Wanita
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: Anayaputriiii

"Diremehkan Karna Miskin Ternyata Queen" Adalah Kisah seorang wanita yang dihina dan direndahkan oleh keluarganya dan orang lain. sehingga dengan hinaan tersebut dijadikan pelajaran untuk wanita tersebut menjadi orang yang sukses.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anayaputriiii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 14 Kekhawatiran Seorang Ayah

Sore ini Hanin datang ke rumah Santi. Ia mampir ke rumah sahabatnya untuk memberikan sekilo buah mangga yang ia beli dipinggir jalan. Saat melihat buah mangga itu, Hanin teringat Santi yang beberapa minggu ini tak bertemu.

"Bahagia lah!" Hanin menjawab disertai kekehan.

"Ya, meskipun harus diawali dengan kesalah pahaman, tapi Mas Raffa memperlakukan aku dengan baik, San. Dia tidak pernah berkata kasar, meski masih irit dalam bicara," jelasnya.

Santi manggut- manggut. "Aku masih nggak nyangka kalau kamu udah nikah, Nin. Mana nikahnya sama lelaki itu. He he he. Tapi, jujur aja, kalian cocok!" ucapnya seraya mengangkat dua jempol.

"Kamu aja yang gak ngalamin,bilang gak percaya. Aku loh yang ngalamin kayak berasa masih mimpi. Tiba- tiba nikah. Nikahnya sama pria secuek itu."

"Sabar, ya. Kalau kamu gak mau, aku mau kok gantiin kamu," kelakar Santi sambil menaik turunkan alisnya.

"Ambil aja kalau mau," kata Hanin dengan santainya.

"Ehem!"

Hanin sontak terkejut saat mendengar dehaman keras, begitu pula dengan Santi. Mereka berdua bergegas bangun saat melihat Raffa muncul dari balik tembok pagar. Sejak kapan lelaki itu ada di sana?Apa ia mendengar obrolan mereka?

"Kamu ngapain di sini, Mas?"Dengan gugup, Hanin melempar tanya. la seperti maling yang ketahuan mencuri. Ah, bisa- bisanya ia membicarakan suaminya sendiri!

"Aku tadi menjemput kamu ditoko. Tapi, ternyata kamu sudah pulang. Bukan pulang ke rumah,tapi ke rumah temanmu. Dan kalian membicarakan aku dengan sangat lancar," celetuk Raffa seraya bersidekap dada.

"Eh, itu anu... aku nggak sengaja, Mas." Hanin meremas jari-jemarinya.

"Ya udah, ayo, pulang!" ajak Raffa. Ia melirik sekilas ke arah Santi, dan wanita itu seketika mengalihkan pandangan saat bertatap mata.

Santi merasa takut. Tatapan Mengingatkannya pada kejadian di pasar beberapa waktu yang lalu.

"San, aku pulang dulu, ya. Assalamu' alaikum," pamit Hanin.

"Wa' alaikum salam."

"Iya, Nin. Makasih mangganya. Hanin menaiki motor Vega suaminya. Ia duduk dengan posisi miring karena memakai rok panjang.

"Maaf, ya, Mas, " katanya saat motor sudah melaju.

Hanin menghela napas."'Seenggaknya beri aku jawaban "Iya." agak panjang. Masa cuma gitu cuma iya doang. Iya, aku gak marah, kek. Atau yang lain. Mas Raffa tahu gak, sih, kalau denger Mas cuma jawab sekata dua kata itu bikin telinga gatel."

Tawa Raffa meledak. Ia benar-benar terhibur mendengar kelakar yang diucapkan istrinya.

"Dih, malah ketawa."

"Gak boleh?"

lihat kamu ketawa kayak gini, Mas.Soalnya tawa kamu itu langka banget. Selama bersama kamu,

"Boleh, kok. Aku malah seneng mana pernah kamu ketawa lepas kayak gini?" Hanin terkekeh.

"Iya, ya. Semua berkat kamu."

"Iya. Kalau aku gak keceplosan ngomongin Mas tadi, Mas gak bakalan ketawa kayak gini," kelakar Hanin.

Raffa hanya tersenyum menanggapi. Sesampainya di rumah, Bu Daning sudah menunggu di depan rumah. Wanita paruh baya itu menatap Hanin dan Raffa dengan tatapan tak bersahabat seperti biasanya.

"Assalamu' alaikum, Bu," salam Hanin seraya mengulurkan tangan.

"Wa' alaikum salam!" Bu Daning menepis tangan Hanin, enggan memberikan tangannya untuk dicium putrinya.

"Ibu kenapa lagi? Apa aku buat salah sama Ibu?" Hanin menghela napas, mencoba bersabar dengan sikap ibunya yang selalu berubah-ubah.

"Gak ada. Sudah sana masuk!Ajak suami benalumu juga!"

"Suami benalu?" Kedua alis Hanin menyatu mendengar celetukan ibunya. la menatap Raffa yang terlihat biasa saja. Lelaki itu memang pandai mengontrol emosi.

"Iya. Suamimu ini kan benalu!Dia sengaja, kan mau numpang gratis di sini? Makan tinggal

makan, tidur tinggal tidur. Tanpa mikirin biaya yang lainnya." Ucapan Bu Daning membuat perasaan Hanin terluka. Jika ada yang menginjak- injak harga diri suaminya, Hanin merasa harga dirinya ikut terinjak- injak.

"Bu, Mas Raffa baru beberapa minggu tinggal di sini. Mas Raffa belum gajian, lagian kenapa Ibu ngungkit hal seperti ini? Kan selama ini aku yang bayar semuanya, kan? Sedangkan Ibu dan Lisna tinggal menikmati saja?" kata Hanin. la tak habis pikir dengan ibunya.

Wajah Bu Daning memerah. "Gak usah bawa- bawa Lisna!"

"Kalau Ibu gak suka aku bawa- bawa Lisna, Ibu jangan bawa- bawa Mas Raffa," balas Hanin.

Bu Daning mendengkus. Ia menghentakkan kaki kemudian masuk ke dalam rumah dengan perasaan kesal.

Hanin memejamkan mata. Kedua tangannya mengepal erat.Tak bisa bohong kalau hatinya sakit saat ini.

"Hanin?" Raffa memanggil. Ia menatap istrinya yang hanya diam membisu.

"Maaf, ya, Mas," ucap Hanin,

pelan. Lantas mendongak menatap Raffa. "Untuk rencana kamu yang mau ngajak pindah, aku bersedia.Kalau bisa secepatnya, Mas."emosimu."

"Hanin, jangan mendahulukan Hanin menggeleng. Seulas senyum ia suguhkan pada Raffa." Aku bisa sabar dan menahan diri kalau cuma aku yang direndahkan atau dihina sama Ibu. Tapi, kalau kamu ikut dihina, aku gak bisa diam saja, Mas," ujarnya.

Hanin membuang napas panjang. "Ayo, kita masuk, Mas! Bapak pasti nungguin kita," ajaknya.

Untuk sesaat, Raffa tertegun saat menatap wajah Hanin. Wajah lelah dan tatapan penuh luka itu berhasil mengusik hatinya. Danuntuk pertama kali, ia merasa benar- benar dipedulikan oleh seseorang dengan tulus.

Malam harinya usai salat Magrib, Hanin dan Raffa menemui Pak Abdul yang sedang berzikir diruang tengah. Lelaki paruh baya itu selalu menyempatkan mengaji dan berzikir di waktu antara Magrib dan Isya.

"Pak?" Hanin duduk di samping ayahnya, sementara Raffa duduk di samping Hanin.

"Ada apa, Nak?"

"Pak, Aku dan Mas Raffa punya niatan untuk pindah dari sini.Kamu mau belajar mandiri," terang Hanin. Pak Abdul tak langsung menjawab. la memejamkan mata lalu membuang napas panjang.

"Kenapa tiba- tiba, Nak?" tanyanya seraya menatap Hanin dan Raffa bergantian.

"Gak tiba- tiba, kok. Sudah beberapa hari ini aku sama Mas Raffa rundingan masalah ini. Toh,kami udah nikah. Butuh privasi juga," kata Hanin.

Pak Abdul tersenyum. "Tunggu sampai resmi secara negara ya. Sampai kalian punya buku nikah," jawabnya, sengaja mengulur waktu karena ia tak mau berpisah dengan putri kesayangannya dengan cepat.

"Duh, biarin aja kenapa, sih,Pak? Anakmu itu mau pindah. Kenapa kamu beratin?" Bu Daning, seketika menyahut dari arah kamar. Ia menguping obrolan ketiga orang di ruang keluarga itu.

"Bu, bapak gak memberatkan mereka. Tapi, bapak mau mereka tidak buru- buru. Toh, pernikahan mereka belum tercatat secara negara dan hukum. Bapak juga masih mau tinggal lebih lama sama Hanin, Bu."

Penjelasan Pak Abdul tersebut berhasil membuat Hanin terenyuh. Hanin sebenarnya juga berat jika berpisah dengan Pak Abdul.Namun, ia paham bahwa kini Raffa lebih berhak atas dirinya.

"Pak, saya tidak alkan mengambil Hanin dari Bapak. Saya tidak akan menjauhkan dia dari Bapak. Bapak jangan cemas, karena sampai kapan pun, Hanin tetaplah anak Bapak," sela Raffa yang tak tega mendengar kalimat terakhir mertuanya itu.

Pak Abdul tersenyum. "Jangan begitu, Nak Raffa. Bapak jadi gak enak sama kamu. Kalian boleh pindah nanti. Tapi, sering-seringlah datang ke sini," pesannya.

"Iya, saya janji akan mengajak Hanin ke sini setiap akhir pekan," jawab Raffa.

"Heleh, kayak mau pindah keluar kota saja! Palingan cuma kedesa sebelah. Iya kalau pindah kerumah bagus. Palingan cuma kontrakan sepetak doang!" sela Bu Daning.

"Bu, jaga ucapanmu sama mantu kita. Gak enak didengernya, Bu!" tegur Pak Abdul.

"Aku ngomong apa adanya,Pak!" ketus Bu Daning.

Ia lantas melihat jam dinding. "Duh, Lisna ini ke mana ya? Sampe sekarang belum pulang," ucapnya. Bu Daning cemas karena Lisna,putri kesayangannya tak kunjung pulang sampai sepetang ini.

"Dia pergi sama siapa?" tanya Pak Abdul.

"Ya sama Arya. Siapa lagi?"

"Bu, seharusnya kamu batasi Lisna pergi sama Arya. Mereka kan belum menikah."

"Tapi, mereka udah tunangan,Pak!" bela Bu Daning.

Pak Abdul menghela napas berat. "Tunangan itu beda sama menikah, Bu. Mereka belum halal jika pergi berduaan setiap saat."

"Duh, gausah ceramah! Ceramahin aja putri kesayanganmu sama mantumu itu!"

Pak Abdul hanya menggelengkan kepala. Ia menatap Raffa seolah berbicara lewat sorot matanya bahwa ia meminta maaf.

Tak lama kemudian, Lisna pulang bersama Arya sambil membawa beberapa belanjaan berisi baju.

Lisna masuk ke rumah dengan langkah santai, diikuti Arya yang membawa belanjaan di tangannya. Senyumnya merekah seolah tak ada yang perlu dikhawatirkan.

"Bu, Pak, kami pulang," sapanya riang, lalu mencium tangan kedua orang tuanya.

Pak Abdul hanya mengangguk dingin, sedangkan Bu Daning langsung menyambut dengan hangat.

"Dari mana saja kamu,Nak? Lama sekali kalau main.Mana gak ngasih kabar apa pun."

"Maaf, Bu. Aku tadi sibuk pilih-pilih baju buat acara minggu depan," jawab Lisna sambil menaruh belanjaannya di meja.

Pak Abdul menatap Arya tajam."Arya, kenapa kamu nggak antar Lisna pulang lebih awal? Kalian tahu sendiri kan, ini kampung kecil. Omongan orang gampang sekali menyebar."

Arya tersenyum canggung."Maaf, Pak. Kami tadi terlalu asyik di toko sampai nggak sadar waktu."

Lisna mendekati ayahnya, menggenggam tangannya dengan lembut. "Pak, tenang saja. Aku tahu batasannya. Lagi pula, Mas Arya selalu jagain aku."

Namun, ucapan Lisna hanya membuat Pak Abdul semakin resah."Jagain? Kalau memang jagain, kenapa kamu pulang terlambat? Tunangan itu belum berarti apa-apa di mata masyarakat, Lisna. Jangan sampai ada hal yang bikin malu keluarga."

Bu Daning mencoba menenangkan suasana. "Sudahlah, Pak. Arya ini calon suami Lisna. Diasudah tahu bagaimana menjaga anak kita."

Namun, diam -diam, kecemasan Pak Abdul tak surut. Ada sesuatu dari cara Arya bersikap yang membuatnya merasa tidak nyaman.

"Apa kamu lihat- lihat, Nin? Iri lihat aku habis belanja banyak?" Lisna mengangkat dagu saat tak sengaja bertatap mata dengan Hanin.

"Enggak sama sekali."

Lisna mencebik. "Sok banget! Bilang aja iri, suamimu gak bakalan mampu beli pakaian mahal ini! Gajinya kan kecil!"

Raffa terkekeh, rasanya ia ingin tertawa keras usai melihat logo dannama butik tempat Lisna membeli baju. "Gajiku emang kecil. Tapi,bukan berarti aku tak mampu beli.Kalau aku mau, aku bisa membeli tokonya juga."

Lisna terperangah. Namun, beberapa detik berikutnya tertawa terbahak- bahak sampai mengeluarkan air mata. Hanin sendiri merasa canggung dan tak nyaman mendengar ucapan suaminya yang dirasa terlalu berhayal tinggi.

"Halumu ketinggian! Duh, kalian ini memang cocok banget! "

Sama- sama suka mengkhayal, tapi nyatanya hayalan kalian cuma terjadi dalam mimpi!" ejek Lisna.

"Sudah Hentikan! " Tegur Pak Abdul.

"Nak Arya, mending kamu pulang dulu, ya. Makasih udah mengantar Lisna pulang," usirnya

secara halus.

Arya mengangguk. "Iya, Pak,Bu. Kalau gitu saya pulang dulu."Tanpa bersalaman dengan Pak Abdul, ia nyelonong pergi begitu saja.

"Bu, ayo ikut ke kamarku! Aku beliin baju juga buat Ibu. Jangan dibuka di sini. Nanti ada yang iri," kata Lisna, sengaja menyindir Hanin.

"Wah, kamu emang anak baik, Lis! " Hanin hanya tersenyum melihat sikap ibu dan adiknya.

Keesokan harinya, Pak Abdul memutuskan untuk menemui orang tua Arya di rumah mereka. Iaingin memastikan apakah keluarga Arya benar -benar serius dengan hubungan ini atau tidak. Ia takut jika saja terjadi sesuatu yang tak dinginkan pada Lisna.

Setibanya di sana, ia disambut hangat oleh Bu Lila. Namun, percakapan yang berlangsung malah membuat Pak Abdul semakinbimbang.

"Pak Abdul, sebenarnya saya ingin membicarakan sesuatu," ujar Bu Lila dengan nada hati- hati.

"Ada apa, Bu Lila? Kalau ini soal pernikahan Arya dan Lisna, saya harap semuanya berjalan sesuai rencana."

Bu Lila menghela napas panjang. "Itu dia masalahnya. Arya akhir- akhir ini sering membuat kami khawatir. Dia terlalu boros. Kami juga baru tahu kalau dia punya beberapa utang dari usaha

yang gagal."

Pak Abdul terdiam. Ini adalah hal yang sama sekali tidak ia duga."Kenapa tidak bicara dari awal, Bu? Lisna harus tahu soal ini. Pernikahan bukan hanya soal cinta, tapi juga kesiapan."

Bu Lila mengangguk. "Saya tahu, Pak. Tapi Arya melarang kami membahasnya dengan Anda."

Mendengar itu, Pak Abdul merasa kecewa. Ia pulang dengan hati yang berat, bingung bagaimana cara menyampaikan kabar ini kepada Lisna tanpa melukai perasaannya.

Malam itu, setelah makan malam, Pak Abdul memanggil Lisna dan Arya untuk bicara serius.Arya beberapa waktu ini memang sering menghabiskan waktu dirumah Lisna. Di ruang tamu, ia duduk dengan wajah penuh wibawa, sementara Bu Daning memperhatikan dengan cemas.

"Ada yang ingin Bapak tanyakan," ucap Pak Abdul, menatap Arya lekat- lekat. "Apa benar kamu punya utang yang belum selesai?"

Arya terlihat kaget, tetapi segera mencoba tersenyum. "Pak, itu cuma masalah kecil. Saya bisa urus sendiri."

"Masalah kecil? Kalau itu kecil, kenapa Mamamu kamu sampai khawatir?" suara Pak Abdul mulai

meninggi.

Lisna menatap Arya dengan bingung. "Mas Arya, ini apa maksudnya? Kok aku nggak tahu soal utang?"

"Urusan itu udah ditangani sama Papa, Sayang. Aku gak pernah cerita karena aku gak mau membuat kamu kepikiran," jelas Arya. "Aki juga udah minta Papa untuk mencarikan pekerjaan diNirwana Estates, dan mungkin minggu depan aku udah mulai kerja. Seperti yang pernah aku

katakan, kalau aku akan merangkap menjadi pengusaha sekaligus orang kantoran," imbuhnya.

"Semua yang mengurus papamu?" tanya Pak Abdul.

Arya mengangguk, merasa tak nyaman dengan tatapan Pak Abdul.papanya yang ngurus semua masalah Mas Arya, Pa? Namanya orang tua kan emang harus bantu anaknya, kalau anaknya lagi susah,"sela Lisna, membela Arya. "Lagian Mas Arya bener, masalah utang ngapain diceritain?

"Halah, emang kenapa kalau kalau Papa Herman bisa ngatasin. Apalagi bentar lagi Mas Arya akan kerja di perusahaan besar. Itu artinya gajinya makin gede karenadapat pemasukan dobel!"

Pak Abdul menghela napas panjang. Sementara itu, diruangtengah, Raffa mendengar semuanya. la tersenyum tipis, sebab perusahaan yang akan dimasuki oleh Arya adalah perusahaan miliknya.

1
Nurae
Ini cerita nya sedih... ☹️
viddd
Greget bangett sama kelakuan lisna dan ibunya,, cepet rilis episode selanjutnya dong
viddd
Good ceritanya
viddd
Kasian lisna, baru episode 1 aja sedih ceritanya 🥲
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!