Akay, pemuda yang kadang bermulut pedas, terjebak dalam pernikahan dengan Aylin, gadis badung yang keras kepala, setelah menabrak neneknya. Itu adalah permintaan terakhir sang nenek—dan mereka harus menandatangani perjanjian gila. Jika Akay menceraikan Aylin, ia harus membayar denda seratus miliar. Tapi jika Aylin yang meminta cerai, seluruh harta warisan neneknya akan jatuh ke tangan Akay!
Trauma dengan pengkhianatan ayahnya, Aylin menolak mengakui Akay sebagai suaminya. Setelah neneknya tiada, ia kabur. Tapi takdir mempertemukan mereka kembali di kota. Aylin menawarkan kesepakatan: hidup masing-masing meski tetap menikah.
Tapi apakah Akay akan setuju begitu saja? Atau justru ia punya cara lain untuk mengendalikan istri bandelnya yang suka tawuran dan balapan liar ini?
Apa yang akan terjadi saat perasaan yang dulu tak dianggap mulai tumbuh? Apakah pernikahan mereka hanya sekadar perjanjian, atau akan berubah menjadi sesuatu yang tak pernah mereka duga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
1. Kecelakaan Jebakan
"Damn!"
Akay mengumpat pelan saat tubuh renta itu tiba-tiba terhuyung ke depan mobilnya. Rem diinjak mendadak, tapi terlambat, tubuh kecil itu sudah jatuh ke jalan dengan suara gedebuk.
Seketika, teriakan warga pecah.
"Astaga! Nenek Ros ditabrak!"
"Lihat tuh, orang kota ugal-ugalan!"
Akay turun dengan jantung berdebar. Seorang nenek tua bersimpuh di tanah, meringis sambil memegang lututnya. Wajahnya pucat, tapi ada sorot licik yang nyaris tak terlihat dalam bening matanya.
"Astaga, Nek! Saya nggak sengaja!" Akay berlutut, memeriksa apakah ada luka.
"Tolong saya, bawa nenek ini ke rumah sakit," ujar Akay kepada kerumunan warga.
Tapi alih-alih mengiyakan, mereka hanya saling bertukar pandang. Seorang lelaki paruh baya mendekat, membantu Nenek Ros berdiri.
"Tidak perlu ke rumah sakit, Nak," suara nenek itu serak, tapi cukup lantang. "Aku baik-baik saja... asal kau mau menepati tanggung jawabmu."
Akay mengernyit. "Maksudnya?"
"Menikahi cucuku."
Seketika, suara-suara gaduh kembali terdengar. Beberapa warga mengangguk-angguk, seolah mendukung gagasan gila itu.
Akay melongo. "Apa?! Nenek, saya bisa bayar biaya pengobatan, tapi menikahi cucu Nenek? Nggak masuk akal!"
Nenek Ros tiba-tiba tersungkur lagi, kali ini lebih dramatis. Kedua tangannya bersimpuh di jalan berdebu. "Aku mohon, Nak... Umurku nggak panjang lagi. Aku ingin melihat cucuku menikah sebelum aku mati..."
Akay menggeleng cepat. "Nenek, ini gila! Saya bahkan nggak kenal cucu Nenek!"
Kerumunan warga mulai bergumam. Beberapa terlihat kasihan, yang lain tersenyum-senyum seolah sudah tahu akhir ceritanya.
"Nenek Ros sudah banyak membantu desa ini," seseorang berkata.
"Iya, dia yang membangun balai desa ini, menyekolahkan anak-anak kita…"
Yang lain berbisik pelan, "Kasihan banget pemuda itu, harus menikah dengan cucu nenek Ros yang terkenal badung."
Orang yang dibisiki menyahut, "Di desa ini aja nggak ada yang berani mendekatinya."
"Apalagi berharap bisa mengendalikan cucu nenek Ros yang satu itu."
Akay meremas rambutnya frustasi. "Nenek, saya bisa bayar berapa pun biaya pengobatan, tapi menikahi cucu Nenek? Itu gila!"
"Tidak, Nak," Nenek Ros bersimpuh lagi di jalan, suaranya bergetar penuh kepasrahan. "Aku ingin mati dengan tenang. Cucu perempuan satu-satunya belum menikah, sedangkan umurku sudah di ujung tanduk. Jika kau benar-benar pria baik, kau akan memenuhi permintaan terakhir seorang nenek tua sepertiku…"
Akay menatapnya dengan napas memburu. Otaknya masih berusaha menemukan celah keluar dari situasi sinting ini. "Mimpi apa aku semalam?" batinnya ingin berteriak.
"Kalau saya menolak?" tanyanya dengan nada menantang.
Sorot mata Nenek Ros berubah. Dari pasrah… menjadi tajam dan penuh perhitungan.
"Kalau kau menolak," katanya, suaranya kini dingin, "aku tidak akan melepaskan tanahku untuk proyekmu. Kau ingat lahan di dekat sungai? Itu milikku."
Akay sontak membeku. "Apa?"
Warga yang tadi sibuk berbisik-bisik kini terdiam, menyadari bahwa ini bukan sekadar drama nenek tua yang ingin melihat cucunya menikah.
Nenek Ros tersenyum kecil. "Kau mungkin tak tahu, Nak, tapi tanah yang kau butuhkan untuk proyek besarmu itu… tanahku. Dan aku tidak akan menandatangani satu pun dokumen pelepasan tanah jika kau tidak menikahi cucuku."
Akay merasakan tubuhnya menegang.
Tidak. Ini tidak mungkin terjadi.
Selama ini, ia selalu percaya diri bahwa proyek yang sedang ia tangani akan berjalan lancar. Ia sudah berjanji pada atasannya bahwa semuanya akan selesai sesuai rencana. Tidak ada hambatan. Tidak ada celah bagi kegagalan.
Tapi sekarang?
Jika Nenek Ros benar-benar tidak melepaskan tanah itu, proyeknya akan berhenti. Atasannya akan menderita kerugian besar. Kepercayaan yang sudah ia bangun selama ini akan hancur.
Dan Akay benci kegagalan.
Tangannya mengepal. "Ini pemerasan."
"Pemerasan? Tidak, ini hanya… negosiasi yang adil." Senyum Nenek Ros kembali lembut. "Aku hanya meminta kau menikahi cucuku. Toh, kau pria tampan dan bertanggung jawab, bukan? Jangan khawatir, cucuku sangat cantik."
Akay menggeram. Ia ingin menolak, ingin kabur dari situasi gila ini. Tapi ia juga tahu, ini bukan sekadar ancaman kosong.
Jika ia menolak, maka ia harus siap menghadapi proyek yang berantakan.
"Astaga…" Akay menatap sekeliling, berharap ada seseorang yang bisa menyelamatkannya. Tapi para warga hanya tersenyum penuh harap, seolah-olah mereka sedang menyaksikan acara pernikahan tahun ini.
"Sekarang bagaimana, Nak?" suara Nenek Ros terdengar sabar. "Aku sudah menyiapkan semuanya. Bahkan memanggil cucuku ke sini. Kau hanya perlu mengucap akad."
Akay mengepalkan rahangnya begitu keras hingga nyaris retak.
Ia terjebak.
Dan tidak ada jalan keluar.
Akay sadar, ia sudah terperangkap.
Di tempat lain, Aylin menatap heran seorang lelaki yang berlari tergopoh-gopoh ke rumahnya.
"Aylin! Nenekmu tertabrak mobil!"
Jantungnya nyaris copot. "Apa?!"
"Dia ada di balai desa! Cepat ke sana!"
Panik, Aylin segera berlari.
Tapi saat tiba di balai desa, langkahnya langsung terhenti. Ia berdiri mematung di ambang pintu balai desa, matanya melebar melihat pemandangan di hadapannya.
Di hadapannya, bukan suasana genting khas kecelakaan. Bukan neneknya yang terbaring di atas tandu atau warga yang sibuk menolong.
Yang ada justru... pelaminan.
Tirai putih dan emas tergantung anggun, dihiasi bunga-bunga segar. Meja akad sudah tertata rapi, dengan buku nikah di atasnya. Para warga desa duduk rapi di kursi masing-masing, beberapa bahkan tersenyum penuh harap.
Ia menoleh ke kanan, melihat neneknya berdiri dengan mata berkaca-kaca. Di sebelahnya, seorang pemuda berwajah tampan, tapi sorot matanya penuh kejengkelan.
"Selamat datang, cucuku," ujar Nenek Ros dengan suara dramatis. "Inilah calon suamimu."
Aylin butuh beberapa detik untuk mencerna semua ini sebelum akhirnya menoleh tajam ke arah neneknya.
"Apa-apaan ini?!" suaranya nyaris memekik.
Akay menatap Aylin dengan ekspresi yang tak kalah syok, melihat gadis yang akan dinikahinya. "Jangan tanya aku! Aku juga korban!"
Tapi Nenek Ros hanya tersenyum puas, sementara warga desa bertepuk tangan, seolah menyaksikan awal dari kisah cinta luar biasa.
Atau mungkin… perang dunia ketiga.
Aylin tertawa sumbang. "Nenek pasti bercanda."
"Tidak," jawab Nenek Ros ringan. "Nenek sudah menyiapkan semuanya. Akay sudah setuju."
Aylin menoleh ke pria yang disebut Akay, yang balas menatapnya dengan sorot mata sebal.
"Tunggu, tunggu." Aylin mengangkat tangan, meminta semua ini berhenti. "Nenek tiba-tiba menabrakkan diri ke mobil orang, lalu menyuruh pria asing ini menikah denganku? Nenek sehat?"
Beberapa warga tersentak mendengar nada kasarnya, tapi Nenek Ros tetap tenang.
"Aylin, dengarkan Nenek baik-baik," katanya dengan nada lembut tapi menusuk. "Nenek tidak punya banyak waktu. Sebelum meninggal, Nenek hanya ingin melihatmu menikah."
Aylin mengerutkan kening. "Menikah? Dengan orang yang bahkan tidak aku kenal?"
"Kalian bisa saling mengenal setelah menikah," balas Nenek Ros enteng.
"Astaga, ini konyol!" Aylin mengusap wajahnya. "Aku tidak mau menikah dengan siapapun! Apalagi dengan pria ini!"
Akay mengangkat alis, sepertinya tersinggung juga. Namun sesaat kemudian ia tersenyum ketika melihat rambut Aylin yang acak-acakan, dipadukan dengan kaus oversize, celana pendek ripped jeans, dan sandal jepit. "Kau sangat cantik."
"Tentu!" Aylin mengibaskan rambutnya dengan gaya dramatis, penuh percaya diri.
Akay tersenyum miring. "Sayang, keanggunanmu ketutupan sama gaya kayak habis berantem sama ayam. Wajahmu sih, mendukung buat jadi putri, tapi kelakuanmu lebih cocok jadi Tarzan. Gue? Ogah kawin sama cewek macem lu."
Para warga menahan tawa.
Nenek Ros? Dia hanya tersenyum makin puas.
Aylin membelalakkan matanya, wajahnya memerah karena amarah. "Sialan! Siapa juga yang mau nikah sama kamu? Tampangmu sih lumayan, tapi mulutmu seperti cabai setan!"
Dia menatap Akay tajam sebelum beralih ke Nenek Ros. "Lihat? Kami berdua menolak! Nenek nggak bisa memaksa!"
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Akay merasa dijebak nenek ros menikahi cucunya...
Darah Akay sudah mendidih si Jordi ngajak balapan lagi sama Aylin...benar² cari mati kamu Jordi..ayo Akay bilang saja ke semua teman² Aylin kalo kalian sudah menikah
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍