Prolog
Hujan deras mengguyur malam itu, membasahi jalanan berbatu yang dipenuhi genangan air. Siena terengah-engah, tangannya berlumuran darah saat ia berlari melewati gang-gang sempit, mencoba melarikan diri dari kematian yang telah menunggunya. Betrayal—pengkhianatan yang selama ini ia curigai akhirnya menjadi kenyataan. Ivana, seseorang yang ia anggap teman, telah menjebaknya. Dengan tubuh yang mulai melemah, Siena terjatuh di tengah hujan, napasnya tersengal saat tatapan dinginnya masih memancarkan tekad. Namun, sebelum kesadarannya benar-benar menghilang, satu hal yang ia tahu pasti—ia tidak akan mati begitu saja.
Di tempat lain, Eleanor Roosevelt menatap kosong ke luar jendela. Tubuhnya kurus, wajahnya pucat tanpa kehidupan, seolah dunia telah menghabisinya tanpa ampun. Sebagai istri dari Duke Cedric, ia seharusnya hidup dalam kemewahan, namun yang ia dapatkan hanyalah kesepian dan penderitaan. Kabar bahwa suaminya membawa wanita lain pulang menghantamnya seperti belati di dada
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon d06, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1 - Bayangan dalam Kegelapan
Malam itu, kota tenggelam dalam kegelapan. Hanya cahaya lampu jalan yang samar-samar menerangi lorong-lorong sempit yang penuh dengan bayangan. Siena melangkah cepat, tubuhnya menyatu dengan kegelapan seperti siluman yang tak terlihat. Setiap gerakannya ringan, nyaris tanpa suara, seolah-olah dia adalah bagian dari malam itu sendiri.
Pekerjaannya bukan sesuatu yang bisa dibanggakan di mata masyarakat biasa. Dia bukan polisi, bukan tentara, dan bukan pahlawan. Siena adalah mata-mata—seorang agen bayangan yang bertugas menyusup, mengumpulkan informasi, dan jika perlu, menghabisi target tanpa meninggalkan jejak.
Misinya malam ini sederhana: mengambil dokumen rahasia dari seorang politisi korup yang tengah melakukan pertemuan dengan musuh negaranya. Jika informasi ini jatuh ke tangan yang salah, keseimbangan kekuatan bisa terganggu.
Dia melompat ke balkon sebuah gedung tua, jari-jarinya lincah mencengkeram besi pagar sebelum dengan mudah melompat ke dalam ruangan melalui jendela yang terbuka. Di dalam, tak ada suara selain detak jam di dinding. Dengan cekatan, Siena membuka laci meja kerja dan menarik berkas-berkas yang tersusun rapi.
"Mudah sekali."
Namun, saat dia berbalik, ada sesuatu yang tidak beres.
Klik!
Suara kecil namun jelas terdengar di belakangnya. Siena membeku, tubuhnya refleks merendah sebelum berputar cepat. Matanya bertemu dengan sepasang mata lain yang familiar.
"Ivana?"
Wanita itu berdiri di ambang pintu, senjatanya terangkat. Tidak ada ekspresi bersahabat di wajahnya, hanya tatapan dingin yang penuh perhitungan.
"Sudah kuduga kau akan sampai di sini lebih dulu." Ivana melangkah masuk, tumit sepatunya berdetak pelan di lantai kayu.
Siena menyipitkan mata, firasat buruk menyelusup ke dalam benaknya. "Apa maksudmu?"
Ivana tersenyum tipis, lalu mengangkat pistolnya lebih tinggi. "Kau terlalu percaya diri, Siena. Aku sudah bosan berada di bayanganmu. Kau selalu jadi yang terbaik, selalu dipuji, selalu mendapat misi yang paling penting."
Jantung Siena berdegup lebih kencang. "Jadi kau mengkhianatiku?"
"Aku hanya mengambil kesempatan," Ivana berbisik sebelum menarik pelatuk.
Siena bergerak, namun peluru lebih cepat. Rasa panas menyambar perutnya, membuatnya jatuh terduduk dengan napas memburu. Tangannya menekan lukanya, darah mengalir deras di antara jari-jarinya.
Dunia terasa mulai berputar. Pandangannya kabur. Siena ingin melawan, ingin melarikan diri, tapi tubuhnya tak lagi mendengarkan.
Ivana mendekat, berjongkok di hadapannya, menatapnya dengan senyum penuh kemenangan. "Akhirnya, kau kalah, Siena."
Siena ingin tertawa, ingin menghina Ivana yang mengira dirinya menang. Tapi suaranya tak keluar. Tubuhnya semakin dingin.
Dalam kepalanya, hanya satu pikiran yang tersisa.
"Seandainya aku bisa hidup kembali…"
Lalu semuanya gelap.
.......
.......
Kegelapan.
Tak ada rasa sakit, tak ada suara. Hanya kehampaan yang menelan segalanya. Siena merasa seperti melayang dalam ruang tanpa batas.
"Jadi begini rasanya mati?" pikirnya.
Dia mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi tak ada yang merespons. Dia mencoba membuka matanya, tapi yang dia lihat hanyalah kegelapan yang pekat. Waktu berlalu, entah detik atau tahun, tak ada yang bisa dia rasakan selain kehampaan ini.
Namun, tiba-tiba… sesuatu berubah.
Desiran suara aneh bergema di sekelilingnya. Suara-suara asing berbisik dalam bahasa yang tidak dia kenali, seperti doa-doa yang diucapkan dalam kebingungan.
Lalu, rasa sakit itu datang.
Bukan rasa sakit akibat peluru Ivana, melainkan sesuatu yang jauh lebih mengerikan—seolah-olah seluruh tubuhnya diremukkan, dibentuk ulang, dipaksa masuk ke dalam wujud yang bukan miliknya. Siena ingin menjerit, tapi tenggorokannya terasa tersumbat.
Dan tiba-tiba, semuanya berhenti.
Udara dingin menusuk kulitnya, napas berat keluar dari bibirnya yang kering. Kelopak matanya perlahan terbuka, dan yang pertama kali dia lihat adalah langit-langit kayu yang berdebu.
Dia terbaring di tempat tidur yang terasa asing. Tangannya yang gemetar terangkat, dan matanya membelalak.
Itu bukan tangannya.
Jari-jarinya kurus dan pucat, seperti milik seseorang yang sudah lama sakit. Dia menatap sekeliling, napasnya memburu. Kamar ini tidak memiliki teknologi modern yang dia kenal. Tidak ada lampu neon, tidak ada suara lalu lintas dari luar jendela, hanya sebuah lilin yang redup menerangi ruangan kecil ini.
Panik, Siena mencoba bangkit, tapi tubuhnya terasa lemah, seakan bukan miliknya sendiri. Saat itulah dia menyadari sesuatu.
Ada cermin di sudut ruangan.
Dengan sisa tenaga yang ada, dia menyeret dirinya keluar dari tempat tidur, kakinya nyaris tidak bisa menopang tubuhnya. Dengan napas terengah-engah, dia meraih tepi meja dan melihat pantulan dirinya di cermin.
Siena tertegun.
Wajah yang menatap balik padanya bukanlah wajahnya yang dulu.
Rambut panjang berwarna pirang pucat tergerai kusut di bahunya. Kulitnya seputih kertas, begitu pucat hingga hampir transparan. Mata biru yang suram memancarkan kehampaan, seolah-olah jiwa pemilik tubuh ini telah lama mati sebelum dia mengambil alihnya.
"Siapa ini…?"
Lalu, seketika ingatan menghantam kepalanya seperti gelombang badai.
Eleanor Roosevelt.
Nama itu bergema di dalam pikirannya. Sosok yang mengisi tubuh ini, seorang wanita yang dilahirkan sebagai anak haram seorang Marquis, yang diabaikan oleh keluarganya, yang dijual ke dalam pernikahan dengan seorang Duke kejam bernama Cedric.
Seorang wanita yang telah menjalani kehidupan penuh penderitaan.
Dan kemudian mati dalam keputusasaan.
Siena—atau sekarang Eleanor—merosot ke lantai, tangannya mencengkeram dadanya yang terasa sesak.
"Aku bereinkarnasi?" pikirnya tak percaya.
Dia menatap wajah barunya di cermin, perasaan aneh berputar di dalam dadanya.
Dia telah mati sebagai Siena, dikhianati oleh orang yang paling dia percayai.
Dan sekarang dia hidup kembali sebagai Eleanor, seorang wanita yang telah kehilangan segalanya bahkan sebelum kematiannya.
Namun ada satu perbedaan besar…
Siena dulu adalah seorang mata-mata. Seorang wanita yang tidak mudah menyerah.
Jika dunia ini ingin mengutuk Eleanor dengan kehidupan menyedihkan, maka dia akan menertawakannya kembali.
Karena kali ini, dia tidak akan membiarkan dirinya diinjak-injak lagi.
Dengan senyum tipis yang penuh tekad, Eleanor bangkit dari lantai.
Ini bukan akhir.
Ini adalah awal dari segalanya.
suka banget sama alurnya, pelan tapi ada aja kejutan di tiap bab...
lanjut up lagi thor