Gadis cantik selesai mandi, pulang ke gubugnya di tepi sungai. Tubuh mulus putih ramping dan berdada padat, hanya berbalut kain jarik, membuat mata Rangga melotot lebar. Dari tempatnya berada, Rangga bergerak cepat.
Mendorong tubuh gadis itu ke dalam gubug lalu mengunci pintu.
"Tolong, jangan!"
Sret, sret, kain jarik terlepas, mulut gadis itu dibekap, lalu selesai! Mahkota terengut sudah dengan tetesan darah perawan.
Namun gadis itu adalah seorang petugas kesehatan, dengan cepat tangannya meraih alat suntik yang berisikan cairan obat, entah apa.
Cross! Ia tusuk alat vital milik pria bejad itu.
"Seumur hidup kau akan mandul dan loyo!" sumpahnya penuh dendam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Syarifah Hanum, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
Mentari nyaris tenggelam, Nadira cepat cepat menyudahi mandinya di sungai. Tempat itu sudah mulai meremang gelap dan sangat sepi, setelah mengencangkan lilitan kain jarik di tubuhnya, kaki jenjang Nadira keluar dari air, lalu satu persatu batu batu besar ia injak dengan hati hati karena licin, takut kepleset.
Undakkan demi undakkan ia injak untuk naik menuju ke gubugnya yang berada di bantaran sungai.
"Siapa kamu?", pekik Nadira ketakutan. Seorang pria tak dikenal, berwajah sangat tampan, seperti menyambutnya ketika tubuhnya sudah naik sempurna dari bawah, dari sungai tempatnya mandi tadi.
" Maaf saya kesasar!", dusta pemuda itu. Pada hal dari tadi ia sudah mengintip saat Nadira mandi.
Nafsu birahinya memuncak, dan ia tak mampu mengendalikannya, ubun ubunnya seperti akan meledak jika dorongan dari bawah tubuhnya itu tidak segera disalurkan.
"Pinggir! Aku mau masuk!"
Nadira mengusir, Rangga, nama pria muda itu yang sedang menghalangi pintu gubugnya.
Namun nafsu yang sudah berkobar, telah menutup habis akal sehat Rangga. Detik itu juga pikirannya terbakar oleh syahwatnya. Otaknya lumpuh seketika, dengan reflek ia mendobrak pintu dan.menarik tangan Nadira agar ikut masuk ke dalam gubugnya.
Ceklek!
Pintu terkunci, lalu tubuh indah dan ramping itu ia dorong dengan kuat hingga Nadira terjerembab di atas dipannya yang berkasur tipis dan lapuk.
"Tolong ! Jangan!"
Nadira mendorong tubuh Rangga yang sudah berada di atas tubuhnya.
Merasa gerakkannya terganggu, Rangga membekap mulut Nadira dengan bantal.yang juga sudah sangat kusam dan dekil.
Nadira kesulitan bernafas, gerakkan kakinya yang liar menghentak hentak dan berusaha menyingkirkan tubuh kekar itu, makin membuat penutup tubuhnya berserak kemana mana dan makin membuat Rangga lebih mudah melakukan niatnya.
"Argh...!"
Lenguhan puas meluncur dari mulut Rangga. Selesai! Mahkota Nadira terenggut sudah, dengan kasar dan terpaksa. Darah perawan menetes dari sela selah paha gadis itu, membasahi kasur lusuh tanpa alas itu.
"Maafkan aku !", ucap Rangga penuh sesal.
" Aku akan bertanggung jawab!", cicitnya.
"Pergilah! Aku tak butuh belas kasihan dari pria bajingan seperti kamu!", rintih Nadira dalam isaknya.
Namun tangannya meraih sesuatu dari sisi kasurnya, sebuah alat suntik yang telah berisi cairan obat, entah apa.
Saat Rangga lengah karena sibuk membenahi celananya yang belum tertutup sempurna, dengan cepat Nadira menancapkan jarum suntik itu ke atas buah zakar Rangga.Nyaris mengenai benda itu.
" Heiii...!", pekik kesakitan keluar dari mulut Rangga.
Sesaat sebelum Rangga pingsan, ia mendengar gadis cantik yang tubuhnya baru saja ia gagahi itu berteriak.
"Demi Allah aku bersumpah, seumur hidupmu kau akan mandul dan loyo!"
Setelah itu Rangga pingsan. cepat cepat Nadira membenahi semua kekacauan yang mereka timbulkan tadi.
Ia juga membuang alat suntiknya beserta obat obatannya ke lubang sampah, lalu ia bakar!
Nadira adalah seorang gadis yatim piatu yang sedang menuntut ilmu di sebuah akademi keperawatan di sebuah rumah sakit besar di kota dekat kampung mereka.
Setelah ayah ibunya meninggal dunia akibat kecelakaan beberapa tahun yang lalu, Nadira menjual tanah warisan ayahnya yang merupakan anak tunggal dari kakek neneknya.Dan hanya tersisa kebun singkong, itu pun sudah disewakan kepada kerabat ayahnya.
Karena tidak ada modal kerja, tanah seluas setengah hektar itu disewakan oleh ayahnya kepada wak Bardi, abang sepupu ayahnya untuk ditanami singkong.
Dengan uang itu mereka menyambung hidup dan untuk biaya sekolah Nadira.
Tapi begitu orang tuanya Nadira tiada, ia menawarkan tanah tersebut kepada wak Bardi dengan harga sedikit miring.
Seluruh uang hasil penjualan tanah itu, langsung Nadira depositokan di bank milik pemerintah.
Sedangkan untuk tempat tinggal, Nadira memilih tinggal di gubug di pinggir sungai peninggalan ayahnya.
Dulu ketika hidup, orang tua Nadira memang miskin, satu satunya harta ya cuma tanah warisan itu, namun ayahnya tidak juga bisa mengelolanya karena keterbatasan biaya operasional.
Rumah gubug itu pun di bangun oleh ayahnya di atas tanah negara. Entah apa yang dipikirkan oleh ayahnya saat itu, mengapa tidak mau membangun rumah di atas tanahnya sendiri.
Sebenarnya wak Bardii sudah menawari Nadira untuk tinggal.di rumahnya saat Nadira pulang kampung karena libur kuliah, namun Nadira tidak mau.
Ia lebih nyaman tinggal di gubugnya sendiri walau dalam keadaan yang sangat sederhana.
"Nadira, tinggallah di rumah wak, jangan tinggal lagi di rumahmu! Bahaya jika anak gadis tinggal sendirian di situ!", bujuk wak Bardi kala itu.
Istri wak Bardi juga ikut membujuk Nadira, namun tetap saja Nadira menolak niat baik keluarga jauh ayahnya itu.
" Terimakasih wak Bardi, wak Lilis, Nadira kan cuma sebentar tinggal di gubug itu, karena Nadira juga lebih banyak di kota. Setelah tamat, Nadira juga akan mencari kerja di kota saja, tidak akan kembali ke gubug itu".
Kini Nadira menyesali keputusannya menolak ajakan wak Bardi dan wak Lilis.
Nasi telah menjadi bubur! Nadira menyesal, namun penyesalannya tiada arti lagi.
Setelah Nadira selesai melenyapkan barang bukti, termasuk bekas darah perawannya di kasur lusuhnya, yang ia bersihkan dengan kain dan air sabun, Nadira melangkah keluar gubug, menutup pintu, tanpa menghidupkan lampu, lalu menuju ke rumah wak Bardi.
Ia bermaksud menumpang tidur malam ini, lalu besok kembali ke kota.
Keesokan paginya, selepas sholat subuh, Nadira pamit untuk kembali ke kota.
"Jika pulang kampung, pulanglah ke sini nak!", ucap wak Lilis sedih.
Mereka tidak memiliki anak setelah usia senja, jadi mereka menyayangi Nadira seperti anak mereka sendiri.
" Insyah Allah wak!"
Dengan santun Nadira menyalami kedua orang keluarganya itu, lalu ia berjalan ke ujung gang dan menaiki salah satu ojek yang mangkal.di situ.
Di gubug, Rangga sadar dari pingsannya. Ia merasakan sakit yang luar biasa, berdenyut nyeri dari bagian bawah tubuhnya.
Rangga meraba benda tersebut dan ia terkejut setengah mati mana kala tangannya menyentuh alat vitalnya sudah bengkak membesar dan kemerah merahan.
Sejenak Rangga mengingat kembali kejadian yang sudah menimpanya itu.
"Sialan kau perempuan jalang!"
Rangga meringis sambil memaki perempuan yang tadi malam telah ia gagahi itu.
Rangga sadar, jika perempuan.itu bukan perempuan sembarangan, buktinya ia memiliki jarum suntik yang berisi cairan obat yang telah masuk ke alat vitalnya.
"Apa yang sudah kau suntikkan kepadaku perempuan sundal?!"
Rangga kesulitan untuk bangkit dari tidurnya. Sedikit saja ia bergerak, rasa sakit yang sangat seperti menusuk nusuk bagian tubuhnya itu.
Entah berapa lama Rangga terbaring, menunggu rasa sakit itu mereda.
Setelah dua puluh empat jam berlalu, rasa sakit itu sudah jauh berkurang, namun benda pusakanya masih membengkak, walau tidak sebesar tadinya.
Terseok seok, Rangga berjalan ke rumah bibinya, bi Mira, adik bungsu ibunya.
"Dari mana saja kamu?", tanya bi Mira cemas.
Brugh..!!
Rangga jatuh tersungkur di hadapan bibinya itu.