Hidup Kian berubah drastis setelah kecelakaan tragis yang merenggut nyawa ibu Keira, putri dari sahabat dekat kakeknya. Di tengah keputusasaan, Kian harus menghadapi permintaan terakhir dari ayah Keira yang sedang kritis—sebuah permintaan yang mengguncang hatinya: menikahi Keira dan melindunginya dari segala ancaman yang mengintai. Terjebak di antara janji yang berat dan perasaannya yang masih tak percaya pada cinta karena Stella, mantannya yang mengkhianati.
Kian dihadapkan pada pilihan sulit yang
akan menentukan masa depan mereka berdua. Haruskah ia memenuhi janji terakhir itu atau mengikuti kata hatinya yang masih dibayangi cinta masa lalu? Di tengah kebimbangan dan tekanan dari berbagai pihak, keputusan Kian akan mengubah hidup mereka selamanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keisar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siapa mereka?
Di sebuah kafe yang ramai dengan pelanggan, suara hiruk-pikuk bercampur dengan denting gelas dan piring. Sore sudah berganti malam, dan sinar jingga matahari yang terbenam tergantikan oleh lampu-lampu kota yang mulai menyala.
Di salah satu sudut kafe, sepasang kekasih duduk berhadapan. Di meja mereka, sepiring nasi goreng udang, segelas es jeruk, dan susu dingin sudah setengah habis. Namun, suasana ceria di sekitar mereka tidak bisa mengusir kegelisahan yang kini menggelayuti hati mereka.
“Kamu benar-benar mau ke Inggris?” tanya lelaki itu, suaranya sedikit bergetar. Namanya Kiandra Darmansyah, atau lebih akrab disapa Kian. Ia menggenggam tangan sang gadis, seolah berusaha menahan waktu agar tak terus bergerak maju.
Kian baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-19 sehari yang lalu. Usianya masih muda, tapi hatinya telah terpaut erat dengan Stella Cornelia. Bagi Kian, Stella adalah dunia. Ia penyayang, bucin, dan selalu berusaha membahagiakan orang-orang yang ia cintai—terutama kakek dan neneknya yang sangat mempengaruhi keputusannya. Di mata mereka, Kian selalu menjadi cucu yang penurut.
Stella menatapnya dengan lembut, meski di balik senyumnya tersimpan kesedihan yang mendalam. “Iya, Ian... Aku nggak bisa ngelawan apa kata orang tua aku. Mereka maunya aku kuliah di Inggris, kalau aku nggak nurut... aku bisa dicoret dari kartu keluarga,” jawab Stella dengan nada tenang, meskipun ia tahu kata-katanya menyakiti Kian.
Stella Cornelia, gadis cantik berusia 18 tahun, baru saja lulus SMA. Dia bukan hanya pintar dan pengertian, tetapi juga mandiri. Selama satu tahun mereka bersama, Stella telah menjadi sosok yang penting dalam hidup Kian, dan bagi Kian, ia tak bisa membayangkan hidup tanpanya.
Kian menggigit bibirnya, berusaha menyembunyikan rasa takut yang perlahan muncul. “Nanti kalau aku kangen gimana?” tanya Kian, suaranya terdengar lebih lirih dari biasanya. Wajahnya tampak cemberut, seolah tak rela melepaskan Stella ke dunia yang lebih luas dan jauh dari jangkauannya.
Stella tersenyum kecil, mencoba meredakan kecemasan Kian. “Kan kita bisa teleponan. Video call juga nggak masalah, kok. Dan aku pasti balik ke Indo waktu libur semester. Kita akan baik-baik aja,” kata Stella dengan optimis. Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu, LDR tidak akan mudah. Mereka mungkin akan terpisah ribuan mil, dan komunikasi virtual takkan pernah bisa menggantikan kehadiran nyata.
Kian terdiam, menatap mata Stella dalam-dalam, seolah mencari keyakinan yang lebih kuat dari sekadar kata-kata. Ia ingin percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja, tapi bayangan Stella yang akan jauh ke Inggris tak bisa ia hapus begitu saja.
Kian mengangguk pasrah, meski dalam hatinya ia masih menyimpan harapan agar Stella bisa satu kampus dengannya. Namun, apa daya? Kian tidak ingin Stella diasingkan oleh keluarganya hanya karena sebuah keputusan. Lebih baik mereka terpisah sementara daripada Stella kehilangan hubungan dengan kedua orang tuanya.
Setelah selesai makan, Kian mengantar Stella pulang. Saat mobil Mercy G-Class abu-abunya berhenti di depan rumah Stella, gadis itu segera membuka pintu dan bersiap keluar.
“Kamu nggak mau mampir dulu?” tawar Stella sambil menoleh, tersenyum kecil.
Kian menggeleng pelan, “Nggak deh, aku capek banget. Besok pagi ada kelas, jadi nggak boleh begadang,” jawabnya dengan suara lelah.
Stella mendengus kesal. “Giliran aku yang ngingetin jangan begadang, dicuekin. Sekarang ada kelas pagi, langsung nurut nggak mau begadang.”
Kian tersenyum, mencoba meredakan suasana. “Ya, lagian godaannya banyak, Stel. Kadang Dava ngajak main Dota, kadang abang Mer sama sepupu-sepupu ngajak main Valorant. Godaan game susah dilawan.”
Stella memutar mata. “Selalu aja ada alesan kamu,” gumamnya dengan wajah cemberut. “Yaudah, hati-hati di jalan, ya.”
Stella hendak keluar dari mobil, tapi Kian masih menggenggam tangannya erat, seolah belum siap melepaskannya. Stella tersenyum lembut, lalu meletakkan tangan di rahang tegas pacarnya, menatapnya dalam-dalam.
“Ian, are you okay?” tanya Stella pelan, nada khawatir mulai terdengar di suaranya.
Kian terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjawab dengan lirih, “I don't know.”
Stella memahami kegelisahan Kian. Ia tahu, setiap kali pacarnya bicara dengan nada seperti itu, pasti ada sesuatu yang mengganggunya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Stella memeluk Kian erat, mengusap lembut punggungnya untuk memberikan ketenangan. Kian membalas pelukan itu, seolah mencari kekuatan dalam kehangatan pelukan Stella.
“I love you, baby,” ucap Kian pelan, suaranya bergetar sedikit.
Stella tersenyum tipis, meskipun hatinya ikut terasa berat. “I know,” jawabnya. “Aku juga sayang sama kamu.”
Kian menghela napas panjang. Dengan perasaan yang mulai tenang, ia perlahan melepaskan pelukan Stella dan menatap wajah manis gadis di depannya. Ia ingin memastikan bahwa meski terpisah jarak dan waktu, perasaan ini akan tetap sama.
“Aku sayang sama kamu, Ian. Aku harap kamu setia dan sabar nunggu aku,” batin Stella, meskipun tidak berani mengatakannya langsung.
Kian, dengan lembut, mengecup kening Stella—mencoba menyalurkan seluruh kasih sayang dan perasaannya dalam satu ciuman yang lembut. Ia lalu tersenyum, senyum terbaik yang bisa ia berikan meskipun hatinya masih berat.
“Yaudah, kamu masuk dulu. Jangan lupa istirahat, ya,” ucap Kian sambil melepaskan Stella.
Gadis berdarah campuran Jepang-Sunda itu mengangguk pelan, lalu keluar dari mobil Kian. Sebelum menutup pintu, Stella melambaikan tangan dan memberikan senyuman terakhir sebelum ia masuk ke rumahnya. Kian tidak beranjak sampai ia memastikan bahwa Stella sudah masuk ke dalam rumah dengan selamat. Baru setelah itu, ia menancap gas, membawa mobilnya pergi.
......................
Setibanya di rumah, Kian merasa ada sesuatu yang aneh. Di halaman depan rumahnya, ada sebuah mobil asing yang tak pernah ia lihat sebelumnya, terparkir di antara mobil keluarganya. Mobil mewah itu memancarkan kesan elegan yang tak biasa. Penasaran, Kian segera mematikan mesin mobilnya dan keluar, lalu berjalan masuk ke dalam rumah.
Begitu melangkah masuk, ia disambut oleh pemandangan yang tak kalah anehnya. Di ruang tamu, seorang wanita paruh baya yang ia kenali sebagai neneknya sedang asyik mengobrol dengan seorang wanita muda mungkin berumuran 30an yang anggun dan berpenampilan elegan. Di samping mereka, duduk seorang wanita muda lainnya, tampak lebih muda dari wanita anggun tadi.
“Assalamualaikum Ian pulang,” Kian berusaha tidak peduli, ia berjalan menuju tangga ke kamarnya.
“Ah, Kian, kamu sudah pulang!” seru neneknya begitu melihatnya masuk. Senyuman lebar terpancar di wajahnya.
Wanita berumur 30an di samping neneknya ikut menoleh, memberikan senyuman sopan. Namun, tatapan wanita muda di sebelahnya, yang tampak hanya terpaut beberapa tahun diatas Kian, tertuju langsung kepadanya, dengan sorot mata yang sulit diartikan.
“Ayo sini, ada yang mau dikenalin sama kamu,” lanjut neneknya, tanpa memberinya waktu untuk mencerna situasi.
Kian terdiam, perasaannya semakin tidak enak. Siapa mereka? Dan kenapa ia merasa bahwa malam ini tidak akan berakhir seperti biasanya?