NovelToon NovelToon
The Disgusting Beauty

The Disgusting Beauty

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Teen School/College / Slice of Life
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: アリシア

Tidak ada yang benar-benar hitam dan putih di dunia ini. Hanya abu-abu yang bertebaran. Benar dan salah pun sejatinya tak ada. Kita para manusia hanya terikat dengan moralitas dan kode etik.

Lail Erya Ruzain, memasuki tahun pertamanya di SMU Seruni Mandiri yang adalah sekolah khusus perempuan. Seperti biasa, semua siswi di kelas akan gengsi dan malu-malu untuk akrab dengan satu sama lain. Waktu lah yang akan memotong jarak antara mereka.

Hingga dia mengenal Bening Nawasena. Teman sekelas yang bagaikan salinan sempurna Lail saat SMP.

Drama pertama kelas dimulai. Siswi toxic mulai bermunculan.

Bagaimana Lail menghadapi semua itu?

"Menyesal? Aku gak yakin."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon アリシア, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

CH.01 - Kelas 1-7

“Baiklah, ujian dimulai!”

Serentak setelah guru di depan kelas memberi aba-aba bahwa ujian telah dimulai. Murid-murid di kelas membalik lembar soal. Beberapa wajah nampak memucat, ada yang putus asa, ada pula yang biasa saja, lebih banyak yang pasrah dan menjawab asal-asalan.

Apalagi saat melihat semua soal adalah esai, meski mereka tak tahu jawabannya, harus tetap diisi demi mendapat sekedar satu poin. Beruntung saja ini hanya UH, jadi banyak murid berpikir tak perlu berusaha terlalu keras karena nilai UH tak berpengaruh banyak untuk nilai akhir dalam rapor.

Duduk di sudut kanan belakang kelas, Lail tampak mengerjakan soal dengan santai. Baginya, ini seperti membalikkan telapak tangan. Mudah sekali. Materi ini sudah dia pelajari di SMP. Level soal ini terlalu mudah untuk dirinya. Dia percaya diri bisa mengerjakan semuanya dan dapat nilai sempurna.

Sepuluh menit telah berjalan sejak UH dimulai, Lail telah menjawab semua soal. Ia menaruh kembali bolpoin ke dalam kotak pensil. Matanya berpendar, baru Lail yang selesai. Prinsipnya, dia tidak akan mengumpulkan lembar jawaban miliknya terlebih dahulu sebelum orang lain. Karena meski dia yakin akan mendapat nilai sempurna, entah kenapa sebagian dari dirinya selalu berhasil membuatnya ragu.

Ini soal yang mudah sekali, kenapa mereka tampak kesulitan?

Grek!

Suara kursi yang bergeser. Mata Lail tertuju ke paling depan, di mana siswi itu sudah bergerak ke depan untuk mengumpulkan jawabannya. Lail belum bisa ingat namanya sejak sebulan lalu awal tahun pelajaran dimulai.

Lail sudah menduga kalau siswi itu akan selesai dengan cepat. Dugaannya benar, gadis itu lumayan pintar jika dibandingkan dengan teman sekelas yang lain.

Lima menit setelah siswi itu mengumpulkan selebaran jawaban miliknya, yang lain tampak mengikuti secara paralel. Lail adalah salah satu siswi yang mengumpulkan lembar jawabannya paling akhir. Setelah duduk kembali ke mejanya, Lail menatap siswi di sebelah kirinya yang belum selesai. Padahal sudah lewat setengah jam, dan soal yang diberikan hanya lima, namun gadis di sebelahnya tak kunjung selesai.

Lail merotasikan bola matanya malas, napas kasar keluar dari mulutnya.

Selagi guru mapel sibuk dengan para siswi yang bergerumul di mejanya untuk mengumpulkan jawaban, Lail menghampiri gadis di sebelahnya.

“Jawaban mana yang belum?” bisik Lail.

Gadis itu menatapnya bingung, dia berkedip berkali-kali sampai akhirnya tersadar. “Oh, nomor lima.” Lail tak peduli jika jawaban lain gadis itu salah. Dia hanya akan membantunya menjawab soal nomor lima karena hanya itu yang tersisa.

Perintah soal nomor lima adalah menyebutkan kata yang berimbuhan prefiks, infiks dan sufiks. Tanpa basa-basi, Lail langsung memberikannya jawaban yang benar. Selepas menulis semua jawaban yang dikatakan Lail, gadis itu tergopoh-gopoh mengumpulkan jawabannya karena hanya dia yang tersisa. Gadis itu berterimakasih pada Lail.

“Siapa namamu? Aku lupa.” Tanya Lail sopan.

“Aku Azara.” Jawab gadis itu dengan senyum lebar.

...****...

Kembali ke satu bulan sebelumnya, hari di mana awal masuk sekolah. Lail berdiri menatap kertas yang tertempel di mading, itu adalah pengumuman pembagian kelas. Lail ber’oh ria saat menemukan namanya ada di urutan terakhir kelas 1-7, kelas paling ujung. Dibanding enam kelas lainnya yang berisi 20 murid, Lail hanya melihat 15 nama saja termasuk dirinya yang akan menjadi bagian dari kelas 1-7.

Lail membenarkan rambutnya yang tergerai sepanjang bawah telinga, dia tidak bisa mengikat rambutnya karena terlalu pendek. Akhirnya dia hanya mengikat rambut yang ada di samping telinganya supaya tidak menghalangi.

“Kenapa kelas 1-7 cuma punya 15 murid?” tanya salah seorang murid.

“Enggak tau, kayaknya sekolah kita lagi krisis pendaftar, deh. Kurang lima lagi padahal buat nyamain kelas lain yang isinya 20.” Timpal teman di sebelahnya.

“Sekolah ini lagi di masa-masa kritis, tau! Ada murid yang berulah, akhirnya nama baik sekolah dipertaruhkan. Orang tua jadi kurang percaya sama sekolah ini lagi, deh.”

“Bener juga, yah. Yakin deh kalau tahun depan bakal menurun lagi angka pendaftarnya.”

Lail diam menyimak percakapan kedua siswi baru itu. Memang apa yang dikatakan oleh mereka 99% benar. Awalnya juga Lail ragu untuk masuk ke sini, tapi dia juga enggan bersekolah di sekolah negeri yang cukup dekat dengan rumahnya. Alasannya karena orang-orang di sana kebanyakan dari SMP yang sama dengannya. Dia malas kalau ketemu yang itu-itu saja.

Akhirnya Lail nekat ke sekolah ini, padahal waktu yang ditempuh dengan menaiki angkot saja bisa setengah jam. Poin plus sekolah ini adalah ini sekolah khusus perempuan. Di seberang gedung sekolah ini barulah sekolah khusus laki-laki.

Setelah mengetahui dia berada di kelas mana, Lail segera melangkah menuju kelas barunya. Dalam perjalanan itu, tatapannya beredar ke seluruh sudut lorong. Banyak dari mereka berasal dari satu SMP yang sama. Lail bisa tahu karena hari ini mereka masih memakai pakaian SMP asal. Dan kebetulan ini hari Kamis, biasanya memakai seragam khas sekolah masing-masing. Ada yang batik dengan berbagai warna berbeda, ada juga yang kotak-kotak coraknya seperti seragam Lail.

Seragam yang paling dominan adalah batik biru dan batik oranye. Mereka benar-benar mendominasi. Berbanding terbalik dengan Lail, yang satu SMP dengannya dan masuk ke sini bisa dihitung jari, mungkin hanya sepuluh orang. Sepi peminat sekali. Rata-rata murid SMP-nya akan masuk ke SMAN yang dekat dengan rumahnya itu.

Lail mengernyit.

Terlalu banyak warna biru dan oranye...

Ketika memasuki kelas 1-7, suara riuh terdengar sejak dari pintu masuk.

Bola matanya menelisik sekitar, ada enam siswi di sini yang pakai seragam batik oranye, sisanya berasal dari sekolah yang berbeda-beda. Mereka duduk memenuhi dua baris meja.

Pasukan oranye.

Lail memutuskan duduk di pojok belakang sebelah kanan. Karena hanya ada 15 murid, sekolah hanya menyediakan 16 kursi khusus kelas ini. Ada empat baris ke samping dan ke belakang. Itu artinya akan ada satu kursi kosong. Dan kursi kosong itu berada tepat di depan Lail. Lail mulai khawatir jika ada guru yang masuk dan meminta para siswi mengisi kursi depan dahulu.

Sepuluh menit setelah bel masuk berbunyi, seorang guru pria masuk ke kelas 1-7. Lail menebak dari fisiknya kalau guru itu berusia pertengahan tiga puluh.

"Selamat pagi!” sapa sang guru dengan semangat.

“Pagi, Pak!” para siswi membalas sapaan guru tersebut tak kalah semangat.

“Baiklah, karena ini adalah hari pertama kalian di sini. Bagaimana kalau kita perkenalan dulu? Nama saya Juan, kalian bisa panggil saya Pak Juan. Saya adalah wali kelas kalian untuk tahun ini, semoga kalian bisa bekerja sama selama satu kedepan dengan saya.” Jelas Pak Juan, beliau menulis namanya di papan tulis dengan besar, di sana tertulis Juan Prayoga.

Ini adalah sesi yang paling Lail benci, perkenalan. Dia tidak suka jika harus berdiri menjadi pusat perhatian kelas sambil memberitahu identitas dirinya. Maksudnya, perlahan-lahan juga mereka akan saling kenal dengan bantuan waktu. Tak perlu melakukan hal melelahkan seperti ini.

“Kalian nanti sebutkan nama dan asal sekolah, oke?”

“Oke, Pak.” Lagi-lagi mereka serempak menjawab.

Sesi memperkenalkan diri dimulai dari barisan paling depan sebelah kanan. Kalau ditarik memutar, maka Lail akan menjadi yang paling terakhir memperkenalkan diri. Lail mengumpat, seharusnya dia pindah ke depan sebelum Pak Juan masuk ke kelas.

“Selamat pagi, semuanya! Nama saya Bening Nawasena, tapi kalian bisa panggil saya Bening atau Ning. Saya dari SMP Reka Karya.” Siswi yang duduk paling depan di barisan Lail memperkenalkan dirinya. Lail baru tahu kalau nama asal sekolah pasukan oranye adalah SMP Reka Karya.

Satu persatu dari mereka mulai memperkenalkan diri dengan wajah riang, ada yang malu-malu, ada juga yang cengengesan. Lail memaksa otaknya untuk mengingat setiap nama teman sekelasnya sekaligus wajah mereka agar dia tidak salah panggil. Bisa malu tujuh turunan kalau Lail salah memanggil nama teman sekelasnya sendiri.

Ketika tiba bagian Lail, dia berdiri dengan ekspresi setengah malas dan setengah muram. Dia menarik sudut bibirnya yang kaku untuk tersenyum lebih lebar.

“Selamat pagi, nama saya Lail Erya Ruzain dari SMP Budi Luhur.”

Hening menyelimuti ruang kelas. Lail mengenalkan dirinya dengan nada terlalu datar sampai teman-teman sekelasnya tidak tahu harus merespons apa. Saat Lail kembali duduk, barulah pusat perhatian kembali ke Pak Juan. Tidak ada materi sepanjang hari pertama sekolah. Lail menyia-nyiakan seluruh tenaga yang dia habiskan untuk membawa alat tulis beserta buku kosong, khawatir ada yang perlu dia tulis.

Selama periode awal masuk sekolah. Semuanya tampak normal. Mereka yang tidak punya kenalan di kelas akan bertingkah malu-malu sebelum akhirnya menjadi tidak tahu malu. Lail juga seperti itu, dia masih banyak diamnya. Berbeda dengan pasukan oranye yang selalu berisik sepanjang waktu bertukar informasi terbaru. Bahkan yang tidak mereka kenal seperti selebram pun akan mereka gosipkan kalau beritanya hot.

Lail melirik ke sampingnya, sudah seminggu sekolah berjalan, tapi dia lupa siapa nama cewek itu saat perkenalan di hari pertama mereka sekolah. Tapi Lail juga terlalu gengsi untuk bertanya siapa namanya. Akhirnya Lail memilih untuk tetap diam dan mencoret-coret halaman belakang buku yang masih kosong.

Lagi pula Lail percaya kalau waktu akan mendorongnya untuk berteman dengan mereka. Dia hanya berharap kelas ini lebih baik daripada kelas yang dia dapatkan ketika di SMP. Karena rumornya, tidak akan ada kelas yang diacak muridnya pada tahun kedua dan ketiga. Itu artinya, Lail akan bersama dengan mereka selama tiga tahun ke depan.

Semoga saja aku bisa akrab dengan mereka.

...****...

“Kita sudahi pelajaran hari ini. Oh ya, jangan lupa belajar karena di pertemuan selanjutnya akan diadakan UH.”

Ekspresi semua yang ada di kelas mendadak pucat pasi ketika guru Bahasa Indonesia, Bu Petris mengumumkan UH di pertemuan selanjutnya.

Baru juga mereka masuk sekolah dua minggu, eh minggu depan sudah ada UH saja. Ketidakadilan macam apa ini? Ayolah, bahkan Lail belum berkenalan dengan teman di sampingnya. Masa dia sudah harus berkenalan dengan UH?

Setelah Bu Petris keluar dari kelas. Riuh rendah keluhan penghuni kelas mulai mencuat satu-persatu, terutama dari pasukan oranye yang sudah tidak oranye lagi semenjak seragam sekolah sudah dibagikan.

“UH? Apaan anjir?! Baru juga nulis dua lembar masa udah UH aja?” “Iya. Apa coba? Sok asik nih Bu Petris.”

“Gila. Gue nulis ya cuma nulis doank, kagak ada yang nyangkut di otak. Gimana nih?”

“Lah? Lo aja gak nyangkut di otak, apa kabar gue?”

“Mati gue...”

Begitulah kira-kira keluhan mereka. Aneh. Padahal materi yang diberikan cukup mudah menurut Lail. Kecuali kalau mereka memang malas belajar, apalagi orang-orang yang otaknya selalu ketinggalan. Otaknya rajin ikut ke mana-mana kecuali ke sekolah. Yah, meski mengeluh juga UH akan tetap menerjang mereka.

...****...

Minggu depan, tepat di hari Selasa. UH Bahasa Indonesia pun dilaksanakan. Mau tak mau, suka tak suka. Lail masuk ke kelas setelah istirahat pertama selesai. Dia berjalan sambil sesekali menatap barisan paling kiri.

“Lihat nih! Aku nulis materi yang kemungkinan bakal keluar UH nanti!” ucap salah satu siswi, dia adalah salah satu dari enam murid yang masuk kategori pasukan oranye di awal masuk sekolah.

Lail mengernyit, dia anak yang rajin. Sampai menulis di kertas selembar pula untuk seluruh soal dan jawaban yang dia pikir akan keluar saat UH nanti. Sepertinya dia menulis sambil mempelajarinya. Karena metode termudah untuk mengingat sesuatu adalah dengan menulisnya.

Dia bahkan lebih niat daripada aku.

Lail menanggapi santai keenam orang itu. Dia berjalan menuju kursinya, membuka buku Bahasa Indonesia, membaca lagi sebelum Bu Petris masuk. Dia tak perlu membaca dengan serius, karena Lail memang sudah paham. Ia hanya mengulang membacanya seakan sedang me-refresh informasi di otaknya menyerupai cara kerja website.

Lima menit kemudian, Bu Petris datang. Beliau meminta semua murid menyiapkan selembar kertas untuk menulis soal beserta jawabannya. Setelah mendikte soal dan memastikan semua murid sudah menulis soal. Bu Petris mempersilahkan mereka mulai mengerjakannya.

Lail mengerjakan soal dengan lancar. Begitu juga dengan siswi yang barusan memamerkan lembar kertas berisi kemungkinan soal yang akan keluar.

Tidak ada kendala bagi mereka yang mampu. Berbanding terbalik dengan sebagian lainnya, ekspresi cemas menghiasi wajah mereka. Apalagi waktu pengerjaan hanya 40 menit karena hanya ada lima soal meski beranak.

Lail menghela napas berkali-kali saat tahu kalau dia yang selesai pertama. Dia menunggu yang lain mengumpulkan duluan sembari memutar bolpoinnya.

Alasan kenapa waktu yang diberikan untuk mengerjakan soal 40 menit agar bisa dikoreksi Bu Petris saat itu juga. Beliau enggan kalau harus membawa tumpukan kertas itu ke ruang guru. Takut khilaf mengira itu sampah dan tak sengaja membuangnya.

Setelah semua murid mengumpulkan termasuk Azara, gadis yang duduk di samping Lail. Butuh waktu sekitar lima menit bagi Bu Petris mengoreksi semua jawaban. Lalu, Bu Petris pun membagikan hasil koreksi kembali pada murid-murid. Satu-persatu nama dipanggil, tapi Lail belum mendengar namanya.

Kayaknya aku gak ngumpulin paling terakhir deh...

“Lo dapet berapa?”

“75. Lo sendiri?”

“Hehe, gue dapet 80.”

Terdengar percakapan paling ideal di telinga Lail. Tentu saja mereka akan saling menanyakan nilai masing-masing setelah ujian. Itu seperti setting standar semua orang di Indonesia. Entahlah, mereka seperti itu karena ada dua alasan, karena penasaran atau mau pamer saja jika ternyata nilai mereka lebih tinggi daripada yang ditanyai.

Lail makin curiga saat namanya belum dipanggil juga bahkan ketika 14 murid lain sudah saling tahu nilai masing-masing. Seketika Lail dilanda perasaan cemas.

Bu Petris berdiri di depan kelas sambil memegang satu lembar kertas jawaban tersisa.

“Beri tepuk tangan untuk Lail yang mendapat nilai sempurna. Lihat! Dia dapat 100, kalian harus mencontoh Lail.” Ujar Bu Petris mengumumkan nilai Lail sebagai nilai sempurna.

Satu kelas memberi Lail tepuk tangan sebagai bentuk apresiasi mereka. Lail tak bisa menyembunyikan senyum sepanjang jalannya maju ke depan untuk mengambil lembar jawabannya. Bu Petris memberikan Lail sebuah pulpen, hadiah karena mendapat nilai sempurna.

Suasana itupun berlalu cepat. Bel pulang berbunyi nyaring memekakkan telinga. Lail bergegas memasukkan semua barang ke dalam tasnya. Karena dia yang terakhir keluar, dia bertanggungjawab untuk menutup pintu kelas.

Lail melewati lorong kelas yang dipadati ratusan siswa. Mereka buru- buru keluar gerbang sekolah. Ada yang dijemput, ada yang bawa motor sendiri, ada juga yang naik angkot. Lail adalah salah satu dari siswi yang pulang dengan angkot.

Sedetik setelah dia mendudukkan diri di dalam angkot, seseorang menyapanya.

“Lail ‘kan?”

Lail menoleh menatapnya.

Dia adalah siswi rajin yang mendapat 95 untuk UH Bahasan Indonesia. “Ning?” Lail mencoba menebak namanya.

Gadis itu terkikik geli.

“Nama aku Bening, tapi gak apa-apa sih kalau mau panggil Ning, lebih singkat!” jawabnya dengan nada setengah ceria.

“Kamu pulang ke mana?” tanya Bening.

“Perumahan Cempaka.”

“Ouh, pantesan naik angkot ini. Searah kita, tapi aku turun duluan. Rumahku di Pondok Kelapa Indah.”

Pondok Kelapa Indah? PKI– eh?

Tidak ada obrolan lagi setelah itu. Tapi Bening pamit duluan saat angkot sudah sampai di depan gang Pondok Kelapan Indah. Tarif yang dikenakan untuk anak sekolah hanya 3.000 rupiah tak peduli jarak dekat ataupun jauh.

Ekor mata Lail tak henti mengawasi Bening ketika angkot bergerak menjauh. Bukannya apa, dia hanya merasa aneh. Biasanya Bening akan pulang bersama dengan empat anggota pasukan oranye lainnya ‐satu lainnya pulang naik motor. Tapi hari ini, dia naik angkot sendirian.

Perasaan tadi pagi masih normal. Istirahat pun bareng. Tapi kenapa pulang sendiri? Kayaknya yang lain naik angkot duluan, apa dia ditinggalin?

Lail menggelengkan kepala. Bukan urusannya juga. Kenapa dia harus peduli? Terlibat dengan hal merepotkan akan merusak kehidupan sekolahnya.

Atau... itulah yang seharusnya dia pikirkan.

Pasti ada apa-apa.

TBC

1
anggita
like👍☝iklan utk Lail.. moga novelnya sukses thor.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!