Ini adalah kisah nyata yang terjadi pada beberapa narasumber yang pernah cerita maupun yang aku alami sendiri.
cerita ini aku rangkum dan aku kasih bumbu sehingga menjadi sebuah cerita horor komedi.
tempat dimana riyono tinggal, bisa di cari di google map.
selamat membaca.
kritik dan saran di tunggu ya gaes. 🙂🙂
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ady Irawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sapi Penasaran
Perkenalan sang tokoh utama
Perkenalkan namaku adalah Riyono Hariyanto. Yah panggil saja Rion atau Yono juga ga papa. Lahir di kota Malang Jawa Timur tahun 1952. Lahir di dalam keluarga yang sangat sederhana. Tiga bersaudara, aku nomor dua. Kakakku bernama Andri Haryanto dan adik kecil cewek bernama Ernie Harianti.
Ok ga usah berlama lama perkenalannya, kita langsung saja ceritanya.
Pada jaman dahulu.....
1
Tahun1964 saat usiaku 12 tahun.
Pagi itu aku berangkat ke sekolah, cuaca pagi sangat dingin dan berkabut. Mengingat saat itu tahun 1950-1960an rumah masih jarang, dan pepohonan masih sangat rimbun. Jarak antar rumah pun cukup jauh.
Berjalan tanpa alas kaki, seragam sudah mulai kucel dan menguning. Yah ciri khas anak jaman dulu.
“Yooon” teriak seseorang dari arah belakang. Saat ku toleh kebelakang , Ternyata suara Udin. Teman sekelas ku. Rumahnya tepat di seberang jalan. Jadi kita sering berangkat ke sekolah barengan.
“Oi, Din” jawab ku.
“Tumben jam segini kau sudah berangkat sekolah.”
“Emang kenapa bos?”
“Biasanya kau datang paling telat, kawan”
Yah sebenarnya aku murid yang cukup bandel kala itu. Datang paling siang. Nyontek. Dan tidur saat pelajaran. Hahaha murid tipikal ya? Tapi, aku cukup pinter kok. Suer deh.
“Sesekali ga apa-apa kan?” Jawab ku.
“Ya tiap hari lah kalau bisa.” Kata Udin sambil clingak clinguk. Bahasa Jawa dari kata lihat sekeliling. “Udah denger berita ga?”
“Berita apaan?”
“Sapi pak komat yang galak itu, kau tau kan?”
“Ya” jawabku sambil menahan kantuk. Lalu menguap lebar. “Lanjutkan ceritamu tadi”
“Ok.Ok” Dan dia pun melanjutkan ceritanya. “ Kemarin lusa kan sapi itu kan mati. Dan di kubur di dekat sungai ‘Gimun’ -nama sungai tersebut -.” Dia diam cukup lama.
“Yaa. Terus?”
“Arwah sapi itu, GENTAYANGAN.!!!!!!” Kata Udin sambi berteriak saat mengucapkan kata ‘gentayangan’.
Gentayangan. Kata Jawa dari kata penasaran. Ya roh penasaran. Biasanya roh penasaran itu roh dari orang mati ga wajar. Semisal mati di bunuh. Mati kecelakaan. Dan sebagainya. Lha ini. Roh nya sapi penasaran. Penasaran sama siapa pula. Eehh..
Pak Komat tinggal di belakang rumah Udin, dia punya beberapa sapi. Kandangnya persis disebelah kali Gimun. Dan kali Gimun sekitaran 50 meter lagi kebelakang dari rumah Udin. Jaman dulu rumah masih sederhana semua. Bangunan rumah masih dari bilik bambu, belum ada kloset WC atau wastafel sekalipun. Kalau mau mandi dan buang hajat, ya musti harus ke sungai. Dan juga listrik masih belum terpasang di beberapa daerah, termasuk desaku.
“HAH!?” Ga sadar aku teriak cukup kencang. “ Kau jangan becanda. Emang bisa sapi mati arwahnya gentayangan.?”
“Kau ini di bilangin kaga percaya!?”
lantas, dia menceritakan kisahnya. Saat bapaknya buang hajat, dari arah kandang sapi milik Pak Komat, terdengar suara berisik. Karena penasaran bapaknya Udin mempercepat urusannya itu, dan bergegas menuju ke arah kandang sapi tersebut.
Dia melongok ke dalam sana, tidak ada apapun yang aneh terlihat.
Namun, saat dia berbalik badan untuk pulang. Alangkah terkejutnya dia ternyata di belakang bapak Udin sudah ada sapi besar bermata sangat besar pula.
Karena kaget, bapak Udin langsung berlari ke rumahnya.
Mendengar itu, aku cuma bisa melongo.
Dan dia berlalu meninggalkanku sendirian yang telah takjub mendengar kisah barusan.
2
Di sekolah ternyata cerita Udin sudah menyebar luas. Terbukti dari omongan anak-anak di sekolah. Mereka ramai menceritakan kisah Udin tadi. Dan ada pula anak-anak lain bercerita tentang kisah-kisah horor mereka masing-masing.
Udin sangat bersemangat ketika dia bercerita kepada teman-teman yang lain di pinggir lapangan sekolah.
“Kalian percaya takhayul ya kawan-kawan?” Kata ku memotong pembicaraan Udin,
Udin lantas protes karena ceritanya aku potong. "Ya sudah kalau begitu, ga usah dengar ceritaku."
“Benar nih.” Kata Efi salah satu siswi satu kelas kami.
“Emang kau pernah di ganggu setan, fi?” Tanya ku ke Efi.
“Pernah.” Jawab Efi “yah, walaupun bukan arwah sapi pak komat sih.”
“Coba kau ceritakan, fi.” Jawabku. Aku mulai penasaran gess.
“Oke. Baiklah kalau itu mau mu, akan aku ceritakan.” jawab Efi “Kau tahu pohon beringin kembar di kelurahan Mulyorejo kan? Sebelah timur rumahku. Didepan kelurahan sana.” Di bertanya, tapi sebelum ada yang menjawab, dia sudah melanjutkan ceritanya. “Saat itu, aku pulang mengaji di Masjid AL-Barokah - waktu itu sekitaran jam sembilan malam- karena ga ada yang menjemput aku. Maka aku pulang sendirian. Pas lewat di bawah pohon itu. Tiba-tiba ada yang jatuh di belakang ku.” Dia diam sejenak. “Hiii merinding.- saat aku lihat. Tenyata ada kemamang.!?”
“Kemamang??” Tanya kami serempak bagaikan paduan suara.
“Kalian ga tau kemamang.?” Efi balik bertanya.
“Apaan itu?” Jawab ku.
“Setan tengkorak kepala manusia.!!”
“Apa?” Aku langsung melongo.
Tapi sepertinya Efi tidak perduli dengan omonganku, dia tetap melanjutkan ceritanya. “Mula-mula. Mata tengkorak itu menyala merah. Lama kelamaan seluruhnya menyala api merah dan terbang ke arah sawah depan kelurahan. Kemamang itu tiba-tiba meledak 'Bum!' dan menghilang tanpa jejak.”
“Astaga binaga, serius Ef? Kamu ga salah lihat kan?" Jawabku mendengar ceri Efi tadi
“Yah. Mau percaya atau tidak itu terserah kamu Yon.” Jawab Udin "Kita bercerita apa adanya."
Nex
Ok gaes, jadi begini. Rumahku tepat di perempatan jalan, depan rumahku ada rumah Udin, dan di belakang rumah Udin ada rumah pak komat dan juga tak lupa ku beri tahu, disana ada kandang sapi beliau.
Di kanan rumahku, ada jalan setapak menuju kebun belakang. Tidak ada rumah lagi disana.
Kalau jalan ke arah timur rumahku. Disana ada pos ronda, jalan ke timurnya lagi ada Ba'an -Lapangan buat menjemur hasil panen, dan semacam gudang besar untuk menyimpan hasil panen, terutama padi-.
Dan jalan ke arah barat, disana ada perempatan jalan lagi.
Belok sebelah kiri ada ringin kembar dan kelurahan. Dan di sekitar sana ada rumah Efi.
Belok ke kanan, nanti di ujung jalan ada tikungan dan turunan terjal. Di pertengahan turunan ada sekolahan tempat aku menuntut ilmu.
Yang lurus di perempatan itu, disana ada masjid AL-Barokah, rumah Angga, Bogel dan Dika yang berjarak antara limapuluh sampai enam puluh meteran dari rumah ke rumah.
3
Sore itu, di hari yang sama. Seperti biasa sepulang sekolah, aku dan teman-teman bermain di sungai bagian timur kali ‘sungai’ gimun- yaitu kali Lanang, tempat laki-laki mandi- terdapat bendungan cukup besar ( peninggalan Belanda ) dan lumayan tinggi. Layaknya anak-anak jaman dulu yaa. Suka main di sungai. Sawah atau ladang, sampai menjelang magrib.
“Teman-teman, sudah mulai gelap ayo kita pulang.” Udin yang tadi berkata. “Ingat kali ini angker kalo malam hari.”
“Benar, ayok bubar.” Teriak Angga salah satu teman ku. Di sana kita ada beberapa anak. Udin, Angga, Bogel, Dika, Aku dan beberapa anak dari kampung sebelah yang tidak ku ketahui namanya.
“Bentar lah. Belum gelap juga!!” jawab salah satu anak dari kampung sebelah.
“Apa sapinya pak komat beneran penasaran Din?” Kata ku.
Mendengar itu. Sontak Udin berkata ini padaku.
"Iya yon. Sapinya pak komat penasaran sama kamu, katanya kangen. Kepingin ketemu.”
Dan kamu pun tertawa keras bersama-sama . “Astaga. Perutku sakit nih. Dari tadi becanda melulu. Tapi, aku memang ga percaya sama yang namanya setan atau sebagainya." Kataku kemudian.
"Yah semoga kau di samperin sama sapinya pak Komat deh." Kata Udin yang di Aminin yang lain.
Pembicaraan pun beralih ke hal-hal lain. Dan tanpa sadar waktu sudah mau masuk isya. Ada beberapa anak yang membawa obor, jadi kita tenang tenang saja. Tapi tak lama kemudian Kita pun sepakat membubarkan diri.
4
Sesampainya di rumah. Tiba-tiba saja ibuku menjewer telinga ku.
“Aduhh. Apaan sih Mak!?” Teriakku bingung.
“Ini hukuman karena pulang terlambat. Dan hukuman tidak mengerjakan PR.
Mendengar hal itu. Bapak keluar dari kamar dan ikut-ikutan menghukum. Aku disuruh berdiri di pojokan. Hiks..
5
Beberapa jam kemudian perutku terasa sangat mules. Sehingga aku minta keringanan hukuman bapak. “Pak. Udah a.? Sudah jam berapa ini.” Aku bertanya tanya pada bapak. “Pak.?” Hening ga ada jawaban. “Pak. Oh pak e.? Aku mules pak. Udahan ya. Anterin ke sungai donk.?”
Karena ga ada jawaban. Aku berjalan ke kamar bapak. Ternyata dia sudah tidur pulas. Oh, astaga naga. Dasar tukang molor.
“Pak. Anterin ke kali. Perutku mules nih.” Sambil aku goyang-goyang bapak agar dia bangun. Lama ga bangun-bangun, aku ganti mencoba membangunkan ibuku. Dan hasilnya tetap nihil. Terpaksalah aku pergi ke parit sendirian.
Perlu di ingat ya geas, jaman segitu rumah masih jarang, kecuali rumah Udin dan pak komat sih. Hehee,. Listrik masih belum terpasang di desa-desa kecil terutama desa Mulyorejo ini. Hanya obor-obor yang menjadi penerangan jalan.
“Nekat aja deh pokoknya." Kataku dalam hati saat keluar rumah.
6
Malam itu aku sendirian menuju sungai untuk membuang hajat. Jarak antara rumah dengan sungai cukup jauh. Perasaan ga enak, was-was dan ngeri-ngeri sedap menyelimuti ku.
Ayolah Cuma seratus meter aja jaraknya. Pikirku. Di tengah perjalanan aku teringat cerita Udin.
Benarkah ada setan sapi? Atau memang benar bahwa bapaknya Udin cuma menakut-nakuti saja? Ataukah bukan keduanya, alias bapaknya Udin cuma mimpi buruk yang terasa nyata.
Aku menyusuri jalan setapak berbatu di sebelah rumah Udin untuk menuju ke sungai Gimun. Rumahnya di batasi oleh semak belukar yang sangat tinggi.
“MOOOOOO!!!” Suara sapi pak komat membuyarkan lamunanku, kandang sapi itu sudah dekat. Tinggal sedikit lagi sampai parit.
'Wuusssss' angin berhembus kencang, membuat bulu kudukku berdiri tegak.
Siall. Kok aku jadi penakut gini yak. Setan itu ga ada. Setan itu ga ada. Jangan jadi penakut bodoh. -aku memarahi diriku sendiri dalam hati.
Sekarang kandang sapi pak komat sudah mulai terlihat di depan.
Aku melewati kandang tersebut, dan parit sudah terlihat.
Parit itu tidak ada yang memakai. Alhamdulillah- dan cepat-cepat aku jongkok untuk menyelesaikan ritual, ritual segala umat. Sambil clingukan, aku kembali teringat cerita Udin. Sapi pak komat penasaran, astaga emang setan sapi itu gimana rupanya sih?
“BYUUR!!”
Tiba-tiba terdengar suara air menciprat.-apa juga itu menciprat- seperti seseorang loncat ke dalam air tepat di samping kiri ku.
Aku lihat ke arah itu dan tidak ada apapun dari arah situ, bahkan bekas cipratan air pun tidak nampak.
Dak dik Duk. Jantung ini berpacu cepat, aku mencoba mempercepat ritual ku, tapi perut tambah mules, dan tidak bisa di tahan.
‘haaaaa....’ suara hafas sangat pelan terdengar sangat dekat di telingaku, sekali lagi aku lihat ke arah tadi. Dan masih tidak ada apapun. Sekilas aku menoleh ke depan, dan langsung seketika itu juga aku menoleh ke arah kiri lagi. Dan bayangkan apa yang ku lihat.
Sesosok besar hitam bermata sangat lebar menyala bagaikan lampu mobil. Dan dia meringis dan mendesis. Gigi besar-besar bewarna kekuningan, dia tepat satu meteran di sebelahku.
“MOOOOO...!!!!!” dia mengeluarkan suara sapi. Tapi lebih menyeramkan, seperti sapi saat di sembelih.
“WAAAAAAHHHH.!!!!!” Aku berteriak kencang. “MAAKK EEE.!!!!! TOOLLOOOONNGGGGGG.!!!!”
Dan berlari lah aku tanpa sempat cebok sama sekali. Bodoh amat deh lengket-lengket dikit. Yang penting selamat -pikirku.
Pak Komat sepertinya mendengar teriakanku, dia muncul dari dalam rumahnya sambil bertanya. “Ngapain malam-malam begini teriak-teriak.?”
“Ada... Ad... Ada..” aku tergagap.
“Ada apaan.?”
“Ada. Sapi.” Karena syok dan gemetaran aku jadi hanya bisa komat-kamit ga karuan.
Akhirnya Pak Komat mengantar aku pulang tanpa bertanya lagi.
7
“Ya udah. Bapak pulang dulu ya.?” Kata Pak Komat sesampainya di rumah.
“Iya pak.” Jawabku “ga mampir dulu kah.?”
“Ga usah Yon. Sudah malam. Bapak musti mengurus sapi-sapi yang kebangun gara-gara kaget mendengar teriakanmu tadi.”
“Iya deh pak. Maaf sebelumnya.”
“Memangnya kenapa kamu tadi teriak-teriak.?”
“Adaa.. anu pak. Ada sapi penasaran. Eeh anuu..” aku benar-benar tergagap dan bingung mau jawab apa
“Hahahaha.. sapi penasaran. Ada-ada saja kamu ini Yon. Ya sudah bapak pulang dulu. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsallam..”
Dan pulang lah Pak Komat. Perawakannya pak komat itu Tingginya sekitar 160an. Tubuh kurus kecil. Tapi tenaganya luar biasa. Karena beliau walaupun kecil. Dia bisa mengatasi sapi beliau yang galak dan suka marah. Dan beruntung lah sapi itu sudah mati, tapi sialnya sapinya penasaran -dekat rumahku lagi. Haduuh
Rumahku seperti sudah yang aku ceritakan tadi. Punya tiga kamar, kamarku di tengah. Kamar depan Mas Andri yang menempati. Dan Erni tidur di kamar belakang bareng bapak ibuku.
Kembali ke cerita.
Aku berjalan ke kamarku. Karena aku mesti melewati kamar mas Andri, dan kamar kami tidak ada daun pintunya. Aku ga sengaja melirik ke arah kamar mas Andri. Aku lihat dia berdiri di depan lemari pakaiannya.
Ngapain pula dia belum tidur.? Tanyaku dalam hati. Tau gitu, aku minta antar dia saja.
Saat aku paling bentar ke depan. Dan menoleh lagi kearah kamar mas Andri, mas Andri dalam sekejap mata sudah tidur pulas di dalam selimut sarungnya.
“EHH..!!!” aku teriak kaget. Kok bisa tiba-tiba saja mas Andri sudah tidur, padahal barusan saja dia berdiri di depan lemari pakaiannya.
Dan merinding menjalar ke seluruh tubuhku. Segera pula aku berlari ke kamarku.
Astaganagaaa. Apaan tadi. Pikiranku menjadi kacau. Aku ga percaya sama yang aku lihat barusan. Dan aku pun langsung rebahan dan menarik selimutku nutupi kepalaku, berusaha untuk segera tidur. Tapi apalah dayaku, setelah kejadian di sungai dan dikamar Mas Andri barusan. Aku tidak bisa segera tidur.
“Mas Riyon.” Terdengar suara Erni dari dekat pintu masuk kamarku. Ingat gaes semua kamar di rumahku ga ada daun pintunya ya. Dan posisi kasurku, kepala tepat di samping pintu masuknya.
“Mas.” Terdengar lagi.
“Apa.?” Jawabku.
Hening......
“Mas Riyon.” Erni memanggil lagi.
“Apa Er. Jangan teriak-teriak saja. Masuk sini.”
“Mas Riyon.” Dia tetap saja memanggilku dengan nada yang sama.
“Jangan bercanda. Ada apa.!?” Bentak ku sambil membuka selimutku tadi. Alangkah kagetnya aku melihat Erni Cuma melongok ke arah ku dari luar kamar.
“Hehehee..” dia terkekeh. Sambil melakukan gerakan cilukba. Dia memanggilku berkali-kali. “Mas Riyon. Mas Riyon.” Berkali-kali dia melongok kan kepalanya. Dan lama-kelamaan senyumannya semakin mengerikan.. mula-mula senyum biasa. Lama-lama senyumnya sangat lebar. Mulutnya tersenyum dari telinga kiri ke kanan penuh dan terbuka lebar. “Heheheheeee. Mas Riyon. Mas Riyon. Main yuk. Main yuuk.”
“ Waaaaaaah.. waaaahhhh.” Aku teriak sekencang kencangnya. Dan sepertinya aku pingsan.
silahkan komen, dan share. tengkyu ferimat. 😁😁