"Ibu bilang, anak adalah permata. Tapi di rumah ini, anak adalah mata uang."
Kirana mengira pulang ke rumah Ibu adalah jalan keluar dari kebangkrutan suaminya. Ia membayangkan persalinan tenang di desa yang asri, dibantu oleh ibunya sendiri yang seorang bidan terpandang. Namun, kedamaian itu hanyalah topeng.
Di balik senyum Ibu yang tak pernah menua, tersembunyi perjanjian gelap yang menuntut bayaran mahal. Setiap malam Jumat Kliwon, Kirana dipaksa meminum jamu berbau anyir. Perutnya kian membesar, namun bukan hanya bayi yang tumbuh di sana, melainkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lapar.
Ketika suami Kirana mendadak pergi tanpa kabar dan pintu-pintu rumah mulai terkunci dari luar, Kirana sadar. Ia tidak dipanggil pulang untuk diselamatkan. Ia dipanggil pulang untuk dikorbankan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10: Jangan Keluar Setelah Maghrib
Kirana menatap tulisan tangan yang terasa familiar itu, dan ia menyadari, peringatan itu ditulis bukan oleh Dimas, melainkan oleh Kakak Sulungnya sendiri sebelum ia dikorbankan.
Tulisan tangan itu, kecil dan tertekan, memiliki gaya yang sangat mirip dengan surat surat yang dikirim Kakak Sulungnya, Laksmi, saat mereka remaja. Kirana merasakan gelombang dingin menjalar di punggungnya. Laksmi telah berjuang. Laksmi meninggalkan petunjuk.
Pesan di ponsel tua Dimas itu begitu jelas: Jangan Keluar Setelah Maghrib.
Kirana melihat jam digital di ponsel itu. Pukul 19:15. Maghrib telah lama berlalu, dan ia sudah terkunci.
Ia menelusuri foto lain di galeri, mencari petunjuk tambahan. Ia menemukan puluhan foto Dimas dan dirinya di Jakarta, tetapi di antara mereka,
tersembunyi satu foto lagi. Foto itu adalah bidikan cepat dan buram, hanya menunjukkan siluet hitam bayangan di balik tirai beludru hijau tirai kamar ini.
Foto itu diambil dari dalam kamar, menghadap ke luar. Jika ia melihat foto itu, itu berarti Laksmi, atau mungkin suaminya (kakak iparnya dulu), pernah mengambil foto ini. Itu semakin
menegaskan bahwa kamar ini bukan sekadar kamar kosong, melainkan perangkap yang disiapkan secara spesifik.
Kirana menggenggam ponsel itu, motivasinya kini bukan lagi ketakutan, tetapi kemarahan. Ia bangkit, melangkah ke sudut kamar tempat piring daging mentah itu tersembunyi sebelumnya. Ia mendorong lemari itu lagi.
Kreeek. Kayu tua itu mengerang.
Ia mengambil piring yang sudah bersih dari belakang lemari, lalu berjalan ke pintu kamar yang terkunci. Ia harus memverifikasi seberapa ketat kunci mereka. Ia meletakkan piring itu di lantai, dan menggunakan piring sebagai alasan.
Kirana menggedor pintu dengan tangan kanannya yang tidak memegang ponsel. "Mas! Dimas! Piringnya kotor, aku butuh air untuk mencucinya! Pintu terkunci!"
Tidak ada jawaban. Hanya bau melati yang pekat di balik pintu.
Kirana mencoba lagi, lebih keras. "Ibu! Nyi Laras! Aku harus membersihkan piring ini sekarang! Aku bisa muntah!"
Lama sekali hening. Kirana menunggu, ia mengintip celah di bawah pintu. Bayangan Dimas atau Nyi Laras tidak terlihat.
Tiba tiba, suara berdesir pelan datang dari koridor. Bukan langkah kaki, tetapi suara seperti pasir yang digeser di lantai kayu. Kemudian, terdengar suara tarikan napas panjang, berat, yang sangat dekat dengan pintu.
"Kau sudah di dalam. Tidak perlu keluar," sebuah suara berat, dingin, dan asing menjawab. Suara itu dalam, serak, tidak seperti suara Dimas atau Nyi Laras, tetapi lebih mirip suara penjaga yang tua dan besar.
Kirana tersentak mundur. Ia tidak mengira akan ada pihak ketiga yang menjaga di luar. Ia kembali merangkak, cepat cepat mengambil ponsel dan piring itu. Ia berdiri. Ia tidak boleh menunjukkan kelemahan.
"Aku butuh air!" Kirana mendesak.
Keheningan. Lalu, terdengar suara berdecit pelan, dan sebuah baskom kecil perak didorong dari bawah celah pintu. Baskom itu hanya berisi sedikit air keruh. Di samping baskom itu, ada sepotong kecil ikan asin kering.
"Makan saja itu. Jangan berisik," suara berat itu memerintah, dan suara gesekan pasir menjauh.
Kirana menatap baskom dan ikan asin. Jelas sekali ini adalah upaya untuk mengisolasi dan merendahkannya. Mereka memberinya makanan seperti tahanan.
Ia mencuci piring dengan air keruh itu seadanya, lalu menuang sisa air kembali ke baskom. Ia tidak menyentuh ikan asin itu.
Ia kembali ke ranjang, duduk, dan mencoba menenangkan bayinya yang kini bergerak sangat kuat, hampir menyakitkan.
"Kita harus keluar, Nak," bisik Kirana. "Laksmi bilang kunci emas. Tapi kuncinya macet."
Kirana melihat ke arah jamu di atas meja. Ia tidak meminumnya, dan jamu itu kini dingin.
Tiba tiba, perutnya terasa sangat kram. Kram itu datang tanpa peringatan, terasa sakit luar biasa, seperti organ di dalamnya sedang diremas paksa. Kirana menjerit tertahan, mencengkeram seprai. Rasa sakit itu berlangsung selama lima detik, lalu menghilang secepat ia datang.
Ketika rasa sakit itu reda, Kirana menyentuh perutnya. Gerakan janinnya yang tadinya liar kini terhenti. Tubuhnya bergetar. Ia mencoba memanggil nama Dimas, tetapi tidak ada suara yang keluar.
Ia melihat ke pot bunga yang ia siram dengan jamu tadi. Bunga bunga itu, yang tadinya terlihat sehat, kini layu dan menghitam, seolah terbakar dari dalam. Kirana menelan ludah.
Jamu itu bukan penguat kandungan. Itu racun.
Ia kembali ke ponsel tua Dimas, melihat foto Nyi Laras di samping sumur dengan bayi yang diselimuti kain batik. Ia memperbesar tulisan tangan di sudut foto: Jangan Keluar Setelah Maghrib.
Kirana menyadari bahwa pesan Kakak Sulungnya bukan hanya larangan, tetapi juga petunjuk. Sesuatu yang penting terjadi setelah Maghrib, dan itu berhubungan dengan sumur tua yang ditutupi tumpukan melati.