Empat tahun lalu, Aira Nadiya mengalami malam paling kacau dalam hidupnya—malam yang membuatnya kehilangan arah, tapi juga memberi dirinya sesuatu yang paling berharga: seorang anak laki-laki bernama Arvan.
Ia tidak pernah memperlihatkan siapa ayah anak itu. Tidak ada foto, tidak ada nama, tidak ada cerita. Satu-satunya petunjuk hanya potongan ingatan samar tentang pria misterius dengan suara rendah dan mata gelap yang menatapnya seolah ingin menelan seluruh dunia.
Aira mengira itu hanya masa lalu yang terkubur.
Sampai suatu hari, karena utang ayahnya, ia dipaksa menikah dengan Dion Arganata, CEO muda yang terkenal dingin dan tidak punya empati. Lelaki yang seluruh hidupnya diatur oleh bisnis dan warisan. Lelaki yang membenci kebohongan lebih dari apa pun.
Dan Aira bahkan tidak tahu…
Dion adalah pria dari malam itu.
Ayah dari anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10 — Ikatan yang Tak Terhindarkan
Aira terbangun di kamar asing Dion. Udara di sekitarnya terasa tebal dan menyesakkan, dipenuhi oleh jejak-jejak malam yang baru berlalu—jejak-jejak yang brutal, menuntut, dan pada tingkat yang menyakitkan, membuat tubuhnya merespons. Sinar matahari pagi menembus jendela, tetapi di dalam hati Aira hanya ada kegelapan.
Dion sudah bangun. Ia berdiri di depan jendela, mengenakan jubah mandi sutra, memandang ke luar, seolah malam itu hanyalah interupsi kecil yang harus segera ia lupakan.
“Aku sudah memberitahu Bi Surti untuk mengurus kebutuhan anak itu,” kata Dion, suaranya kembali dingin, kembali menjadi CEO yang tidak bisa ditembus. Tidak ada kehangatan, tidak ada penyesalan, hanya pernyataan fakta. “Pastikan dia tidak menyusahkan. Dan kau, rawat tubuhmu. Kau adalah aset yang harus berfungsi.”
Aira merasakan penghinaan yang menusuk. Ia bangkit, meraih robenya. Setiap gerakan terasa sakit, tetapi rasa sakit emosional jauh lebih dalam.
“Saya mengerti tugas saya, Tuan Arganata,” jawab Aira, menjaga suaranya tetap datar. Ia tidak berani menatapnya.
Dion menoleh, matanya menyipit. “Bagus. Jangan pernah lupa, ini adalah hukuman, Aira. Setiap sentuhan, setiap desahan, adalah pembayaran atas kebohonganmu.”
Dion berjalan melewatinya, menuju kamar mandi. Pintu ditutup, meninggalkan Aira yang hancur sendirian. Aira buru-buru kembali ke kamarnya, mencuci dirinya, dan mencoba menghapus memori tentang dominasi Dion. Ia harus menjadi Ibu yang kuat pagi ini.
Ketegangan baru dalam rumah tangga Arganata adalah Arvan.
Anak itu, dengan energi tak terbatas dan rasa ingin tahu yang besar, adalah anomali di tengah keteraturan dingin penthouse itu. Aira berusaha keras menjauhkan Arvan dari Dion, tetapi itu terasa seperti mencoba menghentikan gravitasi.
Arvan, yang cerdas, cepat menyadari bahwa "Tuan Dion" adalah pusat kekuasaan di rumah itu. Anak-anak secara naluriah tertarik pada kekuasaan. Selain itu, Arvan merasa nyaman dengan Dion, karena pria itu adalah satu-satunya orang dewasa yang berbicara dengannya tanpa basa-basi anak-anak, mengajarinya tentang aturan dan logika, persis seperti yang ia lihat pada Ayahnya di foto.
Suatu sore, Aira sedang menyiapkan makan siang Arvan di dapur, dan Dion kebetulan sedang mencari air mineral.
Arvan duduk di meja, kesulitan merangkai puzzle yang sangat rumit—hadiah mahal dari Dion, yang diberikan tanpa emosi, hanya untuk membuat Arvan sibuk.
Arvan mengerang frustrasi. “Ma, ini salah. Aku tidak bisa menemukan batas amannya,” gumam Arvan, mengulang kata-kata Dion yang ia dengar di Bab 9.
Dion, yang sudah mengambil air, berhenti di ambang pintu. Ia menatap puzzle yang berantakan itu.
“Kau tidak bisa menemukan batas aman, keponakan?” tanya Dion.
Arvan mendongak. “Iya, Tuan Dion. Warna ini tidak cocok dengan warna itu.”
Dion berjalan mendekat. Aira menahan napas, siap menarik Arvan jika Dion marah.
Dion mengambil satu potongan puzzle dan membalikkannya. “Kau fokus pada warna, Arvan. Warna menipu. Warna adalah ilusi.”
Arvan memandang Dion dengan mata berbinar.
“Yang harus kau lihat adalah koneksi. Kau harus melihat sudutnya,” lanjut Dion, dengan tenang, menjelaskan strategi puzzle itu seolah ia sedang menjelaskan strategi merger. Ia menunjuk sudut tajam pada potongan itu. “Ini adalah titik koneksi. Fokus pada struktur, bukan pada tampilan.”
Dion membalik dua potong puzzle lainnya dan menunjukkan bahwa bentuk potongan-potongan itu akan menyambung, meskipun warnanya di sisi luar berbeda. Dalam lima detik, Dion telah merangkai lima potongan yang sebelumnya membuat Arvan frustrasi.
“Lihat,” kata Dion. “Kekacauan hanya terjadi jika kau fokus pada hal yang tidak penting. Fokus pada struktur.”
Arvan terkesima. “Wah! Tuan Dion pintar! Tuan Dion tahu aturan puzzle ini!”
“Tentu,” jawab Dion, tanpa senyum. “Aku tahu semua aturan.”
Aira terpaku. Ia melihat kelembutan yang sangat tersembunyi, yang tidak pernah Dion tunjukkan pada siapa pun. Cara Dion menjelaskan, kesabaran yang ia berikan pada Arvan, adalah sesuatu yang tidak ia sangka. Dan yang paling menakutkan, Arvan menanggapi Dion dengan pemujaan.
Saat Dion berbalik hendak pergi, Arvan memanggilnya dengan suara kecil penuh keberanian.
“Tuan Dion!”
Dion berhenti.
“Boleh Tuan Dion ajari Arvan yang lain?”
Dion terdiam sejenak. Ia melihat ke Aira. Aira hanya bisa menggeleng pelan, memohon agar Dion menolak.
Dion menghela napas, melihat jam tangannya yang mahal. Ia punya janji penting.
“Aku punya pekerjaan,” kata Dion. Lalu, entah mengapa, ia melihat Arvan lagi, melihat harapan di mata Arvan.
“Nanti malam,” kata Dion, tiba-tiba. “Setelah makan malam, bawakan aku puzzle itu ke ruang keluarga. Aku akan mengajarimu cara kerja koneksi. Tapi jangan pernah ganggu jam kerjaku lagi. Mengerti?”
Wajah Arvan bersinar. “Mengerti, Tuan Dion!”
Dion pun pergi.
Aira ambruk di meja. Ia tahu, kebohongan ini tidak akan bertahan lama. Kedekatan biologis itu seperti magnet yang menarik Dion dan Arvan, melampaui semua aturan dan kontrak.
Malam-malam setelah itu menjadi ritual yang menyiksa bagi Aira.
Arvan, yang kini mendapat 'izin' dari Dion, akan membawa puzzle, buku, atau mainan lain ke ruang keluarga. Dion akan duduk, terlihat kesal awalnya, tetapi ia selalu mengakhiri sesi itu dengan menunjukkan sedikit kesabaran yang mengejutkan.
Aira memperhatikan bagaimana tangan Dion, yang biasa memegang pena mahal atau menandatangani cek miliaran, kini dengan sabar menyusun balok, atau memperbaiki miniatur jet Arvan. Aira melihat kesamaan yang mengerikan: keduanya memiliki cara berpikir yang sangat logis dan terstruktur.
Suatu malam, Dion dan Arvan sedang duduk di karpet. Dion sedang mengajarkan Arvan cara mengikat tali sepatunya dengan ikatan ganda agar tidak mudah lepas.
“Di dunia ini, kau tidak boleh mudah lepas, Arvan,” kata Dion, suaranya pelan dan mengajar. “Kau harus kuat dan mengikat dirimu erat-erat pada hal yang benar.”
Aira melihat jari-jari panjang Dion yang luwes, tangannya yang sangat mirip dengan tangan Arvan. Aira merasakan kehangatan yang menusuk di hatinya. Pria yang seharusnya menjadi Ayah Arvan, pria yang ia cintai empat tahun lalu, kini hadir di depan Arvan, tetapi sebagai tiran.
Dion mendongak dan melihat Aira sedang mengawasi mereka, matanya berkaca-kaca.
Dion langsung kembali ke wujud CEO-nya. Ia melepaskan tali sepatu itu.
“Sudah cukup,” kata Dion, berdiri. “Waktuku habis.”
Arvan cemberut, tetapi patuh.
Dion berjalan ke Aira, matanya dingin dan marah. “Kau menikmati ini, Aira?”
“Menikmati apa?” tanya Aira, bingung.
“Menikmati melihatku melunak pada anak itu,” desis Dion. “Kau pikir dengan membuatku menyukai putramu, kau akan terbebas dari hukumanmu?”
“Tidak,” kata Aira, menggeleng. “Saya hanya melihat sesuatu yang seharusnya terjadi empat tahun lalu.”
Aira langsung menyesali kata-katanya. Itu terlalu jujur, terlalu spesifik.
Wajah Dion membeku. “Apa maksudmu?”
Aira buru-buru membalikkan kata-katanya. “Saya… saya maksud, setiap anak layak mendapatkan perhatian Ayah. Tapi Anda tidak perlu memaksakan diri, Tuan Arganata. Arvan tidak berhak mendapatkan kebaikan Anda.”
Dion menatap Aira, pandangannya mencurigakan. Ia melangkah mendekat.
“Kau menyembunyikan sesuatu yang lebih besar dariku, Aira,” bisik Dion. “Bukan hanya fakta bahwa dia putramu. Kau menyembunyikan identitas Ayahnya.”
“Tidak,” balas Aira, suaranya memohon. “Saya sudah bilang, Ayahnya sudah menghilang. Dia pria yang tidak bertanggung jawab.”
Dion menyeringai kejam. “Pria yang tidak bertanggung jawab? Kenapa anak ini begitu terstruktur? Kenapa ia menyukai logika? Kenapa ia memiliki naluri yang sama denganku dalam merangkai puzzle?”
Dion meraih tangan Aira, mencengkeramnya. “Atau, apakah pria yang tidak bertanggung jawab itu tidak menghilang? Apakah dia seseorang yang begitu penting, hingga kau rela menjual diri untuk melindunginya dari skandal?”
Aira menggeleng putus asa. “Tidak ada orang seperti itu! Saya hanya… saya melindungi putra saya dari Anda. Saya tidak ingin dia menjadi sandera Anda selamanya.”
“Terlambat,” kata Dion. “Dia sudah menjadi sandera. Dan sekarang, kau harus membayar harganya.”
Dion menarik Aira. Malam itu, Dion menuntut pemenuhan fisik Aira lagi. Namun, kali ini, sentuhan Dion terasa lebih mendesak, lebih kejam, seolah ia sedang mencari jawaban dalam keintiman mereka yang dipaksakan. Aira merespons dengan air mata dan keputusasaan, merasakan tubuhnya mengkhianati hatinya.
Setelah Aira kembali ke kamarnya, Dion tidak bisa tidur. Ia bangkit, mengenakan jubah, dan berjalan ke kamar Arvan. Ia tidak tahu mengapa.
Arvan tidur pulas, memeluk miniatur jet tempur barunya. Dion berdiri di samping tempat tidur, menatap wajah polos itu. Wajah itu damai.
Tiba-tiba, mata Dion tertuju pada laci kecil di samping tempat tidur. Laci itu terbuka sedikit.
Dion, didorong oleh naluri yang tak tertahankan, membuka laci itu.
Di dalamnya, ia menemukan foto yang usang, sedikit terlipat. Itu adalah foto Dion Arganata, empat tahun lalu, diambil secara diam-diam oleh Aira di Café “La Nuit,” sebelum mereka menghabiskan malam itu. Dion mengenali jas dan tatapan matanya yang lebih muda. Itu adalah foto yang sama persis dengan yang ia lihat di laporan keamanan, yang ditemukan di barang-barang lama Aira.
Dion mengambil foto itu dan membaliknya. Di belakangnya, dengan tulisan tangan Aira yang rapi, tertulis:
“Ayahmu.”
Dion Arganata merasakan seluruh udara di paru-parunya ditarik keluar.
Ia menatap foto itu, lalu menatap Arvan yang sedang tidur. Matanya yang gelap, garis rahangnya yang kuat, rambutnya yang ikal. Arvan bukan hanya anak Aira. Arvan adalah putranya.
Empat tahun lalu, di bawah lampu remang-remang Café “La Nuit,” Dion tidak hanya menghabiskan malam dengan seorang wanita asing. Ia telah menciptakan benih, benih yang tak terucap, pewaris sahnya.
Dion merasakan amarah yang membakar. Bukan lagi amarah karena dikhianati oleh seorang 'kekasih yang menghilang,' melainkan amarah karena dikhianati oleh dirinya sendiri dan oleh wanita di sebelah yang telah menyembunyikan harta yang paling berharga darinya.
Ia ditipu. Ia adalah Ayah anak itu.
Dion Arganata menghancurkan foto itu di tangannya. Kebenaran telah meledak di wajahnya.
Ia tahu apa yang harus ia lakukan.
semoga cepet up lagi