Satu surat pemecatan. Satu undangan pernikahan mantan. Dan satu warung makan yang hampir mati.
Hidup Maya di Jakarta hancur dalam semalam. Jabatan manajer yang ia kejar mati-matian hilang begitu saja, tepat saat ia memergoki tunangannya berselingkuh dengan teman lama sekaligus rekan sekantornya. Tidak ada pilihan lain selain pulang ke kampung halaman—sebuah langkah yang dianggap "kekalahan total" oleh orang-orang di kampungnya.
Di kampung, ia tidak disambut pelukan hangat, melainkan tumpukan utang dan warung makan ibunya yang sepi pelanggan. Maya diremehkan, dianggap sebagai "produk gagal" yang hanya bisa menghabiskan nasi.
Namun, Maya tidak pulang untuk menyerah.
Berbekal pisau dapur dan insting bisnisnya, Maya memutuskan untuk mengubah warung kumuh itu menjadi katering kelas atas.
Hingga suatu hari, sebuah pesanan besar datang. Pesanan katering untuk acara pernikahan paling megah di kota itu. Pernikahan mantan tunangannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Liora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23. Tembok Pelindung
"Bapak nggak balik ke kantor? Ini sudah jam pulang, lho."
Maya meletakkan nampan berisi gundukan cabai merah dan bawang di atas meja kayu. Dia menatap Arlan yang masih saja duduk di kursi warungnya, bahkan setelah pengacara suruhan keluarga Siska itu pergi dengan ekor melipat.
Arlan tampak begitu tenang, seolah-olah warung sederhana ini adalah ruang kerjanya yang berpendingin udara.
"Kantor saya tidak akan lari ke mana-mana, Maya," jawab Arlan pendek. Dia mulai melonggarkan ikatan dasinya, lalu membuka kancing manset kemejanya dan menggulung lengannya hingga ke siku. "Lagipula, saya ingin memastikan tidak ada pengacara lain yang tiba-tiba muncul dari kolong meja kamu."
Maya tertawa kecil, suara tawanya terdengar lebih ringan dari biasanya. "Memangnya mereka kecoak? Sudah, mending Bapak pulang saja. Saya mau nyiapin bumbu buat pesanan katering besok."
"Saya bantu."
"Hah? Bantu apa?" Maya melongo.
"Memilah bawang atau apa pun itu. Saya punya tangan yang masih berfungsi normal, kan?" Arlan menarik nampan bambu itu ke hadapannya. Jemarinya yang biasanya hanya memegang pulpen mewah seharga motor kini mulai menyentuh kulit bawang yang kasar.
"Hati-hati, nanti tangan Bapak bau bawang. Hilangnya susah, lho," goda Maya sambil mulai memetik tangkai cabai.
"Bau bawang lebih baik daripada bau kemunafikan orang-orang di kota," gumam Arlan. Dia mulai mengupas bawang satu per satu dengan gerakan yang sangat kaku, hampir seperti robot yang sedang belajar perasaan.
Suasana warung sore itu mendadak hangat. Sinar matahari senja menerobos masuk dari celah jendela, menyirami mereka berdua yang sibuk di atas meja kayu. Ibu Sum sedang di belakang, mungkin sedang beristirahat atau sengaja memberi ruang.
"Arlan, aku penasaran," Maya memecah keheningan. "Kenapa kamu sampai segitunya bela aku? Maksudku, soal bisnis katering, kamu bisa cari vendor lain yang lebih stabil kalau mau. Nggak perlu sampai pasang badan lawan pengacara dua miliar tadi."
Arlan terdiam sejenak. Dia menatap satu siung bawang putih di tangannya dengan tatapan yang sangat jauh. "Karena saya melihat diri saya yang dulu pada kamu, Maya."
"Maksudnya?"
"Dulu, saya bukan siapa-siapa. Saya hanya anak dari keluarga yang bangkrut karena ditipu mitra bisnis sendiri. Saya pernah berdiri di posisi kamu, dihina, dianggap sampah, dan dituduh melakukan kesalahan yang tidak pernah saya perbuat," suara Arlan merendah, ada nada luka yang samar di sana. "Bedanya, dulu tidak ada orang yang berdiri di samping saya. Saya harus merangkak sendirian di lumpur sampai bisa membangun Dirgantara Utama Group."
Maya menghentikan tangannya. Dia menatap profil samping wajah Arlan yang tegas. Baru kali ini dia melihat sisi rapuh dari pria yang selama ini terlihat seperti tembok baja itu.
"Jadi, kamu bela aku karena rasa kasihan?" tanya Maya pelan.
"Bukan kasihan. Tapi karena saya tahu rasanya benar namun dipaksa salah. Saya tidak mau bakat dan kerja keras kamu hancur hanya karena orang-orang yang merasa bisa membeli hukum dengan uang," Arlan menoleh, menatap Maya dalam-dalam. "Kamu punya sesuatu yang jarang dimiliki orang sekarang, Maya. Integritas. Dan rasa masakanmu... itu murni dari hati."
Maya tersipu. Dia segera menundukkan kepala, pura-pura sibuk lagi dengan cabainya. "Bapak pinter banget ya kalau lagi muji orang."
"Saya hanya bicara fakta. Oh, selanjutnya apa?"
"Selanjutnya ini semua harus diulek. Saya lebih suka bumbu ulek manual daripada blender, rasanya lebih keluar," Maya menyodorkan cobek batu besar dan ulekan ke depan Arlan. "Bapak berani coba? Ini berat, lho."
Arlan menatap ulekan batu itu seolah-olah itu adalah senjata purba yang berbahaya. "Hanya menghancurkan cabai, kan? Seberapa susahnya?"
Arlan mulai menumbuk. Dug! Dug! Dug! Suaranya sangat keras, membuat meja kayu itu bergetar.
"Eh, eh! Jangan dipukul begitu, Arlan! Nanti cobeknya pecah!" Maya tertawa terpingkal-pingkal melihat gaya Arlan yang mengulek seperti orang sedang menancapkan paku bumi. "Ditekan, terus diputar. Begini, lho."
Maya memegang tangan Arlan, mencoba mengajari teknik mengulek yang benar. Kulit tangan Arlan yang hangat dan halus bersentuhan dengan kulit tangan Maya yang sedikit kasar karena sering memegang pisau.
Gerakan mereka terhenti sesaat. Ada aliran listrik aneh yang membuat napas Maya sedikit tersendat.
"Begini?" suara Arlan mendadak serak.
"I-iya. Pelan-pelan saja," Maya buru-buru menarik tangannya, jantungnya berdegup tidak keruan.
Arlan mencoba mengikuti instruksi Maya. Hasilnya? Dia malah kecipratan air cabai tepat di lengan kemeja putih mahalnya. "Sial."
"Tuh kan! Sudah dibilang jangan sok tahu. Sini, biar saya saja," Maya mengambil alih ulekan itu dengan lincah.
"Tidak, saya harus bisa. Masa saya bisa pimpin ribuan karyawan tapi kalah sama sebongkah batu ini," Arlan merebut kembali ulekan itu dengan wajah serius yang malah terlihat sangat lucu.
Maya hanya bisa menonton sambil tertawa saat pria paling berpengaruh di provinsi itu kini berjuang melawan cabai keriting dengan wajah penuh konsentrasi. Kemejanya yang rapi sekarang penuh noda merah, rambutnya sedikit berantakan, dan dahinya mulai berkeringat.
"Sudah, sudah. Nanti Bapak malah nangis kalau kena mata," ledek Maya.
"Saya tidak pernah menangis, Maya."
"Masa?"
"Kecuali kalau sambal ini gagal," sahut Arlan yang membuat Maya tertawa lagi.
Di tengah tawa mereka yang memenuhi ruang warung, Ibu Sum muncul dari balik tirai dapur. Beliau berdiri mematung di sana, menyaksikan pemandangan yang belum pernah ia lihat seumur hidupnya.
Seorang pria yang tampak sangat berkuasa, duduk di warungnya yang reyot, tertawa lepas bersama anaknya sambil belepotan bumbu dapur.
Ibu Sum melihat cara Arlan menatap Maya. Bukan tatapan seorang bos kepada bawahan, bukan juga sekadar mitra bisnis. Itu adalah tatapan seorang pria yang telah menemukan tempat istirahatnya. Pandangan Arlan begitu dalam, penuh dengan perlindungan dan sesuatu yang lebih dari sekadar kekaguman.
"Ehem."
Maya dan Arlan tersentak secara bersamaan. Arlan langsung menegakkan punggungnya, mencoba mengembalikan wibawanya meski tangannya masih memegang ulekan yang merah karena cabai.
"Eh, Ibu. Sudah bangun?" Maya berdiri kikuk.
Ibu Sum berjalan mendekat, menatap bergantian ke arah Maya yang wajahnya merona dan Arlan yang belepotan. Beliau menarik napas panjang, lalu menatap Arlan dengan sorot mata seorang ibu yang menuntut kejujuran.
"Nak Arlan," panggil Ibu Sum lembut namun tegas.
"Iya, Bu?" Arlan meletakkan ulekannya, perhatiannya sepenuhnya tertuju pada wanita tua itu.
"Ibu sudah lihat semuanya sejak kemarin. Nak Arlan pasang badan buat Maya, kirim orang buat jaga warung ini, bahkan sekarang mau kotor-kotoran di dapur kami yang sempit," Ibu Sum menjeda kalimatnya, matanya menatap tajam ke arah Arlan. "Ibu mau tanya satu hal saja. Sebenarnya, apa tujuanmu membela anak saya sampai sejauh ini? Apa ini benar-benar cuma soal kontrak katering perusahaanmu?"
Suasana warung mendadak hening. Maya menahan napas, menatap Arlan dengan perasaan was wasl. Dia sendiri pun ingin tahu jawaban dari pertanyaan itu.
Arlan tidak langsung menjawab. Dia menatap Maya sekilas, lalu kembali menatap Ibu Sum dengan pandangan yang sangat tenang dan jujur.