Di pinggiran hutan Jawa yang pekat, terdapat sebuah desa yang tidak pernah muncul dalam peta digital mana pun. Desa Sukomati adalah tempat di mana kematian menjadi industri, tempat di mana setiap helai kain putih dijahit dengan rambut manusia dan tetesan darah sebagai pengikat sukma.
Aris, seorang pemuda kota yang skeptis, pulang hanya untuk mengubur ibunya dengan layak. Namun, ia justru menemukan kenyataan bahwa sang ibu meninggal dalam keadaan bibir terjahit rapat oleh benang hitam yang masih berdenyut.
Kini, Aris terjebak dalam sebuah kompetisi berdarah untuk menjadi Penjahit Agung berikutnya atau kulitnya sendiri akan dijadikan bahan kain kafan. Setiap tusukan jarum di desa ini adalah nyawa, dan setiap motif yang terbentuk adalah kutukan yang tidak bisa dibatalkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16: Rahasia di Balik Lemari Kayu
Di dasar tangga yang paling bawah, sebuah cahaya merah redup mulai menyala, memperlihatkan deretan peti mati kecil yang berjejer rapi. Peti mati itu tidak terbuat dari kayu biasa, melainkan dibungkus sepenuhnya oleh lapisan kulit manusia yang sudah kering dan dijahit menggunakan benang emas. Aris Mardian merasakan lututnya lemas hingga ia harus bersandar pada dinding lorong yang terasa lembap dan berdenyut seperti pembuluh darah raksasa.
"Sekar, katakan padaku bahwa ini hanyalah ilusi dari asap kemenyan yang tadi kamu tebarkan!" rintih Aris dengan suara yang nyaris hilang.
"Ini nyata, Aris, ini adalah persembahan yang tidak pernah dicatat dalam buku kelahiran manapun di desa ini," jawab Sekar Wangi sambil melangkah gemetar mendekati peti terdekat.
Sekar menyentuh permukaan peti itu dengan ujung jari yang gemetar, merasakan hawa panas yang keluar dari sela jahitan kulit tersebut. Aris melihat mata Sekar membelalak saat bidan itu menyadari bahwa setiap peti memiliki label nama yang diukir pada kepingan tulang dahi manusia. Nama-nama yang tertera di sana adalah nama-nama bayi dari keluarga Mardian yang dikabarkan meninggal dalam kandungan selama tiga generasi terakhir.
"Keluargaku tidak hanya menjahit kain, mereka menjahit nyawa yang belum sempat melihat dunia!" teriak Aris sambil memukul dinding batu dengan tangan kanannya.
"Berhenti Aris! Darah dari tanganmu bisa membangkitkan apa yang ada di dalam peti-peti ini!" jerit Sekar berusaha menahan amarah Aris.
Tiba-tiba, tutup salah satu peti mati itu terbuka perlahan, mengeluarkan suara derit yang terdengar seperti tawa wanita tua yang sedang sekarat. Dari dalamnya muncul gulungan benang rambut yang sangat tebal, menjalar keluar dan mulai menutupi lantai ruang bawah tanah tersebut. Aris melihat bahwa di pusat gulungan rambut itu terdapat sebuah jantung manusia yang masih berdetak, meskipun sudah tertusuk oleh ratusan jarum perak kecil.
"Apakah itu jantung milik ibuku, Sekar? Mengapa benda itu ada di dalam peti mati bayi?" tanya Aris dengan napas yang memburu dan tidak beraturan.
"Bukan, itu adalah jantung dari perjanjian terlarang yang dibuat oleh kakek buyutmu untuk mendapatkan kekayaan abadi!" balas Sekar dengan wajah penuh kengerian.
Jantung itu mulai memompa darah hitam yang sangat kental, memenuhi ruangan dengan aroma logam yang sangat tajam dan menyesakkan dada. Benang-benang rambut yang menjalar di lantai mulai bergerak hidup, membentuk sosok wanita tanpa kepala yang mengenakan kebaya dari kain mori berlumuran darah. Sosok itu melangkah maju, tangannya yang panjang dan kurus mencoba meraih leher Aris dengan gerakan yang sangat tidak alami.
"Aris, gunakan pengetahuanmu tentang ruang ini untuk mencari tempat persembunyian, aku akan mencoba menahan jantung itu!" perintah Sekar sambil mengeluarkan botol minyak melati.
"Tidak ada ruang tersembunyi lagi, Sekar! Seluruh tempat ini adalah satu lubang kematian yang besar!" jawab Aris sambil mencoba menghindar dari sergapan rambut.
Aris melihat ke arah langit-langit dan menyadari bahwa posisi mereka tepat berada di bawah struktur lemari kayu jati yang ada di lantai atas. Ia melihat ada empat rantai besi besar yang menjuntai dari atas, menahan beban lemari agar tidak jatuh menimpa ruang peti mati ini. Sebagai seorang arsitek, ia tahu bahwa jika rantai itu diputus, maka lemari raksasa itu akan jatuh dan menghancurkan seluruh isi ruangan bawah tanah ini.
"Sekar! Kita harus menjatuhkan lemari itu untuk menghancurkan jantung terkutuk ini!" seru Aris sambil menunjuk ke arah rantai besi yang berkarat.
"Tapi jika kamu melakukannya, kita juga akan ikut tertimbun di dalam sini, Aris!" balas Sekar dengan nada ragu yang sangat besar.
Aris tidak memedulikan peringatan Sekar, ia meraih sebuah linggis besi tua yang tergeletak di pojok ruangan dan mulai memukul rantai besi tersebut. Sosok wanita tanpa kepala itu menjerit tanpa mulut, suaranya keluar dari pori-pori kulitnya yang terbuka dan mengeluarkan nanah kuning. Rambut-rambut hitam itu mulai melilit tubuh Aris, menariknya menjauh dari rantai besi dengan kekuatan yang bisa mematahkan tulang lengan manusia.
"Jangan biarkan dia menghentikanku, Sekar! Siram rambut itu dengan minyak melatimu sekarang juga!" teriak Aris sambil berjuang melepaskan diri.
Sekar melemparkan botol minyak melati ke arah kumpulan rambut yang melilit Aris, memicu api suci yang membakar helai-helai hitam tersebut dengan cepat. Aris berhasil lepas dan kembali menghantamkan linggisnya ke arah mata rantai yang paling lemah dengan sisa kekuatan terakhirnya. Suara dentingan logam yang pecah bergema hebat, diikuti oleh getaran dahsyat yang meruntuhkan debu dan tanah dari langit-langit ruangan.
Rantai besi itu putus, dan suara gemuruh yang luar biasa terdengar dari atas sana saat lemari kayu jati mulai meluncur turun menghantam lantai. Aris melihat jantung yang berdetak itu meledak, mengeluarkan cairan hitam yang membanjiri seluruh pandangannya sebelum kegelapan benar-benar menyelimuti segalanya. Namun, di tengah keruntuhan itu, Aris merasakan sebuah tangan yang sangat lembut membelai pipinya dan membisikkan sebuah janji kematian.
"Terima kasih telah membebaskan kami, sekarang giliranmu untuk menari di halaman rumah bersama para arwah," bisik suara wanita itu dengan lembut.
"Terima kasih telah membebaskan kami, sekarang giliranmu untuk menari di halaman rumah bersama para arwah," bisik suara wanita itu dengan lembut.