Pernikahan Emelia dengan Duke Gideon adalah sebuah transaksi dingin: cara ayah Emelia melunasi hutangnya yang besar kepada Adipati yang kuat dan dingin itu. Emelia, yang awalnya hanya dianggap sebagai jaminan bisu dan Nyonya Adipati yang mengurus rumah tangga, menemukan dunianya terbalik ketika Duke membawanya dalam perjalanan administrasi ke wilayah terpencil.
Di sana, kenyataan pahit menanti. Mereka terseret ke dalam jaringan korupsi, penggelapan pajak, dan rencana pemberontakan yang mengakar kuat. Dalam baku tembak dan intrik politik, Emelia menemukan keberanian yang tersembunyi, dan Duke Gideon dipaksa melihat istrinya bukan lagi sebagai "barang jaminan", melainkan sebagai rekan yang cerdas dan berani.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Sabrina Rasmah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
di jebak
Gideon menatap punggung Emelia yang menghilang di balik kabut fajar dengan sorot mata yang hancur. Ia tidak mengejarnya bukan karena tidak peduli, melainkan karena ia tahu bahwa dalam kondisi ini, kata-kata saja tidak akan cukup.
Ia membungkuk, memungut kunci perak yang dilemparkan Emelia dengan tangan gemetar.
"Tuan Duke," Komandan Night Hawks melangkah maju, wajahnya penuh kekhawatiran. "Apa yang harus kita lakukan? Kabar yang dibawa wanita itu adalah kebohongan besar. Pasukan kita tidak pernah menyentuh desa perbatasan sejak sebulan lalu."
Gideon mengepalkan tangannya hingga buku jarinya memutih. "Aku tahu. Bibik Lian bukan orang desa biasa. Temukan dia. Sekarang."
Namun, di kegelapan hutan di luar gerbang kastil, sosok Bibik Lian yang tadi tampak ketakutan kini berdiri tegak. Ia melepaskan kerudung kumalnya, memperlihatkan sebuah anting zamrud yang mahal—pemberian dari seseorang yang sangat membenci Gideon.
Sesosok pria muncul dari balik bayang-bayang. Itu adalah mantan ajudan pribadi mendiang ayah Gideon yang telah lama dipecat karena korupsi.
"Kerja bagus," bisik pria itu sambil menyerahkan sekantong emas. "Menghancurkan kepercayaan Emelia adalah cara tercepat untuk meruntuhkan pertahanan Gideon. Tanpa Emelia di sisinya, Gideon hanyalah seekor serigala yang kehilangan jiwanya."
"Dia sudah sangat membencinya, Tuan," lapor Bibik Lian dengan senyum sinis. "Sekarang, Emelia akan berlari tepat ke arah jebakan yang sudah disiapkan di jalan menuju ibu kota."
Sementara itu, Emelia terus berlari dengan napas terengah-engah. Air matanya terus mengalir, membasahi wajahnya yang penuh abu. Pikirannya dipenuhi gambaran rumah ayahnya yang terbakar. Ia merasa bodoh karena pernah mencintai pria yang ia pikir adalah penyelamatnya, namun ternyata adalah algojo bagi keluarganya.
Tiba-tiba, sebuah kereta kuda hitam tanpa lambang berhenti di depannya. Pintu terbuka, dan seorang wanita paruh baya dengan pakaian bangsawan yang sangat elegan keluar.
"Putri Emelia," sapa wanita itu lembut. "Jangan takut. Aku adalah adik kandung ibumu, bibimu dari Kerajaan Selatan. Aku datang untuk menjemputmu dari monster yang telah membunuh ayahmu."
Emelia tertegun, menatap wanita yang mengaku sebagai bibinya itu. Di saat hatinya hancur dan ia merasa tidak punya siapa-siapa, tawaran itu terdengar seperti penyelamatan.
Namun, Emelia tidak menyadari bahwa di kejauhan, Gideon sedang memacu kudanya sekuat tenaga, menyadari bahwa fitnah yang dilemparkan pada dirinya hanyalah umpan agar Emelia masuk ke dalam genggaman musuh yang sebenarnya—keluarga kerajaan yang dulu membuang ibunya.
"Gideon tidak membunuh ayahmu, Emelia!" teriak Gideon dari kejauhan, namun suaranya tertelan oleh deru angin fajar.
Emelia menoleh sejenak, menatap Gideon dengan penuh kebencian, lalu melangkah masuk ke dalam kereta kuda asing itu. Pintu tertutup rapat, dan kereta itu melaju kencang meninggalkan Gideon yang berteriak putus asa di tengah jalan berdebu.
Perang ini bukan lagi tentang takhta, tapi tentang memenangkan kembali kepercayaan yang telah dicuri oleh fitnah yang kejam.
Di dalam kereta yang melaju kencang, suasana mendadak berubah mencekam. Wanita paruh baya yang tadinya bersikap lembut itu menyandarkan punggungnya dengan santai, lalu tawa kecil yang sinis mulai keluar dari bibirnya.
"Bibimu? Kerajaan Selatan?" Wanita itu tertawa semakin keras hingga bahunya terguncang. "Kau benar-benar polos, Nona Emelia. Sangat polos sampai-sampai itu terlihat menyedihkan."
Emelia tersentak, rasa dingin merambat di punggungnya. "A-apa maksud Anda? Anda bilang Anda adik ibuku..."
"Aku adalah orang yang membayar Bibik Lian untuk membisikkan dongeng indah tentang pembunuhan ayahmu," ucap wanita itu sambil mengeluarkan sebuah lencana perak berlambang ular dari balik bajunya—simbol dari musuh bebuyutan keluarga Jasper. "Gideon mungkin kejam, tapi dia tidak sebodoh itu untuk membunuh ayah dari wanita yang dipujanya. Tapi kau? Kau langsung percaya begitu saja tanpa bukti. Kau sendiri yang telah menyerahkan dirimu ke kandang singa."
Emelia mencoba meraih gagang pintu kereta, namun terkunci rapat dari luar. "Buka pintunya! Biarkan aku keluar!"
"Terlambat, sayang. Saat ini, Gideon pasti sedang frustrasi mencarimu, sementara kau akan kami jadikan umpan untuk memancingnya masuk ke wilayah perbatasan di mana pasukan kami sudah menunggu untuk menghabisinya. Terima kasih telah menjadi istri yang 'penurut' bagi rencana kami."
Sementara itu, di jalan berdebu yang tertinggal jauh di belakang, Gideon menghentikan kudanya dengan napas memburu. Ia melihat jejak roda kereta yang mengarah ke wilayah utara—wilayah terlarang.
"Tuan Duke, mereka menuju Lembah Kematian!" teriak Komandan Night Hawks yang baru saja tiba.
Gideon tidak menjawab. Matanya berkilat dengan kemarahan yang meluap-luap, namun otaknya bekerja cepat. Ia tahu ia difitnah, dan ia tahu Emelia dalam bahaya maut. Ia merogoh saku bajunya, mengeluarkan kalung ibu Emelia yang sempat ia amankan.
"Mereka mengira telah menghancurkan kepercayaannya padaku," desis Gideon sambil memacu kembali kudanya dengan kecepatan yang lebih gila. "Tapi mereka lupa satu hal: Aku tidak butuh ijin dari siapa pun, bahkan dari Emelia sendiri, untuk membantai setiap orang yang berani menyentuh miliku."
Gideon menatap lurus ke depan. Fitnah itu memang berhasil memisahkan mereka secara fisik, namun itu justru membangkitkan sisi iblis dalam diri sang Duke yang selama ini ia tekan demi cinta.
Di dalam kereta, Emelia tertunduk lemas, menyadari kebodohannya yang telah termakan amarah sesaat. Namun, di balik tangisnya, tangannya meraba sesuatu di balik lipatan gaunnya—pisau lipat yang sempat dijatuhkan Gerya sebelum ia terjun ke jurang.
Gideon... jika aku berhasil selamat dari kebodohanku ini, aku akan memintamu menjelaskan semuanya, batin Emelia sambil menggenggam erat pisau itu, bersiap untuk melawan balik.
Emelia menghunuskan pisau lipat itu dengan tangan gemetar, ujungnya yang tajam diarahkan tepat ke leher wanita di hadapannya. Matanya yang sembab kini memancarkan keberanian yang lahir dari rasa putus asa.
"Buka pintunya sekarang, atau kita berdua akan mati di kereta ini!" ancam Emelia dengan suara serak.
Bukannya takut, wanita itu justru tertawa terbahak-bahak, sebuah tawa yang terdengar sangat meremehkan. Dengan gerakan santai yang sangat tenang, ia merogoh balik jubah mahalnya dan mengeluarkan sebuah pistol perak kecil berpola rumit.
"Emelia, Emelia bodoh... kau benar-benar tidak tahu siapa yang sedang kau hadapi," ucap wanita itu sambil mengarahkan laras pistol dingin itu tepat ke kening Emelia. "Aku membawa senjata yang jauh lebih mematikan daripada mainan kecilmu itu. Jika kau berani menggerakkan pisau itu sedikit saja untuk membunuhku, satu tarikan pelatuk dariku akan langsung mengakhiri hidupmu. Buang pisau itu sekarang!"
Tangan Emelia membeku. Dinginnya logam pistol di dahinya membuat seluruh keberaniannya seolah menguap.
"Kau pikir Gideon akan datang menyelamatkanmu jika kau sudah menjadi mayat?" bisik wanita itu sinis. "Jatuhkan pisaunya!"
Ting.
Pisau lipat itu terjatuh ke lantai kereta. Emelia menunduk lemas, merasa benar-benar kalah. Namun, saat kepalanya tertunduk, matanya menangkap sesuatu di bawah kursi kereta—sebuah rantai pengait yang tampak agak longgar akibat guncangan kereta yang sangat kencang.
Di luar, suara derap kuda yang sangat banyak mulai terdengar mendekat. Bukan suara kuda kereta, melainkan derap kuda tempur yang dipacu dengan kecepatan penuh.
"Sepertinya suamimu sudah datang lebih cepat dari perkiraanku," ujar wanita itu sambil tersenyum licik, tetap menodongkan pistolnya ke arah Emelia. "Baguslah, pertunjukan utama akan segera dimulai di Lembah Kematian."
Tiba-tiba, sebuah ledakan kecil terdengar dari arah roda kereta. Kereta berguncang hebat, membuat wanita itu kehilangan keseimbangan sejenak. Emelia tahu ini adalah satu-satunya kesempatannya.
Tanpa mempedulikan moncong pistol, Emelia menerjang ke arah pintu kereta yang sedikit goyah akibat guncangan tersebut. Ia lebih memilih melompat keluar ke jalanan berbatu daripada harus menjadi alat untuk membunuh Gideon.
"Berhenti atau kutembak!" teriak wanita itu panik.
Tepat saat Emelia menendang pintu hingga terbuka, sesosok bayangan hitam dengan kuda besar melompat sejajar dengan kereta. Itu Gideon. Wajahnya tertutup debu dan matanya merah karena amarah, namun tangannya terulur lebar ke arah Emelia.
"Emelia! Lompat sekarang!" teriak Gideon menggelegar, mengalahkan suara deru angin dan tembakan pistol yang mulai meletus dari dalam kereta.