Keira Anindya memiliki rencana hidup yang sempurna. Lulus kuliah, kerja, lalu menikah dengan pria dewasa yang matang dan berwibawa. Namun rencana itu hancur lebur saat ayahnya memaksanya menikah dengan anak rekan bisnisnya demi menyelamatkan perusahaan.
Masalahnya calon suaminya adalah Arkan Zayden. Pria seumuran yang kelakuannya minus, tengil, hobi tebar pesona, dan mulutnya setajam silet. Arkan adalah musuh bebuyutan Keira sejak SMA.
"Heh Singa Betina! Jangan geer ya. Gue nikahin lo cuma biar kartu kredit gue gak dibekukan Papa!"
"Siapa juga yang mau nikah sama Buaya Darat kayak lo!"
Pernikahan yang diawali dengan 'perang dunia' dan kontrak konyol. Namun bagaimana jika di balik sikap usil dan tengil Arkan, ternyata pria itu menyimpan rahasia manis? Akankah Keira luluh atau justru darah tingginya makin kumat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aluina_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12
Pagi hari di rumah keluarga Zayden kembali diwarnai dengan drama yang tidak perlu. Kali ini bukan karena sepatu hilang atau baju luntur, melainkan karena sebuah benda kecil berwarna merah menyala yang Arkan pegang dengan bangga.
Keira menatap benda di tangan suaminya dengan tatapan horor. Dia baru saja selesai sarapan dan siap berangkat kerja dengan setelan blazer krem yang elegan. Namun Arkan tampaknya bertekad merusak penampilan istrinya hari ini.
"Arkan. Tolong jelaskan kenapa lo memegang jam tangan anak-anak gambar Power Ranger itu. Jangan bilang itu kado ulang tahun buat gue. Gue belum ulang tahun," kata Keira datar sambil melipat tangan di dada.
Arkan tersenyum lebar, memamerkan deretan gigi putihnya. Dia mendekati Keira lalu meraih pergelangan tangan kiri istrinya.
"Ini bukan jam tangan biasa, Ra. Ini adalah smartwatch edisi khusus anak-anak yang punya fitur pelacak GPS paling akurat. Gue beli ini kemarin di toko mainan waktu beli martabak. Gue mau lo pakai ini setiap saat," jelas Arkan dengan nada serius yang tidak pada tempatnya.
Keira menarik tangannya kasar. Dia mundur dua langkah seolah Arkan membawa virus mematikan.
"Gila lo ya. Gue manajer di kantor desain, Arkan. Masa gue meeting sama klien pakai jam tangan Power Ranger merah? Mau ditaruh di mana harga diri gue? Nanti dikira gue nyolong jam tangan keponakan," tolak Keira mentah-mentah.
"Demi keamanan, Ra. Jam tangan ini punya tombol SOS di sampingnya. Kalau ada orang jahat yang mau nyulik lo, lo tinggal pencet tombol ini dan jamnya bakal bunyi ninu ninu kencang banget. Terus notifikasi bakal langsung masuk ke ponsel gue," bujuk Arkan pantang menyerah.
"Enggak. Titik. Gue lebih milih bawa pentungan satpam daripada pakai itu," Keira berbalik badan hendak mengambil tas kerjanya.
Namun Arkan lebih cepat. Dia menghadang langkah Keira, lalu dengan gerakan secepat kilat dia memasangkan jam tangan plastik itu ke pergelangan tangan Keira.
"Arkan! Lepasin! Sempit tau!" jerit Keira.
"Enggak bisa dilepas kecuali pakai kunci khusus yang gue pegang. Anggap aja ini borgol cinta. Udah, jangan bawel. Pakai aja atau gue anter lo sampai masuk ke ruang kerja lo sambil gue gendong," ancam Arkan.
Keira menatap jam tangan merah norak yang kini melingkar di tangannya yang putih. Kontras sekali dengan blazernya. Dia ingin menangis rasanya. Punya suami protektif itu manis, tapi kalau protektifnya konyol begini malah bikin darah tinggi.
"Oke. Gue pakai. Tapi kalau gue dipecat gara-gara dikira sakit jiwa pakai jam mainan, lo yang tanggung jawab nafkahin gue lahir batin tujuh turunan," sembur Keira kesal.
"Siap, Bos. Tujuh turunan, delapan tanjakan, gue tanggung semua," Arkan mengacak puncak kepala Keira gemas, lalu mencium pipi istrinya sekilas sebelum kabur ke mobil.
Keira menghela napas panjang sambil menatap Power Ranger merah yang seolah sedang mengejeknya.
"Sabar, Keira. Sabar. Orang sabar disayang Tuhan. Orang enggak sabar disayang Arkan. Eh, amit-amit," gumamnya sambil berjalan gontai menuju mobil.
Siang harinya di kantor, Keira berusaha menyembunyikan jam tangannya di balik lengan blazer. Dia sukses melewati rapat pagi tanpa insiden memalukan, meski beberapa kali jam itu berbunyi bip bip nyaring karena baterainya lemah.
Saat jam istirahat makan siang, Siska datang ke meja Keira dengan wajah serius. Dia membawa sebuah amplop cokelat besar.
"Ra, ada paket lagi buat lo. Tadi dititipin di satpam depan. Enggak ada nama pengirimnya lagi. Tapi tulisannya 'Untuk Istri Arkan Zayden'," lapor Siska.
Jantung Keira berdesir. Firasat buruk kembali menghampiri. Dia mengambil amplop itu. Terasa ringan.
"Makasih, Sis. Lo boleh makan siang duluan. Gue mau buka ini sendiri," kata Keira.
Setelah Siska pergi, Keira membuka amplop itu dengan hati-hati. Dia merobek ujungnya. Sebuah foto meluncur keluar dan jatuh ke atas meja.
Mata Keira membelalak. Itu adalah foto USG. Foto ultrasonografi kandungan yang biasa dimiliki ibu hamil. Di pojok kanan atas foto itu tertera nama pasien: Clara Anastasia. Dan tanggal pemeriksaannya adalah dua hari yang lalu.
Darah Keira mendidih. Tangannya gemetar memegang foto hitam putih itu. Jadi benar. Clara benar-benar hamil. Atau setidaknya, Clara ingin Keira percaya bahwa dia hamil.
Di balik foto itu ada tulisan spidol merah:
Sebentar lagi Arkan akan punya pewaris sesungguhnya. Kamu cuma istri pajangan.
Keira meremas foto itu hingga lecek. Rasa sakit menghantam dadanya. Meskipun dia tahu pernikahan ini awalnya cuma kontrak, tetapi belakangan ini dia mulai merasakan sesuatu pada Arkan. Dan melihat bukti ini membuat harapannya hancur.
Namun, otak logis Keira bekerja lebih cepat daripada emosinya. Dia adalah desainer yang teliti. Dia terbiasa melihat detail. Keira mengambil kembali foto yang sudah lecek itu dan meratakannya di meja. Dia menyipitkan mata, memperhatikan nama rumah sakit yang tertera di kop foto.
RS Ibu dan Anak Permata Kasih.
Dan ada nama dokter yang memeriksa. Dr. Bambang Sp.OG.
"Tunggu dulu," gumam Keira. Dia merasa ada yang janggal. Dia segera membuka laptopnya dan mengetik nama dokter tersebut di mesin pencari.
Hasil pencarian muncul. Dr. Bambang Sp.OG memang praktek di RS Permata Kasih. Tapi ada satu artikel berita lama dari tahun lalu yang menyebutkan bahwa dokter tersebut sudah pensiun karena faktor usia.
Keira tersenyum miring. Senyum mengerikan yang menandakan bahwa singa betina dalam dirinya sudah bangun.
"Palsu. Foto ini editan atau foto lama. Clara, lo main-main sama orang yang salah. Gue desainer grafis, gue tau mana gambar tempelan mana asli," desis Keira.
Tanpa pikir panjang, Keira membereskan barang-barangnya. Dia harus ke rumah sakit itu sekarang juga untuk memastikan. Dia ingin bukti konkret untuk menampar wajah Clara dan juga untuk menampar Arkan agar sadar.
"Siska! Gue izin keluar sebentar! Ada urusan negara!" teriak Keira sambil berlari keluar ruangan. Jam tangan Power Ranger-nya berbunyi ninu ninu karena guncangan, tapi Keira masa bodoh.
RS Ibu dan Anak Permata Kasih cukup ramai siang itu. Banyak ibu hamil yang duduk mengantre. Keira berjalan menuju meja resepsionis dengan langkah lebar.
Namun langkahnya terhenti mendadak saat dia melihat sosok yang sangat familiar sedang berdiri di depan apotek rumah sakit. Sosok tinggi tegap dengan topi hitam dan masker yang menutupi separuh wajah. Dia memakai jaket denim yang Keira kenali.
Itu Arkan.
Sedang apa dia di sini?
Keira bersembunyi di balik pilar besar. Dia mengintip. Arkan terlihat sedang berbicara serius dengan seorang apoteker. Arkan menunjuk-nunjuk ponselnya, seolah menanyakan sesuatu. Gestur tubuhnya terlihat frustrasi.
Keira mendekat perlahan dengan mengendap-endap seperti ninja. Dia ingin mendengar apa yang dibicarakan suaminya.
"Mbak, tolonglah. Cek lagi data pasien atas nama Clara Anastasia. Dia beneran tebus vitamin hamil di sini dua hari lalu enggak?" suara Arkan terdengar memohon.
"Maaf Pak, saya tidak bisa memberikan data pasien sembarangan. Itu privasi," tolak apoteker itu tegas.
"Saya suaminya Mbak! Eh, maksud saya, saya calon bapak dari anak yang dia kandung. Eh, bukan. Maksud saya, saya korban fitnahnya. Aduh gimana ya jelasinnya," Arkan gelagapan sendiri saking paniknya.
Keira yang mendengar itu merasa campur aduk. Antara ingin tertawa melihat Arkan yang bodoh, dan ingin menangis karena Arkan ternyata juga sedang menyelidiki hal ini. Berarti Arkan tidak sekongkol dengan Clara. Arkan ada di pihaknya.
Keira memutuskan untuk keluar dari persembunyiannya. Dia berjalan tenang menghampiri Arkan dan menepuk bahu pria itu.
"Mas, kalau mau jadi detektif, topinya kurang miring," sapa Keira datar.
Arkan melonjak kaget sampai topinya hampir jatuh. Dia berbalik dan matanya melotot melihat Keira berdiri di sana dengan tangan berkacak pinggang.
"Keira? Lo... lo ngapain di sini? Lo sakit? Atau lo ngikutin gue?" tanya Arkan panik. Dia berusaha menutupi wajahnya dengan masker, lupa kalau Keira sudah mengenalinya dari jarak satu kilometer pun.
Keira mengeluarkan foto USG lecek dari tasnya dan menempelkannya ke dada Arkan.
"Gue dapat kiriman sampah ini. Jadi gue ke sini mau buang sampah pada tempatnya. Lo sendiri ngapain? Mau beli obat kuat?" sindir Keira.
Arkan mengambil foto itu dan melihatnya. Rahangnya mengeras.
"Wanita ular itu beneran kirim ke lo. Sialan. Gue ke sini mau cari bukti, Ra. Gue yakin dia bohong. Gue enggak pernah nyentuh dia. Sumpah," Arkan menatap Keira dengan tatapan memohon. Dia takut Keira percaya pada foto itu.
"Gue tau," jawab Keira singkat.
"Hah? Lo tau? Lo percaya sama gue?" tanya Arkan tak percaya.
"Dokter Bambang yang ada di foto itu udah pensiun tahun lalu, Arkan. Gue udah cek di Google. Clara itu bego atau gimana sih kalau mau nipu. Riset dulu kek," cibir Keira.
Arkan ternganga. Dia menatap istrinya dengan takjub.
"Wah, istri gue pinter banget. Gue malah enggak kepikiran ngecek dokter. Gue malah sibuk mau nyogok suster buat liat rekam medis," aku Arkan polos.
"Dasar kriminal amatir. Udah yuk, kita pulang. Percuma di sini. Data medis enggak bakal dikasih," ajak Keira.
"Tunggu, Ra. Jangan pulang dulu. Liat arah jam dua belas," bisik Arkan tiba-tiba sambil menarik Keira bersembunyi di balik tanaman hias besar di lobi.
Keira mengikuti arah pandang Arkan. Di pintu masuk rumah sakit, sebuah mobil sedan mewah berhenti. Clara turun dari mobil itu. Dia tidak sendiri. Dia bersama seorang wanita paruh baya yang terlihat kaya raya.
"Itu mamanya Clara. Tante Linda," bisik Arkan.
Clara dan ibunya berjalan masuk. Tapi anehnya, mereka tidak menuju poli kandungan. Mereka justru berjalan menuju lift yang mengarah ke lantai atas. Lantai khusus bedah plastik dan estetika yang memang ada di gedung sayap kanan rumah sakit ini.
"Mereka mau ke klinik kecantikan di lantai empat, Ra. Gue tau karena nyokap gue sering suntik botox di sana," kata Arkan.
Keira dan Arkan saling pandang. Ide jahil muncul di kepala mereka secara bersamaan.
"Kita ikutin?" tawar Keira.
"Wajib. Siapa tau kita dapat bukti kalau dia ke sini bukan buat cek bayi, tapi buat sedot lemak," Arkan menyeringai.
Mereka berdua mengendap-endap masuk ke dalam lift kargo agar tidak ketahuan. Arkan menekan tombol lantai empat.
Sesampainya di lantai empat, suasana lebih sepi dan eksklusif. Arkan dan Keira mengintip dari balik tembok koridor. Mereka melihat Clara dan ibunya masuk ke sebuah ruangan bertuliskan Konsultasi Bedah Estetika.
Pintu ruangan itu tidak tertutup rapat. Arkan memberanikan diri mendekat, menyeret Keira bersamanya. Mereka menempelkan telinga ke celah pintu.
Terdengar suara dokter sedang menjelaskan.
"Jadi Mbak Clara mau ambil paket Tummy Tuck atau pengencangan perut ya? Memang agak buncit sedikit karena pola makan, tapi bisa kita ratakan lagi supaya body goals," kata dokter itu.
"Iya Dok. Saya stres berat badan naik lima kilo gara-gara putus cinta. Tolong dijadwalkan operasinya minggu depan ya. Jangan sampai ada yang tau," suara Clara terdengar jelas.
Keira menahan napas. Dia menatap Arkan. Arkan menatap Keira.
"Buncit karena makan?" bisik Arkan.
"Bukan karena hamil?" bisik Keira balik.
Mereka berdua mundur perlahan menjauhi pintu, lalu berjalan cepat kembali ke lift. Begitu pintu lift tertutup, tawa mereka meledak.
"Hahaha! Gila! Gue dituduh ngehamilin lemak!" Arkan tertawa sampai memegang perutnya. Beban berat di pundaknya serasa diangkat seketika.
"Aduh, perut gue sakit ketawa. Jadi foto USG itu pasti dia ambil dari Google. Dasar drama queen," Keira menyeka air mata yang keluar karena tertawa.
Arkan tiba-tiba berhenti tertawa. Dia menatap Keira dengan intens. Dia meraih tangan Keira dan menggenggamnya erat.
"Makasih ya, Ra. Makasih udah percaya sama gue. Makasih udah jadi detektif yang lebih pinter dari gue," ucap Arkan tulus.
Keira tersenyum malu. "Sama-sama. Tapi jam tangan Power Ranger ini tetep harus dilepas. Gue malu, Arkan. Tadi ninu ninu-nya bunyi pas gue lari."
Arkan tertawa lagi. Dia mengangkat tangan Keira dan mencium punggung tangannya tepat di sebelah jam mainan itu.
"Nanti gue lepas di rumah. Sekarang kita makan dulu yuk. Gue laper. Kita rayakan kemenangan hari ini dengan makan sushi. Gue traktir sepuasnya," ajak Arkan.
"Setuju. Tapi awas kalau lo pesen menu aneh-aneh lagi," ancam Keira.
Mereka keluar dari rumah sakit dengan perasaan lega. Langit Jakarta yang mendung seolah cerah kembali. Meskipun Clara masih menjadi ancaman dengan segala fitnahnya, setidaknya sekarang mereka memegang kartu AS. Clara tidak hamil. Dia hanya buncit. Dan fakta itu cukup untuk membuat Arkan dan Keira merasa di atas angin.
Namun mereka lupa satu hal. Orang yang terdesak dan malu biasanya akan melakukan hal yang lebih nekat. Clara belum selesai bermain. Dan dia tidak akan senang jika tahu rahasia lemaknya sudah terbongkar.