NovelToon NovelToon
Pengantin Dunia Lain

Pengantin Dunia Lain

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horor / Hantu
Popularitas:749
Nilai: 5
Nama Author: BI STORY

Bu Ninda merasakan keanehan dengan istri putranya, Reno yang menikahi asistennya bernama Lilis. Lilis tampak pucat, dingin, dan bikin merinding. Setelah anaknya menikahi gadis misterius itu, mansion mereka yang awalnya hangat berubah menjadi dingin dan mencekam. Siapakah sosok Lilis yang sebenarnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BI STORY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hantu Kerja Di Kantor

​Dua hari kemudian. Lilis sudah berada di lantai 20 kantor Reno. Kantornya modern, penuh kaca, dan sangat ramai.

Reno, dalam setelan jas mahalnya, menarik napas dan membawa Lilis ke area kantor.

Reno berbicara pelan pada Lilis, di lorong,

"Ingat, Lis. Bersikaplah biasa. Kamu asisten baruku."

​Lilis berjalan lurus, langkahnya hampir tidak menghasilkan suara.

"Tentu. Aku sangat biasa."

​Reno memperkenalkan Lilis kepada sekretaris seniornya, Bu Rina, yang sedang sibuk mengatur berkas.

​"Bu Rina, perkenalkan, ini Lilis. Asisten pribadiku yang baru. Lilis, ini Bu Rina sekretaris andalan perusahaan."

​Bu Rina mengehentikan kegiatannya, menjulurkan tangan dengan senyum profesional. Seketika tangannya membeku di udara saat menyentuh tangan Lilis atau lebih tepatnya, menembus sedikit dan dingin.

"Selamat datang, Lilis."

Bu Rina segera menarik tangannya, mengelus telapak tangannya sendiri.

​Lilis menjawab dengan wajahnya datar, tidak berkedip,

"Terima kasih, Bu Rina."

​Bu Rina berusaha tersenyum lagi, tapi wajahnya menunjukkan kebingungan.

"Ya ampun, kamu... dingin sekali ya, Lis. Padahal ruangan kita sudah 24 derajat. Kamu tidak kedinginan? Wajahmu pucat sekali."

​Lilis sedikit memiringkan kepala. Tatapan kosongnya membuat Bu Rina gugup.

"Saya baik-baik saja, Bu Rina. Dingin sudah menjadi bagian dari diri saya."

​Reno cepat menyela,

"Dia... dia memang tidak suka udara panas, Bu Rina! Efek dari trauma! Ya, trauma! Oke, Lis, ikut aku!"

​Reno cepat-cepat menarik Lilis menjauh. Mereka melewati ruang pantry.

Anton, staf IT, sedang menuang kopi panas, tetapi ia terhenti saat melihat Lilis.

​Anton mendekat, dengan tatapan penasaran,

"Pak Reno, ini yang namanya asisten baru? Halo, saya Anton dari IT."

​Lilis hanya menatap Anton. Matanya, yang seharusnya penuh kehidupan, terlihat seperti menatap ke kejauhan.

"Halo, Anton."

​Anton menggaruk tengkuknya, merasa tidak nyaman.

"Mbak Lilis... tatapanmu serem amat ya? Kayak... nggak ada kehidupan di dalamnya."

​Reno mendorong Anton pelan,

"Anton! Jangan kurang ajar! Lilis sedang sakit mata! Sudah, urus saja servermu yang sering down itu!"

​Anton mengangkat bahu, lalu berjalan kembali ke pantry.

"Padahal aku mau nawarin kopi..." ucap Anton.

​Anton mengambil cangkir yang baru diisi kopi panas. Saat Lilis melewatinya, uap panas dari kopi di cangkir Anton tiba-tiba lenyap seketika. Kopi itu berubah menjadi dingin, hampir beku, dalam sekejap. Anton hanya menatap cangkirnya dengan bingung.

​Anton berbisik pelan pada dirinya sendiri,

"Ngeri, gila. Cewek itu bawa kulkas pribadi, apa gimana?"

​Reno membawa Lilis ke kantornya yang mewah. Lilis hanya berdiri di tengah ruangan, memancarkan aura dingin di tengah ruangan CEO yang seharusnya hangat dan powerful.

​Reno berkeringat dingin, meskipun ia ada di dekat Lilis.

"Oke, Lis. Meja kerjamu ada di sana. Besok kita mulai bekerja. Jangan membuatku malu lagi di depan staf, oke?"

​Lilis tersenyum sedikit, senyum yang kali ini lebih ramah, tapi tetap membuat Reno merinding.

"Tentu, Bos. Saya akan menjadi asisten yang sangat... setia."

​Keesokan harinya, Lilis sudah duduk di meja kerjanya, di luar kantor, Reno, Ia tampak sangat rapi dan efisien, meskipun gerakannya seringkali terlalu halus, tidak bersuara.

Udara di sekitarnya terasa beberapa derajat lebih dingin dari bagian kantor lainnya. Beberapa karyawan yang lewat kadang merinding tanpa tahu alasannya.

​Lilis mengetik di keyboard tanpa suara, jari-jarinya menembus tombol sedikit. Layar komputernya menyala dengan sendirinya saat ia mendekat.

​Bu Rina mendekat ke meja Lilis, membawa tumpukan dokumen. Ia melirik Lilis dengan pandangan campur aduk antara kagum dan cemas.

"Lilis, ini beberapa laporan yang harus direkap. Urgent. Kamu bisa mengerjakannya?"

​Lilis menoleh ke Bu Rina, ekspresinya masih datar.

"Tentu, Bu Rina. Saya bisa."

​Lilis mengambil dokumen itu. Bu Rina merasakan sensasi dingin menusuk saat dokumen berpindah tangan. Ia buru-buru menarik tangannya.

Bu Rina menghela napas, berusaha bersikap normal.

"Baiklah. Kalau ada kesulitan, jangan sungkan bertanya. Tapi... kamu yakin tidak mau jaket atau selimut? Kamu terlihat... kedinginan."

​Lilis tersenyum tipis, senyum yang tidak sampai ke mata.

"Tidak perlu, Bu Rina. Saya nyaman."

​Bu Rina bergidik kecil dan kembali ke mejanya. Beberapa menit kemudian, dua karyawan wanita, Wina dan Lita, berjalan melewati meja Lilis. Mereka berbisik-bisik sambil melirik Lilis dengan sinis.

​Wina berbisik pada Lita, cukup keras agar Lilis mendengarnya.

"Lihat deh, anak baru itu. Mukanya kayak mayat hidup. Ngeri banget."

​Lita tertawa kecil,

"Iya, persis! Dingin banget kayak kulkas berjalan. Mungkin dia nggak pernah senyum. Kayaknya dia ini asisten yang bakal cepet dipecat deh."

​Lilis hanya menatap layar komputernya, seolah tidak mendengar. Namun, matanya sedikit menyipit. Udara di sekitar mejanya terasa semakin dingin.

​Reno keluar dari ruang kerjanya, melihat Lilis yang bekerja dengan tenang.

"Lilis, tolong buatkan jadwal rapat dadakan dengan tim marketing jam 2 siang ini."

​Lilis tanpa menoleh, mengetik dengan cepat. Komputer di meja Reno tiba-tiba menampilkan jadwal rapat yang sudah terisi.

"Sudah saya atur, Pak Reno."

​Reno terkejut.

"Lho, kok... sudah? Cepat sekali!

​Lilis melihat Reno dengan tatapan kosongnya.

"Saya efisien, Pak."

​Reno hanya bisa menggelengkan kepala, antara kagum dan sedikit takut. Ia masuk kembali ke kantornya. Wina dan Lita, yang menyaksikan kejadian itu, saling pandang dengan heran.

​Wina berbisik lagi.

"Gila, serem juga dia. Jangan-jangan pakai jampi-jampi."

​Lita dengan mata memicing membalas,

"Paling cuma kebetulan. Atau dia ini penyihir. Tapi mukanya itu lho, bikin merinding. Nanti siang pas jam makan siang, kita ngumpul di toilet yuk. Ada gosip baru tentang dia."

​Jam makan siang tiba. Wina dan Lita masuk ke toilet kantor yang sepi. Mereka berdua berdiri di depan cermin, merapikan riasan sambil bergosip.

​Wina menyemprotkan parfum,

"Jadi gini, aku dengar dari Anton, si Lilis itu pas pagi-pagi, waktu dia lewat, kopi Anton langsung dingin lho! Dingin banget kayak es!"

​Lita mengoleskan lipstik, mata melotot membalas,

"Serius? Wah, gila! Jangan-jangan dia itu…" Lita melirik ke kanan kiri, memastikan tidak ada orang.

"Hantu?"

​Tiba-tiba, lampu toilet mulai berkedip-kedip. Suasana menjadi dingin, jauh lebih dingin dari AC kantor. Pintu salah satu bilik toilet terbuka dan tertutup sendiri dengan suara berderit.

​Wina terkejut, menoleh ke pintu bilik.

"Siapa itu? Kok dingin banget?"

​Lita mulai gugup,

"Jangan-jangan... perasaanku doang ya?"

​Cermin di depan mereka tiba-tiba berembun, dan perlahan, sebuah tulisan muncul di embun itu:

"AKU MENDENGARMU."

​Wina dengan mata membelalak, ia berteriak.

"Lita! Lihat ini!"

​Sebelum Lita sempat melihat, embun itu menghilang. Tapi kemudian, dari bawah pintu bilik toilet yang tadi bergerak, muncul sepasang kaki tanpa tubuh, perlahan-lahan melangkah keluar. Kaki itu melayang, tidak menyentuh lantai.

​Lita berteriak histeris.

"Aaaaaaa! Kaki siapa itu?!"

​Kaki itu melayang mendekat ke arah mereka. Suara tawa dingin, pelan, dan menyeramkan terdengar dari segala arah, seolah-olah memenuhi seluruh ruangan toilet.

​Wina mendorong Lita, mencoba lari.

"Kabur! Ini nggak bener!"

​Saat mereka mencoba lari, pintu toilet tiba-tiba terbanting menutup dengan keras, dan terkunci dari dalam. Lampu padam sepenuhnya, meninggalkan mereka dalam kegelapan total. Suara tawa dingin itu semakin keras, kali ini terdengar sangat dekat.

Lilis dengan suara dingin, seperti berbisik di telinga mereka berdua secara bersamaan.

"Kulkas berjalan, katamu? Mayat hidup? Aku akan pastikan kalian merasakan dingin yang sesungguhnya."

​Wina dan Lita berteriak sekencang-kencangnya di dalam kegelapan, berusaha membuka pintu yang terkunci. Suara tawa Lilis semakin kuat, mengiringi teriakan panik mereka.

​Bersambung

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!