Seorang dokter muda bernama Mika dari dunia modern terseret ke masa lalu — ke sebuah kerajaan Jepang misterius abad ke-14 yang tak tercatat sejarah. Ia diselamatkan oleh Pangeran Akira, pewaris takhta yang berhati beku akibat masa lalu kelam.
Kehadiran Mika membawa perubahan besar: membuka luka lama, membangkitkan cinta yang terlarang, dan membongkar rahasia tentang asal-usul kerajaan dan perjalanan waktu itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon latifa_ yadie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Luka Lama yang Terbuka
Hujan selalu membawa dua hal ke dalam hidupku: ketenangan… dan kenangan yang seharusnya tidak kumiliki.
Aku sudah terbiasa dengan mimpi aneh sejak datang ke dunia ini, tapi belakangan, mimpi-mimpi itu berubah.
Mereka bukan lagi sekadar bayangan kabur.
Mereka mulai terasa nyata — terlalu nyata, seolah aku pernah hidup di masa itu.
Malam itu, aku bermimpi berdiri di balkon istana yang sama ini, tapi semuanya berbeda.
Langitnya merah. Angin membawa bau darah.
Dan di sampingku ada seorang pria — bukan Akira, tapi wajahnya mirip.
Dia memegang tanganku, menatapku dengan mata sedih.
“Mika,” katanya lirih, “kalau waktu berputar lagi, jangan datang ke sini. Dunia ini tak layak untukmu.”
Aku ingin menjawab, tapi suaraku tak keluar.
Lalu cahaya besar menyilaukan, dan semuanya hilang.
Aku terbangun dengan napas tersengal, keringat dingin membasahi punggung.
Dan entah kenapa, air mata mengalir tanpa alasan.
Pagi harinya, aku pergi ke taman belakang untuk menenangkan diri.
Langit masih mendung, tanah masih basah oleh hujan semalam.
Yuna datang membawa teh hangat. “Nona Mika, wajahmu pucat sekali. Kau mimpi buruk?”
Aku mengangguk pelan. “Tapi rasanya lebih dari mimpi. Seolah… aku pernah ada di masa itu.”
Yuna menatapku bingung. “Maksudmu?”
“Aku melihat seseorang yang mirip Akira. Tapi bukan dia. Dan aku—”
Aku berhenti, menggenggam cangkir teh kuat-kuat.
“Dan aku tahu namanya. Padahal aku tak pernah mendengarnya sebelumnya.”
“Nama siapa?” tanya Yuna penasaran.
“Ryou.”
Nama itu terasa asing di lidahku, tapi jantungku berdegup aneh setiap kali mengucapkannya.
Siang harinya, aku menemui Akira di ruang latihan.
Dia sedang berlatih pedang bersama Ren dan Riku.
Gerakannya cepat, presisi, setiap ayunan seperti tarian maut.
Tapi begitu melihatku, dia berhenti dan menghapus keringat di pelipisnya.
“Kau kelihatan lelah,” katanya sambil mendekat.
“Karena aku tidak tidur.”
“Ada yang mengganggu?”
Aku ragu sebentar, lalu berkata, “Aku bermimpi… tentang seseorang yang mirip denganmu.”
Dia menatapku serius. “Mirip?”
“Ya. Tapi bukan kau. Namanya Ryou.”
Akira terdiam beberapa detik, lalu berkata pelan, “Itu nama leluhurku. Kaisar Ryou Hayashida.”
Aku menatapnya tak percaya. “Kaisar pertama?”
Dia mengangguk. “Yang disebut dalam gulungan waktu.”
Darahku seperti berhenti mengalir sesaat.
“Dia memanggilku Mika dalam mimpi itu,” kataku pelan. “Dan dia bilang… jangan datang ke sini.”
Akira mengernyit. “Mungkin itu pesan dari waktu. Atau peringatan.”
“Peringatan tentang apa?”
“Sesuatu yang belum selesai antara masa lalu dan sekarang.”
Dia menatapku tajam. “Mika, mungkin hubungan kita bukan hanya takdir. Mungkin ini pengulangan.”
“Pengulangan?”
“Ya. Dunia berputar, tapi beberapa jiwa terjebak mengulang kesalahan yang sama.”
Aku menelan ludah. “Jadi… kau pikir aku dan leluhurmu—”
“—pernah bertemu,” potongnya cepat. “Dan kau kembali ke sini untuk mengakhirinya.”
Hening.
Aku tidak tahu harus merasa apa — takut, bingung, atau marah.
Tapi jauh di dalam hati, ada sesuatu yang bergema… seperti memori yang berusaha bangkit dari kubur waktu.
Malam itu, istana mendadak gempar.
Salah satu penjaga ditemukan pingsan di dekat kuil waktu, tubuhnya membiru seperti tersambar petir.
Aku dan Akira berlari ke sana.
Kuil itu terasa dingin dan lembab, meski tidak ada hujan.
Begitu kami masuk, simbol spiral di dinding berpendar samar.
“Aku merasakannya lagi,” kataku.
“Apa?”
“Panggilan itu. Seperti waktu sedang bergerak.”
Tiba-tiba, dari arah altar muncul kilatan cahaya biru, dan suara lembut terdengar — suara wanita.
“Kau sudah terlalu jauh, Mika…”
Aku menoleh cepat.
Di sana, di balik tirai putih, Lady Reina berdiri lagi, tapi kali ini wajahnya berubah.
Bukan lembut, tapi penuh kebencian.
“Kenapa kau terus melawan takdir?” katanya tajam.
“Karena aku tidak percaya pada takdir yang menuntut korban,” balasku.
“Korban? Kau pikir waktu peduli siapa yang harus menghilang?”
Dia melangkah maju, cahaya biru dari tubuhnya memantul di dinding. “Aku sudah mati karena cinta pada Hayashida. Kau ingin mengulang kesalahanku?”
Aku menggertakkan gigi. “Aku bukan kau.”
“Tapi kau juga bukan manusia biasa,” balasnya. “Kau adalah bayangan dari aku — bagian yang tak sempat menutup gerbang waktu.”
Aku tertegun. “Apa maksudmu?”
“Ketika aku mati tujuh tahun lalu, aku memohon agar waktu memutar ulang. Tapi waktu tak bisa memanggil yang sudah mati… jadi ia memanggil pantulanku dari masa depan.”
“Pantulan…?”
“Ya. Kau, Mika. Kau adalah aku — versi lain yang dikirim untuk memperbaiki kesalahan ini.”
Dunia terasa berputar.
“Tidak… itu tidak mungkin,” bisikku.
Reina tersenyum miring. “Lihat tanda di tanganmu. Lihat mata Akira saat dia menatapmu. Dia tahu, di dalam dirinya, bahwa kau bukan orang asing.”
Aku memundurkan langkah, tapi cahaya di tanganku mulai berdenyut hebat.
Akira menatap kami berdua, bingung dan marah. “Apa yang kau lakukan padanya!?”
Reina menatapnya sedih. “Aku tidak melakukan apa pun. Waktu hanya mengembalikan apa yang miliknya.”
Lalu, cahaya besar meledak dari tubuh Reina, membuatku dan Akira terdorong ke belakang.
Ketika aku membuka mata, dia sudah menghilang — hanya menyisakan kilau samar dan aroma bunga putih.
Setelah kejadian itu, Akira memerintahkan agar kuil waktu ditutup.
Tidak ada yang boleh masuk kecuali dirinya.
Tapi setiap kali aku melewati lorong dekat sana, aku mendengar bisikan.
“Akhiri siklusnya, Mika… sebelum dunia berulang lagi…”
Aku mulai takut tidur karena mimpi-mimpi itu makin nyata.
Kadang aku melihat istana dalam bentuk lain — rusak, terbakar, penuh air.
Kadang aku melihat Akira, tapi wajahnya tua dan penuh luka.
Dan kadang, aku melihat diriku sendiri… memegang pisau di depan gerbang waktu.
Suatu malam, Akira datang ke kamarku.
Wajahnya pucat, tapi matanya hangat.
“Kau tidak tidur lagi, ya?” katanya sambil duduk di pinggir ranjang.
“Aku takut kalau aku tidur, aku tidak akan bangun di waktu yang sama.”
Dia tersenyum kecil. “Aku juga takut.”
“Takut apa?”
“Takut kehilanganmu sebelum sempat mengatakan semuanya.”
Aku menatapnya. “Mengatakan apa?”
Dia mendekat pelan. “Bahwa apapun yang terjadi nanti, aku tidak menyesal bertemu denganmu.”
Aku menggeleng pelan. “Jangan bicara seolah kita akan berpisah.”
“Kadang, waktu tidak memberi pilihan.”
Dia menyentuh pipiku, lembut tapi bergetar. “Kalau benar kau adalah pantulan dari Reina, maka artinya kau datang untuk menutup luka itu. Tapi aku…”
Aku menatapnya dalam. “Kau apa?”
“Aku tidak bisa kehilanganmu dua kali.”
Air mata menetes tanpa bisa kutahan. “Kau tidak akan kehilanganku.”
Dia tersenyum samar, tapi tatapannya kosong. “Aku harap begitu.”
Keesokan paginya, istana dipenuhi kabar buruk.
Kaisar jatuh sakit mendadak, dan Permaisuri melarang siapa pun menjenguknya kecuali Aiko.
Riku datang ke ruanganku dengan wajah cemas.
“Nona Mika, aku rasa ini bukan penyakit biasa. Tubuh Kaisar membiru seperti penjaga kuil kemarin.”
“Apa?!”
“Dan Permaisuri bilang, kalau kau mendekat, akan dianggap mencemari darah kerajaan.”
Aku langsung berdiri. “Itu jebakan. Dia tahu aku bisa menyembuhkannya.”
Riku menatapku gelisah. “Kalau kau ke sana, kau bisa dianggap penyihir. Tapi kalau tidak, Kaisar bisa mati.”
Aku menatap langit yang mendung dari jendela.
“Kalau waktu memang ingin menagih harga,” kataku pelan, “maka biarlah aku yang membayar.”
Aku mengambil jubahku dan berjalan keluar, meski Riku berusaha menghentikan.
Setiap langkah terasa berat.
Tapi dalam hatiku hanya ada satu hal:
Aku tidak akan membiarkan luka lama menghancurkan segalanya lagi —
bukan luka Reina, bukan kutukan waktu, dan bukan cinta yang dibilang mustahil.
Dan di luar, petir menyambar langit,
menandai awal bab baru —
saat luka masa lalu akhirnya terbuka…
dan waktuku sendiri mulai menipis.