Hujan Di Istana Akira

Hujan Di Istana Akira

1. Hujan yang Membuka Gerbang waktu

Aku selalu benci hujan.

Dari kecil, setiap kali hujan turun, selalu saja ada hal aneh yang terjadi — listrik padam, aku jatuh, atau setidaknya seseorang berakhir di rumah sakit. Ironisnya, aku malah tumbuh jadi dokter. Dan malam itu, saat dunia basah dan kacau oleh badai besar, aku sadar: kebencianku pada hujan mungkin sudah jadi kutukan pribadi.

Aku sedang jaga malam di IGD rumah sakit tempatku kerja, sendirian di ruang dokter jaga yang hanya diterangi lampu neon putih. Di luar, petir menyambar seperti naga marah.

“Ah, semoga listrik gak mati…” gumamku sambil menatap layar monitor yang menampilkan data pasien.

Tapi tentu saja, alam semesta gak peduli dengan doaku.

BRAGH!

Listrik padam seketika. Lampu mati, komputer mati, dan hanya cahaya petir dari luar jendela yang menyilaukan ruangan. Suara hujan menabrak kaca jendela seperti ribuan anak panah. Aku berdiri, mau keluar cari genset cadangan, tapi saat langkahku baru dua, kilat menyambar lagi — tepat di luar jendela.

Dan entah bagaimana, kaca itu… pecah.

Aku bahkan belum sempat teriak. Angin besar menyapu ruangan, menyeretku bersama pecahan kaca dan dingin yang menembus kulit. Aku merasa seperti terhisap ke dalam pusaran air — semuanya gelap, berisik, dan dingin seperti mati rasa.

Aku berusaha membuka mata, tapi dunia berubah.

Langit… merah? Tidak, itu senja. Tapi kenapa aku bisa mencium bau tanah, rumput, dan darah?

Tubuhku terbaring di tanah basah. Hujan turun deras. Di sekitarku, suara pedang beradu, teriakan, dan suara langkah berat memenuhi udara.

“Aku… di mana ini?” suaraku bergetar, nyaris tenggelam oleh hujan.

Lalu sesuatu berkilat di sisi kananku — pedang. Seseorang dalam baju zirah hitam berlari ke arahku dengan teriakan keras, mata penuh amarah. Aku kaku. Aku gak punya waktu buat berpikir. Aku cuma seorang dokter, bukan ninja, apalagi pejuang.

Tepat sebelum pedang itu menembus tubuhku, seseorang menarikku keras dari belakang.

Aku jatuh ke tanah, menabrak dada seseorang yang keras seperti baja.

“Apa kau ingin mati di sini, wanita bodoh?” suara itu dalam, tegas, dan dingin.

Aku menatap ke atas. Di tengah hujan deras, aku melihat wajah seseorang — seorang pria muda berwajah pucat, mata abu-abu dingin, dan rambut hitam panjang yang sebagian terikat dengan pita merah.

Dia mengenakan jubah perang dengan lambang burung bangau perak di dada.

Tanpa sadar aku terdiam.

Dia tampak seperti keluar dari film samurai, tapi aura di sekelilingnya… terlalu nyata, terlalu berbahaya.

“Siapa kau? Dari mana datangnya?” tanyanya tajam.

“A-aku…”

Suara petir memotong kalimatku. Pria itu menatapku seolah menilai apakah aku musuh atau orang gila.

“Jangan bilang kau mata-mata dari utara.”

“Ha? Mata-mata apa? Aku cuma—”

Belum sempat aku menjelaskan, seseorang berteriak di belakang kami, “Yang Mulia, mundur! Panah berapi datang!”

Pria itu mendorongku ke tanah dan berbalik cepat. Panah menyala melesat, dan dengan satu gerakan elegan, ia menebasnya di udara. Percikan api menari di sekitar kami sebelum padam tersapu hujan.

Aku membeku.

Pria ini — siapa pun dia — jelas bukan orang biasa.

“Bangun. Kalau kau tetap duduk di situ, aku tinggalkan.”

Nada suaranya seperti campuran kesal dan perintah. Aku memaksakan diri berdiri walau lututku gemetar.

“Aku gak tahu di mana aku berada…” kataku pelan.

Dia menatapku, lama.

“Kau bahkan bicara aneh. Tapi matamu tidak bohong.”

“Mataku?”

“Tak ada rasa takut di sana. Kau bukan dari dunia ini, ya?”

Aku terdiam.

Apa maksudnya?

Sebelum sempat kutanya, dia menarik pergelangan tanganku dan membawaku berlari melewati reruntuhan, ladang basah, dan jalan tanah yang becek. Aku tak tahu mau ke mana, tapi langkahnya pasti dan cepat.

Kami tiba di depan gerbang kayu besar yang dijaga beberapa prajurit. Begitu mereka melihat pria itu, mereka langsung berlutut.

“Yang Mulia, pasukan pemberontak sudah mundur ke hutan!”

“Perkuat penjagaan. Dan siapkan ruang perawatan,” perintahnya tegas.

Aku mendengarnya jelas: Yang Mulia?

Aku menatapnya kaget. “Jadi kau… pangeran?”

Dia tidak menjawab. Hanya menoleh sekilas, mata abu-abunya menembusku seperti hujan dingin.

“Nama?”

“M-Mika.”

“Mika…” ia mengulang pelan, seolah mencicipi bunyi asing itu. “Nama aneh. Tapi mungkin cocok dengan wajahmu yang juga aneh.”

Aku mendengus. “Terima kasih, kayaknya.”

Mulutnya terangkat sedikit, tapi hanya sepersekian detik sebelum kembali datar.

“Mulai sekarang, kau ikut aku. Aku tidak tahu dari mana kau datang, tapi kau akan menjawab banyak hal nanti.”

Kami berjalan masuk melewati gerbang itu. Di dalamnya — sebuah istana kayu besar dengan lentera bergoyang diterpa hujan. Aroma tanah basah bercampur wangi dupa. Suara gemericik air hujan menetes dari atap jerami.

Aku menatap sekeliling, setengah kagum, setengah takut.

Ini bukan rumah sakit. Bukan Jepang abad modern. Tapi… Jepang zaman samurai?

Kami masuk ke aula besar. Lantai kayunya mengilap, dan di ujung ruangan, berdiri beberapa orang berpakaian tradisional, menatapku penuh curiga.

Salah satunya, seorang pria tua berjubah putih, membungkuk pada pangeran.

“Yang Mulia Akira, apakah wanita ini tawanan?”

Akira. Jadi itu namanya.

“Belum tentu,” jawabnya singkat. “Dia muncul di tengah medan perang, tanpa senjata, tanpa identitas. Aku ingin kau periksa.”

Pria tua itu menatapku dari atas sampai bawah.

“Kau… bukan dari sini, bukan?”

Aku menelan ludah. “Ya, bisa dibilang begitu.”

“Dari desa mana?”

“Uh… Tokyo.”

Suara tawa kecil terdengar di belakang. Seorang prajurit berbisik, “Tokyo? Desa macam apa itu?”

Aku menutup wajahku. Bagus, Mika. Sekarang kau terdengar makin gila.

Pria tua itu mengelus janggutnya. “Namamu Mika, ya? Aku Aiko, tabib istana. Aku akan memeriksa lukamu.”

“Tabib?” aku tersenyum lega. “Oh, jadi kau juga dokter.”

Dia mengerutkan alis. “Dokter? Apa itu?”

“Ah… lupa. Beda istilah.”

Aku mengikuti Aiko ke ruang kecil di sisi istana. Ia memeriksa luka di lenganku.

“Lukamu parah, tapi bukan luka perang. Kau seperti… jatuh dari langit.”

Aku tertawa gugup. “Ya, bisa dibilang begitu.”

Dia berhenti, menatapku. “Aku tidak bercanda.”

Aku menatap cermin kecil di ruangan itu, dan untuk pertama kalinya kulihat wajahku sendiri — masih sama, tapi ada goresan kecil dan rambutku kotor penuh lumpur. Di belakangku, bayangan Akira muncul di pintu, berdiri diam, menatapku lewat pantulan cermin.

“Kau tidak tampak seperti mata-mata,” katanya datar.

“Aku sudah bilang, aku bukan.”

“Lalu apa kau?”

Aku terdiam. Bagaimana aku bisa menjelaskan kalau aku dokter dari masa depan yang tersedot badai waktu?

“Boleh aku jujur?”

“Coba saja.”

“Aku gak tahu aku di mana. Yang aku ingat, aku sedang di rumah sakit, ada petir besar, lalu tiba-tiba aku di sini.”

“Rumah sakit?”

“Tempat menyembuhkan orang.”

Ia menatapku lama, lalu menghela napas. “Aneh. Tapi entah kenapa aku percaya.”

Aku menatap matanya.

Untuk sesaat, aku melihat sesuatu di sana — bukan dingin, tapi luka yang sangat dalam.

“Kenapa kau memandangku seperti itu?” tanyanya.

“Entah. Matamu seperti… menyimpan badai.”

Dia terdiam sejenak. “Kau benar-benar aneh.”

Aiko masuk, memecah keheningan. “Yang Mulia, aku sudah menyiapkan kamar untuk wanita ini.”

“Baik. Pastikan tidak ada yang mengganggunya. Dan jangan biarkan dia keluar dari istana.”

Aku memprotes, “Hei, kenapa aku dikurung?”

“Karena aku belum tahu siapa kau,” katanya tanpa menoleh.

“Kalau aku mau kabur?”

Dia berhenti di ambang pintu, berbalik pelan. “Maka aku akan mencarimu. Dan percayalah, aku selalu menemukan apa yang kucari.”

Suara hujan di luar semakin deras.

Aku duduk di ranjang kayu yang disiapkan Aiko. Lampu minyak di pojok ruangan berkelip, menari bersama bayangan dinding. Semuanya terasa seperti mimpi buruk yang terlalu nyata.

Aku mencoba menenangkan diri. Mungkin ini cuma ilusi, efek syok karena kelelahan. Tapi udara di sini terlalu nyata, begitu juga rasa sakit di lututku.

Aku memejamkan mata.

“Hujan…” bisikku pelan.

Suara itu menenangkan dan menakutkan di saat yang sama.

Beberapa menit kemudian, pintu kamar berderit. Aku pikir Aiko kembali, tapi ternyata Akira.

Dia berdiri di sana, menatapku dengan wajah tanpa ekspresi.

“Aku ingin tahu sesuatu,” katanya.

“Apa?”

“Hujan tidak membuatmu takut?”

Aku menggeleng. “Tidak. Kenapa?”

“Karena aku benci hujan.”

“Kenapa?”

“Karena setiap kali hujan turun… seseorang mati.”

Suara itu dingin, tapi juga sedih.

Aku tidak tahu harus bilang apa, jadi aku hanya diam.

Dia berjalan pelan ke jendela, menatap air yang menetes di kaca.

“Kau datang bersama hujan. Mungkin itu pertanda buruk,” katanya lirih.

“Atau mungkin… pertanda baik?”

Dia menatapku sebentar, lalu berbalik. “Kita lihat saja nanti, Mika dari Tokyo.”

Begitu dia pergi, aku menatap langit lewat celah jendela. Hujan masih turun tanpa henti, tapi entah kenapa… aku merasa nyaman.

Aku tidak tahu kenapa atau bagaimana aku bisa ke dunia ini, tapi satu hal pasti:

Hujan ini bukan sekadar cuaca. Ini adalah awal dari sesuatu yang besar.

Sesuatu yang akan mengubah hidupku — dan mungkin, seluruh kerajaan ini.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!