Mata elang Layla mengamati pria yang akan menjadi suaminya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Tindikan di telinga, tato di lengan, dan aura berbahaya yang terpancar, adalah definisi seorang badboy. Layla mendesah dalam hati. Menikahi pria ini sepertinya akan menjadi misi yang sangat sulit sepanjang karir Layla menjadi agen mata-mata.
Tapi untuk menemukan batu permata yang sangat langka dan telah lama mereka cari, Layla butuh akses untuk memasuki keluarga Bagaskara. Dan satu-satunya cara adalah melalui pernikahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alisha Chanel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Waktu selama 2 jam, memang terasa tidak akan cukup untuk membicarakan semua cerita tentang ibu Silvi dan pak Hendra semasa muda dulu. Layla dan pak Hendra yang semula masih merasa canggung, mulai akrab berkat obrolan tersebut.
"Aku rasa hubungan pak Hendra dan ibuku cukup dekat, tapi kenapa ibu lebih memilih menikah dengan papaku daripada anda?" cicit Layla. Dilihat dari sudut manapun, pak Hendra jauh lebih baik daripada papa Indra. Layla tak habis pikir.
"Mungkin aku dan ibumu memang tidak berjodoh Layla. Lagipula kalau ibu dan papamu tidak menikah, kamu juga tidak akan ada di dunia ini." balas pak Hendra dengan senyumnya yang dipaksakan.
"Iya juga ya." Layla tertawa sumbang. Yang diucapkan pak Hendra ada benarnya juga.
"Astaga! Sudah jam segini, karena terlalu asik membicarakan tentang mendiang ibumu, aku sampai lupa waktu. Maaf Layla, tapi aku harus pergi karena sudah ada janji." lanjut pria paruh baya itu seraya menatap arloji mewah yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Ya, tidak papa pak Hendra. Aku harap bapak tidak akan kapok mengobrol denganku." gurau Layla.
"Tentu saja tidak nak. Setiap melihatmu, aku merasa seperti melihat Silvi, rasanya seperti nostalgia." ucap pak Hendra dengan arti tatapan yang sulit untuk diartikan.
"Aku akan mengantar anda sampai depan." Layla menawarkan diri.
"Tidak usah nak. Aku bisa sendiri, kau lanjutkan saja pekerjaanmu." Namun Hendra menolaknya dengan halus. Hendra tahu, sebagai seorang CEO kesibukan Layla sangatlah banyak, Hendra tidak mau lebih lama lagi merepotkan Layla.
Setelah berbasa-basi sebentar, Hendra akhirnya pergi meninggalkan ruangan Layla.
***
Setelah kepergian pak Hendra, ruangan yang semula terasa ramai itu kini kembali berubah menjadi sepi. Berbanding terbalik dengan pikiran Layla yang selalu ramai karena memikirkan banyak hal.
"Sepertinya pak Hendra benar-benar mencintai ibuku, buktinya dia sangat baik padaku. Andai saja ayah kandungku pak Hendra dan bukannya papa Indra." gumam Layla seraya meraih amplop putih yang Pak Hendra tinggalkan di mejanya. Kemudian Layla membuka amplop tersebut dengan tangan yang sedikit bergetar. Di dalamnya adalah surat pernyataan pemindahan 5% saham Budiman Crop milik pak Hendra, menjadi atas nama Layla.
“Saham yang aku miliki ditambah saham pemberian dari pak Hendra jumlahnya jadi 25%, masih kalah jauh dengan saham 35 % yang kini dimiliki papa Indra.” desis Layla, netranya memandang kaca jendela yang memantulkan wajahnya sendiri. Senyum puas melintasi bibirnya, tapi segera berganti dengan tatapan yang penuh ambisi.
"Tapi tidak papa, aku pasti bisa merebut saham 35% itu dari tangan papa walau apapun caranya.” sumpah Layla pada dirinya sendiri. Layla semakin mengeratkan genggamannya pada amplop pemberian pak Indra, seolah Layla tidak akan membiarkan seorangpun merebut amplop itu darinya.
"Kring! Kring!"
Suara dering telpon menyadarkan Layla dari lamunannya. Layla mengambil ponsel yang ia letakan di atas meja. Senyum Layla langsung mengembang ketika melihat nama yang muncul di layar ponsel tersebut adalah nama Adrian. Sang suami tercinta.
“Hai, sayang. Ada apa?” tanya Layla dengan nada yang lembut setelah menekan pin hijau.
“Perutku laper banget nih. Mau makan siang bareng gak? Aku udah nyari tempat yang bagus loh.” Balas Adrian dari seberang sana.
Layla menyentuh perutnya, ternyata dia juga sudah lapar karena saat ini sudah masuk jam makan siang. “Mau...di mana?” seru Layla antusias.
“Di Hotel Bintang 5 yang ada di Jalan Merdeka. Kamu tahu kan? Ada restoran di situ yang aku suka banget dari dulu. Kita ketemuan di sana ya, atau kamu mau aku jemput?" tanya Adrian.
“Gak usah, aku bisa berangkat sendiri. Nanti kita ketemu di sana aja ya.” balas Layla.
Dengan hati berbunga-bunga Layla menutup telepon dari Adrian, kemudian mengambil tas yang ia letakan di atas meja, dan mulai melangkahkan kakinya menuju pintu keluar. Layla sudah tidak sabar untuk bertemu Adrian.
***
Mobil yang dikendarai Layla berhenti tepat di depan pintu masuk Hotel Bintang 5. Seorang pelayan menyambut kedatangan Layla dengan ramah, kemudin Layla menyerahkan kunci mobilnya pada pelayan tersebut untuk diparkirkan di tempat yang seharusnya.
Layla melihat jam di layar ponselnya, baru 10 menit berlalu sejak ia mengakhiri teleponnya dengan Adrian, sudah pasti pria itu belum tiba.
Dengan langkah penuh percaya diri seperti biasanya, wanita cantik itu mulai melangkahkan kaki jenjangnya menuju lobi hotel yang megah. Cahaya lampu kristal menyinari lantai marmer yang mengkilap, membuat semua yang ada di sana jadi terlihat lebih mewah.
Namun perhatian Layla tidak tertuju pada kemewahan lobi hotel tersebut. Netra tajamnya justru menangkap sosok seorang wanita yang sangat Layla kenal.
"Nadin? Apa yang sedang dia lakukan di tempat seperti ini?" gumam Layla dengan dahi yang mengkerut.
Nadin jalan berdampingan dengan seorang pria yang usianya terlihat sudah mendekati 40an, jauh lebih tua dari dirinya dan juga Layla. Nadin dan pria itu terlihat mesra berjalan sembari bergandengan tangan, mereka berdua asik membicarakan sesuatu hingga tidak menyadari keberadaan Layla yang sedari tadi memperhatikan setiap gerak-gerik mereka.
Layla bergerak perlahan, ingin menyapa, tapi suara yang keluar dari mulut pria itu membuatnya berhenti.
“Permainanmu sangat memuaskan, sayang. Besok mas akan beliin ponsel keluaran terbaru yang kamu mau itu sebagai hadiah karena sudah memuaskan mas di atas ranjang.” Kata pria itu dengan nada yang lembut tapi jelas terdengar hingga ke tempat Layla berdiri.
Layla terkejut. Matanya membelalak menatap ke arah Nadin, yang malah terlihat senang.
Nadin tersenyum lebar, tanpa ragu ia memeluk pinggang pria itu dan menempelkan wajahnya ke dada sang pria, semua dilakukan di tengah lobi yang ramai orang.
“Terima kasih mas. Kamu yang terbaik buat aku.” ucap Nadin dengan nada manja.
Layla hanya bisa menggelengkan kepalanya. Bagaimana bisa adik tirinya yang selama ini menjadi kebanggaan keluarga dan selalu terlihat polos di rumah, ternyata bisa berkelakuan begitu liar di luar rumah.
"Layla kau sudah datang sayang? Kenapa berdiri di sini? Kenapa tidak langsung masuk ke dalam restoran?" tanya Adrian yang entah sejak kapan berdiri di samping Layla.
Layla tersenyum melihat Adrian yang datang dengan seikat bunga mawar di tangannya. Rasa terkejutnya akan kelakuan Nadin, Layla singkirkan untuk sejenak.
“Aku sengaja menunggumu di sini Adrian, supaya kita bisa masuk bersama." Layla mengulurkan tangannya ke arah Adrian. Adrian meraih tangan Layla kemudian berkata. “Ayo, kita langsung masuk ke restoran. Aku udah pesan makanan favoritmu di sana.” ajak Adrian.
Layla mengangguk, Netranya tanpa sengaja menatap ke arah tadi Nadin berada. Tapi Nadin dan pria itu sudah tidak ada di sana. Layla menghela nafas perlahan. Mungkin nanti dia akan bertanya langsung pada Nadin tentang apa yang sebenarnya terjadi. Tapi sekarang, Layla ingin menikmati waktunya bersama sang suami tercinta.
Bersambung...