Indira pikir dia satu-satunya. Tapi ternyata, dia hanya salah satunya.
Bagi Indira, Rangga adalah segalanya. Sikap lembutnya, perhatiannya, dan pengertiannya, membuat Indira luluh hingga mau melakukan apa saja untuk Rangga.
Bahkan, Indira secara diam-diam membantu perusahaan Rangga yang hampir bangkrut kembali berjaya di udara.
Tapi sayangnya, air susu dibalas dengan air tuba. Rangga diam-diam malah menikahi cinta pertamanya.
Indira sakit hati. Dia tidak menerima pengkhianatan ini. Indira akan membalasnya satu persatu. Akan dia buat Rangga menyesal. Karena Indira putri Zamora, bukan wanita biasa yang bisa dia permainkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam yang Berbeda
Restoran Jepang itu terletak di lantai 45 sebuah gedung pencakar langit. Indira duduk di meja sudut, tempat favoritnya yang menghadap langsung ke pemandangan kota. Ia mengenakan dress hitam simpel yang elegan, rambutnya tergerai lurus, senyum tipis menghiasi wajahnya.
Rani duduk di hadapannya, juga berpakaian rapi, blazer abu-abu dengan celana hitam. Di antara mereka, meja sudah dipenuhi hidangan sashimi, sushi, wagyu beef yang masih mengepulkan asap, dan sake yang disajikan dalam tokkuri keramik cantik.
"Ini terlalu mewah, Dira," ucap Rani sambil menatap hidangan dengan mata berbinar. "Kamu yakin mau traktir semua ini?"
"Sangat yakin," jawab Indira sambil menuangkan sake ke dalam ochoko kecil Rani, lalu miliknya sendiri. "Hari ini adalah hari istimewa. Kita harus merayakannya dengan layak."
Rani tersenyum. "Jadi... ini tentang Zamora Company dan Pradipta Medika?"
"Tepat sekali," Indira mengangkat ochoko-nya. "Hari ini, secara resmi, aku membatalkan proyek kerjasama senilai 500 miliar rupiah dengan perusahaan Rangga."
Rani hampir tersedak sake-nya. "500 MILIAR? Dira, kamu serius?"
"Sangat serius," Indira menyeruput sake-nya dengan tenang, merasakan kehangatan yang menyebar di dadanya. "Proyek pembangunan jaringan klinik di lima kota besar. Kontrak terbesar yang pernah didapat Pradipta Medika. Dan sekarang... hilang."
Rani menatap sahabatnya dengan campuran kekaguman dan sedikit ngeri. "Dira, aku tahu kamu marah. Aku tahu kamu ingin balas dendam. Tapi ini... akan menghancurkan perusahaan mereka."
"Aku tahu," jawab Indira datar. Tidak ada penyesalan di wajahnya. "Mereka sudah keluarkan dana persiapan hampir 50 miliar. Pembatalan mendadak ini akan membuat mereka merugi besar. Sangat besar."
"Dan kamu... tidak merasa bersalah?"
Indira meletakkan ochoko-nya, menatap langsung ke mata Rani. "Ran, aku merasa bersalah. Bersalah karena tidak cukup menarik. Bersalah karena tidak bisa membuat suamiku bahagia. Bersalah karena tidak cukup untuk membuatnya setia. Aku sudah habiskan kuota rasa bersalahku untuk hal yang bahkan bukan salahku."
Suaranya tenang tapi penuh dengan emosi yang terpendam.
"Sekarang giliran mereka yang merasakan apa artinya kehilangan," lanjut Indira. "Rangga kehilangan proyek yang akan membuat perusahaannya naik kelas. Sama seperti aku kehilangan kepercayaan, cinta, dan harga diri yang seharusnya jadi pondasiku."
Rani diam sejenak, lalu mengangguk pelan. "Kamu benar. Maafkan aku kalau aku terdengar menghakimi. Aku hanya... khawatir padamu. Aku takut kamu terlalu jauh dan akhirnya terluka lagi."
"Aku tidak akan terluka lagi," ucap Indira dengan mantap. "Karena sekarang aku yang memegang kendali. Aku yang menentukan permainan. Dan Rangga bahkan tidak tahu siapa lawannya."
Rani tersenyum penuh kebanggaan. "Dia masih belum tahu kalau kamu pemilik Zamora Company?"
"Tidak ada yang tahu," jawab Indira. "Selain Pak Lingga dan kamu. Identitas pemilik Zamora Company selalu dirahasiakan. Papa ku membangun sistem seperti itu untuk melindungi keluarga dari eksposur publik. Dan sekarang... privasi itu jadi senjata terbaikku."
"Genius," gumam Rani sambil mengambil sepotong sashimi. "Jadi Rangga pikir siapa yang batalkan proyeknya?"
"Dia tidak tahu," Indira tersenyum tipis. "Dan itu yang membuatnya frustasi. Dia tidak punya target untuk disalahkan. Dia tidak punya siapa-siapa untuk dimintai tolong. Dia hanya bisa pasrah menerima keputusan yang datang dari 'pemilik misterius' yang bahkan tidak mau bertemu dengannya."
Rani tertawa yang terdengar jahat tapi puas. "Astaga, Dira. Kamu kejam sekali. Tapi aku suka."
"Ini baru langkah pertama, Ran," Indira melanjutkan sambil memotong wagyu dengan elegan. "Masih banyak yang akan aku lakukan. Perlahan-lahan. Metodis. Aku akan membuat Rangga kehilangan segalanya. Sampai dia benar-benar merasakan apa yang aku rasakan."
"Dan Ayunda?"
Indira berhenti sejenak, memikirkan pertanyaan itu. "Ayunda... dia sudah mendapat hukumannya sendiri. Dia menikahi pria yang akan memperlakukannya persis seperti dia memperlakukan aku. Belum seminggu menikah, dia sudah ditinggal sendirian di hari kedua honeymoon. Aku tidak perlu lakukan apapun, Rangga akan menghancurkan pernikahan mereka sendiri."
"Karma memang nyata," gumam Rani sambil menuangkan sake lagi.
Mereka melanjutkan makan dalam suasana yang lebih santai. Sesekali tertawa, berbagi cerita, merencanakan langkah-langkah selanjutnya. Ini adalah malam kemenangan, malam di mana Indira akhirnya merasakan kekuatan di tangannya sendiri.
Sementara itu, di gedung Pradipta Medika yang sudah gelap dan sepi, hanya satu ruangan yang masih menyala terang, ruangan Rangga di lantai lima.
Rangga duduk di kursi kebesaran ayahnya, kursi yang seharusnya membuatnya merasa berkuasa tapi sekarang hanya terasa seperti beban. Meja kerjanya berantakan, dokumen berserakan, laptop terbuka dengan puluhan tab browser, cangkir kopi yang sudah dingin, dan ponsel yang terus bergetar dengan notifikasi yang ia abaikan.
Matanya merah, rambutnya berantakan karena terlalu sering ia tarik frustasi. Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam, tapi Rangga tidak berencana pulang. Tidak sebelum ia menemukan jawaban.
Di layar laptopnya, ia membuka tab demi tab tentang Zamora Company.
"Zamora Company - Profil Perusahaan: Perusahaan properti dan investasi yang didirikan tahun 1985 oleh almarhum Abraham Zamora. Saat ini dikelola oleh CEO Lingga Aditama. Pemilik sebenarnya tidak diketahui publik..."
Rangga mengklik link lain.
"Siapa Pemilik Sebenarnya Zamora Company? Misteri yang Bertahan Puluhan Tahun..."
Artikel demi artikel. Forum bisnis. LinkedIn. Bahkan gossip blog. Semua mengatakan hal yang sama identitas pemilik Zamora Company adalah misteri. Ada spekulasi bahwa keluarga Zamora masih memegang saham, tapi tidak ada konfirmasi. Tidak ada foto. Tidak ada nama.
"Sial!" Rangga membanting tangannya ke meja, membuat cangkir kopi tumpah. Ia tidak peduli.
Bagaimana mungkin perusahaan sebesar itu bisa menjaga privasi sedemikian ketat? Di era digital ini, di mana semua informasi bisa diakses dengan sekali klik, bagaimana seseorang bisa sepenuhnya tersembunyi?
Ponselnya bergetar lagi. Rangga melirik layar, Ayunda. Untuk yang kesepuluh kalinya dalam sejam terakhir.
Ia mengabaikan panggilan. Tidak sekarang. Ia tidak punya energi untuk menghadapi Ayunda sekarang.
Tapi ponsel terus berdering. Dan berdering. Dan berdering.
Dengan kesal, Rangga akhirnya mengangkat. "Apa?"
"APA?" suara Ayunda meledak dari speaker. "Itu yang kamu bilang ke istrimu yang kamu tinggalkan sendirian di hari kedua pernikahan?"
"Ayunda, aku sibuk..."
"SIBUK? Kamu selalu sibuk, Rangga! Kamu tidak angkat telepon ku! Kamu tidak balas pesan ku! Aku sendirian di sini dan kamu tidak peduli!"
"Aku PEDULI!" Rangga membentak, frustrasinya akhirnya meledak. "Tapi aku sedang menghadapi krisis yang bisa menghancurkan perusahaan keluarga ku! Aku tidak punya waktu untuk..."
Ia berhenti, menyadari apa yang hampir ia katakan.
"Untuk apa?" suara Ayunda bergetar. "Untuk aku? Untuk istrimu? Untuk pernikahan kita?"
Keheningan.
Rangga menutup matanya, merasakan migrain yang semakin parah. "Ayunda, tolong. Jangan sekarang. Aku benar-benar tidak bisa menghadapi ini sekarang."
"Kapan kalau bukan sekarang?" Ayunda mulai menangis. "Kapan kamu akan punya waktu untukku? Besok? Minggu depan? Tahun depan? Atau tidak pernah?"
"Aku tidak tahu!" Rangga berteriak. "Aku tidak tahu, oke? Aku tidak tahu apa yang akan terjadi besok! Perusahaan ku bisa bangkrut! Ayah ku kecewa padaku! Seluruh Jakarta membicarakan skandal pernikahan kita! Dan sekarang kamu menambah tekanan dengan teriakan dan tangisan!"
Hening di seberang. Rangga bisa mendengar Ayunda terisak pelan.
"Maafkan aku," suara Ayunda akhirnya terdengar pelan, hancur. "Maafkan aku karena aku butuh suamiku di saat seperti ini. Maafkan aku karena aku pikir pernikahan kita akan berbeda. Maafkan aku karena aku bodoh percaya janji-janjimu."
"Ayunda..."
"Aku akan pulang besok," potong Ayunda. "Aku akan urus tiket sendiri. Kamu tidak usah repot-repot jemput atau urus apapun. Lanjutkan saja pekerjaanmu yang sangat penting itu."
"Ayunda, dengarkan..."
Panggilan berakhir. Rangga menatap ponselnya dengan wajah kosong. Semuanya runtuh. Segalanya berantakan. Dan ia tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya.
Ia melempar ponselnya ke sofa, tidak cukup keras untuk merusak, tapi cukup untuk melepaskan frustasi. Lalu ia kembali menatap layar laptop, kembali ke pencarian yang tidak membuahkan hasil.
Zamora Company. Pemilik misterius. Siapa?
Kenapa membatalkan proyek? Kenapa sekarang? Kenapa tepat setelah skandal pernikahannya viral?
Terlalu banyak pertanyaan. Tidak ada jawaban.
Rangga menyenderkan kepalanya di sandaran kursi, menatap langit-langit ruangan. Lampu neon berkedip lemah, tanda sudah waktunya diganti. Tapi tidak ada yang peduli. Sama seperti tidak ada yang peduli padanya sekarang.