Hanashiro Anzu, Seorang pria Yatim piatu yang menemukan sebuah portal di dalam hutan.
suara misterius menyuruhnya untuk masuk kedalam portal itu.
apa yang menanti anzu didalam portal?
ini cerita tentang petualangan Anzu dalam mencari 7 senjata dari seven deadly sins.
ini adalah akun kedua dari akun HDRstudio.Di karna kan beberapa kendala,akun HDRstudio harus dihapus dan novelnya dialihkan ke akun ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bisquit D Kairifz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan
“U-ugh... di... mana aku?” suara lemah itu keluar dari bibir Anzu. Matanya perlahan terbuka, memandang langit-langit kayu yang retak dan berdebu.
“Oh—kau sudah sadar rupanya. Nah, makanlah ini dulu.”
Seorang pria tua dengan janggut keabu-abuan menyodorkan semangkuk bubur hangat kepadanya.
“Hah? S-siapa kau?!” Anzu berusaha bangkit, tubuhnya masih lemah, pandangannya berputar.
“Aku?” pria itu tersenyum kecil. “Hanya seorang pria tua yang kebetulan lewat. Sudahlah, jangan banyak tanya. Makanlah sebelum dingin.”
Anzu diam. Matanya menatap tajam ke arah bubur itu, seolah mencurigai setiap uap yang naik darinya.
Hening beberapa detik.
Lalu—
krucuk... krucuk...
Suara perutnya memecah kesunyian.
“Hahaha!” pria itu tertawa pelan, suaranya hangat dan rendah. “Tenang saja, anak muda. Aku tak mencampur apa pun aneh-aneh di dalamnya. Hanya beras, garam, dan sedikit daging kering.”
Namun Anzu masih tak bergerak.
Pria itu menghela napas panjang.
“Baiklah,” katanya pelan. Ia mengambil sendok, menyeruput bubur itu.
Slurp—glek.
“Lihat? Aku masih hidup. Tidak ada racun, tidak ada sihir. Sekarang, makanlah.”
Anzu menatapnya beberapa saat sebelum akhirnya menerima mangkuk itu dengan tangan gemetar.
Begitu sendok pertama masuk ke mulutnya, aroma sederhana itu membuat hatinya hangat.
Ia makan dengan lahap, tak peduli pada etika atau rasa malu.
“Hei, pelan-pelan. Tidak ada yang akan merebutnya darimu,” kata pria itu lembut.
Anzu berhenti sejenak, menatap pria itu dengan mata berkaca-kaca.
“Kenapa... kenapa kau menolongku?”
Pria itu menatap api kecil di tungku. Bayangan wajahnya tampak muram, namun matanya lembut.
“Apakah manusia harus punya alasan untuk menolong orang lain?” ujarnya tenang. “Kau hanya anak yang terluka. Itu sudah cukup.”
Anzu menunduk. “...Terima kasih.”
“Tak perlu terima kasih.”
Pria itu menatapnya sejenak, lalu bertanya dengan nada serius,
“Kau dikejar oleh penjaga Kerajaan Celestia, bukan?”
Anzu terkejut. “Bagaimana kau tahu?! Apa kau... bagian dari mereka?!”
“Hahaha, anak muda, jangan cepat menuduh.”
Ia menegakkan tubuhnya, lalu berkata pelan, “Aku hanya menebak. Tapi melihat reaksimu barusan... tebakan itu ternyata benar.”
“Kenapa bisa tahu?” Anzu bertanya, masih waspada.
Pria itu terdiam beberapa saat. Lalu, dengan nada rendah yang mengandung beban masa lalu, ia berkata:
“Karena aku pernah berada di sisi mereka. Aku... Reinhard Rudwick. Mantan komandan ksatria dan tangan kanan raja Celestia yang lama.”
Anzu terpaku. “J-jadi... kau...”
“Ya,” Reinhard menatap api. “Raja sekarang adalah tangan kirinya dulu—penasihat yang haus kuasa. Dialah dalang di balik tragedi Kingdom War. Ia mengadu domba Celestia dengan kerajaan selatan hingga ribuan jiwa melayang... termasuk raja yang dulu sangat kupercaya.”
Suara Reinhard sedikit bergetar.
“Setelah kematian beliau, aku... tak sanggup lagi melihat istana itu. Maka aku kabur. Lima tahun aku bersembunyi di hutan ini, menyesali hari-hari saat aku masih percaya pada janji palsu tentang kedamaian.”
Anzu menatapnya, dan untuk pertama kalinya, ia melihat kesedihan sejati dalam mata seseorang.
“Paman... kenapa kau melakukan semua itu? Kau tampak... seperti orang baik.”
Reinhard tersenyum samar. “Mungkin karena aku dulu juga pernah seperti dirimu—sendiri dan tanpa arah.”
Ia menatap keluar jendela kecil gubuk itu. Bulan tampak redup, diselimuti awan.
“Dulu keluargaku hanyalah petani miskin di desa kecil bernama Rudwick. Kami sering kelaparan. Tapi aku bertekad mengubah nasib. Aku berlatih siang dan malam dengan pedang tumpul peninggalan ayahku, sampai tanganku penuh luka. Aku ingin keluarga Rudwick dikenal bukan karena kemiskinan... tapi karena kehormatan.”
Reinhard tersenyum mengenang masa mudanya.
“Aku berhasil masuk akademi militer, lalu naik pangkat sedikit demi sedikit. Ketika Raja lama mengangkatku sebagai komandan ksatria, aku pikir... semua perjuanganku sudah cukup membahagiakan keluarga. Tapi... kebahagiaan itu tak berlangsung lama.”
Anzu mendengarkan dengan raut wajah serius.
“...Apa yang terjadi?”
“Perang menghancurkan segalanya. Desa Rudwick... hangus terbakar. Tak ada yang tersisa, bahkan kuburan mereka pun tak bisa kutemukan.”
Suaranya parau. “Aku berjuang demi mereka... tapi justru dunia ini yang mengambil mereka dariku.”
“Dan juga... nama Rudwick ini kupakai agar aku tidak melupakan semua orang yang ada di desa itu.”
Senyum pahit muncul di sisi bibir Reinhard.
Hening panjang menyelimuti ruangan.
Angin malam berhembus melalui celah dinding bambu.
Akhirnya, Anzu berkata pelan, “...Aku juga tak punya siapa-siapa lagi. Orang tuaku meninggal dalam kecelakaan, dan aku kehilangan ingatanku. Aku bahkan tak tahu bagaimana wajah mereka.”
Reinhard menatap anak itu, lalu tersenyum—senyum yang lembut namun penuh luka.
“Kalau begitu... mulai sekarang, kau bisa menganggapku sebagai ayahmu. Walau aku tua, dan tangan ini sudah gemetar, aku akan melindungimu sebisaku.”
“Eh... be-benarkah?”
“Tentu saja! Kenapa tidak?” ujarnya sambil tersenyum hangat pada Anzu.
Anzu terdiam, lalu perlahan tersenyum.
“Terima kasih... Ayah.”
Reinhard menunduk sejenak, menahan emosi yang mendadak menyeruak.
“Hahaha... sudah lama sekali aku tak mendengar kata itu.”
Malam itu mereka berbicara lama, tentang dunia, tentang perang, tentang harapan.
Untuk pertama kalinya, gubuk kecil itu terasa seperti rumah.
Keesokan paginya, Reinhard tersenyum sambil memegang dua pedang kayu.
“Heh, Anzu. Bagaimana kalau kita berlatih sedikit? Dulu aku dijuluki Swordman Terkuat Celestia. Anggap saja ini latihan membela diri.”
Anzu menatapnya dengan tekad baru. “Baiklah. Aku mau belajar.”
“Hahaha! Aku suka sorot matamu.”
Hari-hari berlalu. Mereka berlatih bersama, tertawa bersama, bahkan terkadang bertengkar kecil karena gaya bertarung yang berbeda.
Namun di balik semua itu, hubungan mereka tumbuh—seperti ayah dan anak kandung yang akhirnya saling menemukan.
Tapi kebahagiaan itu... tidak akan bertahan lama.
Tiga bulan kemudian.
“Komandan, aku sudah menemukan mereka,” bisik seorang mata-mata di tengah hutan lebat.
“Bagus. Kirim berita ini ke istana segera.”
Malam pun turun.
Di dalam gubuk kecil itu, Reinhard terbangun mendengar langkah kaki di luar—berat, teratur, dan terlalu banyak untuk sekadar hewan liar.
Ia menggenggam pedangnya, menatap ke arah pintu.
“...Anzu, tetaplah di tempatmu,” bisiknya pelan. “Malam ini, mungkin ayahmu harus mengayunkan pedang sekali lagi.”
Anzu dengan raut muka panik bercampur takut. “Hati-hati... Ayah!”
Reinhard yang melihat raut wajah Anzu pun mencoba menenangkannya.
“Tenang saja! Walau sudah tua, aku tetap seorang swordman yang kuat,” ucapnya sambil tersenyum dan mengelus kepala Anzu.
Reinhard pun melangkah perlahan ke arah pintu, menggenggam pedangnya erat.
Dan kemudian...
tapi gpp aku suka kok sama alur kisahnya semangat yahh💪