Anton selalu pulang dengan senyum hangat, perhatian yang tak berubah, dan alasan pekerjaan yang terdengar sangat wajar. Terlalu wajar, hingga Nayla tak pernah merasa perlu meragukannya.
Namun ketika satu demi satu kejanggalan kecil muncul, Nayla mulai dihadapkan pada kenyataan pahit. Pengkhianatan tak selalu datang dari sikap yang dingin, melainkan dari kehangatan yang dijaga dengan terlalu rapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caracaramel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Nayla berdiri di lobi Hotel Gracia, menatap meja resepsionis dengan hati berdebar.
Sejak kemarin malam pikirannya tidak bisa tenang, dan pagi ini ia memutuskan:
ia harus tahu kebenaran.
Resepsionis, seorang pria paruh baya dengan senyum ramah, menyapa.
“Selamat pagi, Bu. Ada yang bisa saya bantu?”
Nayla tersenyum tipis. “Selamat pagi… saya ingin menanyakan sesuatu terkait pemesanan kamar, tanggal 23 lalu.”
Pria itu mengangkat alis. “Tanggal 23, Bu? Boleh tahu nama pemesannya?”
Nayla menelan ludah, suara sedikit bergetar.
“Anton Wijaya.”
Resepsionis menekan beberapa tombol di komputernya, lalu mengangguk.
“Ya, Bu. Tamu atas nama Bapak Anton Wijaya memang check-in tanggal itu. Kamar Superior, lantai 5.”
“Check-in sendiri?” tanya Nayla, berusaha terdengar santai, tapi hatinya berdebar cepat.
Pria itu menggeleng. “Iya, Bu. Check-in sendiri. Tidak ada tamu lain yang datang atas nama tamu tambahan. Semua tercatat di sistem kami.”
Nayla mencoba tersenyum, tapi matanya menatap layar komputer kecil di meja.
“Jadi, nggak mungkin temannya yang check-in atas nama dia, ya?”
“Tidak, Bu. Semua yang tercatat sesuai identitas yang diberikan saat pemesanan. Nama Bapak Anton Wijaya. Tidak ada tambahan tamu yang datang untuk menggantikan beliau.”
Nayla mengangguk, menelan ludah.
“Terima kasih. Itu sangat membantu.”
Resepsionis tersenyum sopan.
“Senang bisa membantu, Bu. Jika membutuhkan bantuan lain, silakan hubungi kami.”
Nayla melangkah mundur perlahan.
Napasku tercekat, pikirnya.
Kalau ini benar, maka Anton memang yang datang. Tapi, ada sesuatu yang aneh. Seolah hatinya berkata, “Ada sesuatu yang tidak terlihat.”
Ia menatap lobi hotel sebentar, mencoba memahami.
“Jadi semua tercatat di sistem, ya. Nggak ada teman yang check-in?” gumam Nayla sendiri.
Suara resepsionis terdengar samar, menenangkan. “Ya, Bu. Tidak ada.”
Nayla menunduk, meremas tasnya. Tubuhnya panas, jantungnya berdebar.
Dia merasa lega, tapi sekaligus semakin penasaran.
“Kalau begitu,” Nayla menatap resepsionis lagi, suaranya lirih. “Apa mungkin ada orang lain datang ke kamar itu diam-diam setelah Bapak Anton check-in?”
Resepsionis menatapnya ragu. “Kalau itu terjadi, Bu. Tentu saja kami tidak bisa memantau. Tapi dari catatan hotel, tidak ada tamu lain yang tercatat. Kartu akses dan kunci kamar diberikan hanya kepada Bapak Anton.”
Nayla mengangguk lagi, menelan ludah, dan berbisik pelan pada dirinya sendiri:
“Jadi, dia memang ada di sana, tapi siapa yang datang kemudian?”
Ia meninggalkan meja resepsionis, langkahnya berat. Hatinya campur aduk—. Lega karena Anton memang check-in sendiri, takut karena ada sesuatu yang tersembunyi, dan penasaran tak tertahankan.
Di pintu keluar, Nayla menoleh sekali lagi ke lobi hotel. “Kalau ini benar, aku harus siap untuk apapun yang akan kulihat nanti,” gumamnya.
Nayla melangkah pelan ke sisi lobi, masih menatap resepsionis yang sibuk menekan tombol komputer. Ia menelan ludah, mencoba menenangkan diri.
“Maaf, Bu,” sapa resepsionis, menoleh sebentar. “Ada yang ingin ditanyakan lagi?”
Nayla menggeleng, tapi hatinya tidak tenang.
“Nggak ada lagi. Saya cuma mau memastikan,” gumamnya. Suaranya nyaris tak terdengar.
Begitu resepsionis kembali sibuk, Nayla menatap pintu lift. Pikirannya melayang-layang, membayangkan Anton di lantai 5, menekan tombol kamar Superior, masuk ke kamar sendirian.
Ia menutup mata sejenak, merasakan detak jantungnya yang hampir tidak tertahankan.
“Kalau dia di sana sendiri. Kenapa dia harus bohong, bilang bill hotel itu punya temannya?” gumam Nayla. Suara hatinya lembut, tapi tajam seperti pisau.
Ia berbalik, menatap pemandangan lobi yang sepi. Orang-orang yang lalu-lalang tampak biasa, tapi baginya semuanya terasa mengintai. Setiap orang yang lewat bisa saja menjadi saksi atau penambah rasa bersalahnya.
Nayla menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri.
“Tunggu dulu. Jangan buru-buru menarik kesimpulan,” bisiknya. “Tapi kalau aku salah, aku bisa lega. Kalau benar, aku harus siap.”
Di sudut lobi, seorang tamu muda terlihat menatap katalog hotel sambil berbicara dengan petugas concierge. Nayla menahan napas. Dia merasa seperti berada di zona perang, di mana setiap gerak-gerik bisa menjadi petunjuk.
Dia kembali menatap resepsionis. “Kalau Bapak Anton hanya check-in sendiri,” katanya pelan, “apa mungkin seseorang bisa masuk ke kamar tanpa tercatat?”
Resepsionis menatapnya ragu. “Secara teori, Bu, tamu lain tidak bisa masuk tanpa kunci atau izin. Sistem kartu akses hanya memberi akses kepada tamu yang check-in.”
Nayla menelan ludah lagi, tangannya gemetar.
“Jadi, kalau seseorang masuk setelah dia, kartu akses itu harus dimiliki mereka juga, ya?”
“Betul, Bu,” jawab resepsionis.
Nayla menggigit bibirnya. “Bisa saja Anton mengajak seseorang tanpa sepengetahuan resepsionis, kan?” batin Nayla. Hatinya panas lagi.
“Terima kasih, Pak,” kata Nayla sambil tersenyum tipis.
Resepsionis mengangguk, senyum tetap di wajahnya. “Sama-sama, Bu. Semoga hari Anda menyenangkan.”
Nayla melangkah ke pintu keluar hotel, tapi tubuhnya terasa berat. Dia ingin segera pergi, tapi pikirannya menolak.
Satu dorongan di hatinya berkata, “Aku harus lihat sendiri, bahkan dari jauh.”
Dia melangkah ke taman kecil di samping hotel, tempat mobil jemputan biasanya berhenti. Dari sana, ia bisa melihat pintu utama hotel dan beberapa jendela lantai 5.
Nayla menahan napas, menatap lantai yang tercatat di bill kemarin.
“Tunggu. Tunggu saja. Jangan gegabah,” gumamnya.
Sambil duduk di bangku taman, ia membuka ponsel.
Mengetik catatan singkat:
“Superior Room, Lantai 5. 23.14. Anton check-in sendiri. Tidak ada tamu lain. Tapi, rasanya masih ada yang disembunyikan. Bisa saja dia memang bersama orang lain, namun tidak melapor ke resepsionis.”
Ia menatap layar beberapa saat, kemudian menutup mata dan memejamkan diri.
Angin pagi meniup rambutnya, tapi dadanya tetap panas.
“Nanti sore aku akan datang lagi,” bisiknya pada diri sendiri.
“Aku nggak percaya dia cuma sekali ke hotel itu. Dia pasti memesan kamar hotel untuk waktu yang lama,” ujar Nayla sangat yakin.
Ponselnya berdering, Nayla segera menjawabnya. Di seberang sana, terdengar suara Dea yang tengah berbicara sebentar dengan seseorang. Setelah itu, dia sadar kalau telepon sudah dijawab oleh Nayla.
“Halo, Ma.” katanya.
“Kenapa, sayang? Kamu lagi bicara sama guru? Ada masalah apa?” tanya Nayla khawatir.
“Oh, nggak, Ma. Aku lagi bicara sama Tante Lestari. Ini aku nelpon Mama cuma mau bilang, nggak usah jadi jemput. Nanti aku pulang sama Tante Lestari dan Vina,” ujar Dea bersemangat.
Jantung Nayla kembali berdenyut hebat. Dia mulai sensitif dengan nama Lestari. Nama itu membuatnya teringat dengan Anton.
“Oke, Sayang. Kamu hati-hati pulangnya, ya.”
“Oke, Ma. Love you,” ucap Dea seperti biasa.
“Love you too,” balas Nayla.
Telepon ditutup. Nayla menghela napas panjang. Kalau Lestari sedang berada di sekolah Dea, berarti benar dia tidak bersama Anton. Nayla mulai sedikit lega. Setelah itu, dia memutuskan untuk pulang dan melanjutkan esok harinya.