Dokter Arslan Erdem Mahardika, pria tampan dan cerdas berusia 33 tahun, memiliki segalanya kecuali satu hal yaitu kepercayaan diri untuk menikah.
Bukan karena dia playboy atau belum siap berkomitmen, tapi karena sebuah rahasia yang ia bongkar sendiri kepada setiap perempuan yang dijodohkan dengannya yaitu ia impoten.
Setiap kencan buta berakhir bencana.
Setiap perjodohan berubah jadi kegagalan.
Tanpa cinta, tanpa ekspektasi, dan tanpa rasa malu, Tari Nayaka dipertemukan dengan Arslan. Alih-alih ilfeel, Tari justru penasaran. Bukannya lari setelah tahu kelemahan Arslan, dia malah menantang balik sang dokter yang terlalu kaku dan pesimis soal cinta.
“Kalau impoten doang, bisa diobatin, Bang. Yang susah itu, pria yang terlalu takut jatuh cinta,” ucap Tari, santai.
Yang awalnya hanya pengganti kakaknya, Tari justru jadi pawang paling ampuh bagi Arslan pawang hati, pawang ego, bahkan mungkin pawang rasa putus asanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 31. Kegedean
Beberapa jam setelah keramaian resepsi usai, kamar hotel itu menjadi saksi sunyi bagi dua insan yang baru saja sah dipersatukan.
Lampu gantung kristal menggantung megah, sementara kelopak-kelopak mawar bertebaran di atas ranjang seolah sengaja diatur untuk menambah suasana romantis. Arslan berdiri diam di ambang pintu, tidak langsung masuk.
Pandangan matanya menyapu setiap sudut ruangan, tapi pikirannya tidak ikut tenang.
"Kenapa aku malah gugup?" lirihnya dalam hati. Napasnya berat. "Kata dokter Taufan, fungsi fisikku mulai membaik, aku harus memastikan tapi, apa aku siap melihat dia dalam keadaan begitu?"
Langkah Nayaka memotong lamunannya. Gadis itu masuk lebih dulu ke kamar mandi tanpa banyak bicara.
Arslan masih diam, berdiri kaku. Hanya suara gemericik air terdengar dari balik pintu. Ia tak bergerak, seolah takut harapan dan kenyataan bertabrakan.
“Wajahnya tadi pas resepsi bikin deg-degan, apalagi kalau dia keluar cuma pakai handuk,” bisiknya nyaris tak terdengar.
Tak lama, pintu kamar mandi terbuka.
Nayaka keluar tanpa ragu. Hanya handuk putih melilit tubuh mungilnya, persis seperti bayangan yang tadi sempat berputar di kepala Arslan.
Dia tidak menunduk. Malah mendekat. Dan lebih mengejutkan lagi, dia duduk begitu saja di pangkuan suaminya.
“Kok diem aja, Dok?” ucapnya pelan menggoda.
Arslan menelan ludah. Nadinya berdegup tak karuan. Seluruh tubuhnya seakan membeku kecuali satu titik yang justru merespons tanpa perintah.
Dia mengalihkan pandangan. Tapi tubuhnya berkata lain.
“Jangan... jangan mancing...” lirihnya.
“Lho, aku cuma duduk,” imbuh Nayaka sambil tersenyum manja. Tangannya naik ke bahu Arslan. Tatapannya tak mau kalah.
“Aku belum siap,” ucap Arslan datar, tapi suaranya nyaris gemetar.
Nayaka menatapnya dalam-dalam. Tidak kecewa. Justru wajahnya seperti makin penasaran.
“Emangnya harus selalu siap kalau soal cinta?” katanya sambil mengelus rambut suaminya perlahan.
Arslan menghela napas. Pandangannya mengarah pada dada Nayaka yang hanya ditutupi tipis.
“Ini bukan soal cinta, ini soal aku, soal fisik, soal harga diri seorang laki-laki,” tegasnya akhirnya.
Nayaka terdiam. Tapi kemudian ia merapatkan tubuhnya lebih erat.
“Aku nggak minta apa-apa malam ini cuma mau nemenin suamiku tidur tanpa beban,” ujarnya pelan.
Kali ini Arslan tak menjawab. Ia hanya menunduk, lalu menyandarkan keningnya ke bahu Nayaka.
Kelopak mawar masih bertaburan. Tapi malam itu, bukan gairah yang mengambil kendali, melainkan kejujuran dan ketulusan.
Nayaka belum bergeser dari pangkuan. Dia diam, tapi tubuhnya bergerak lembut membenahi posisi duduk, menyandarkan kepala di dada suaminya.
Arslan masih mematung. Napasnya naik turun tak beraturan. Keringat dingin mulai merayap di pelipisnya. Detak jantungnya semakin tak beraturan.
Seketika tubuhnya memberi reaksi yang tak terbantahkan. Ada getar di bagian tengah dirinya, sesuatu yang selama ini ia pikir telah mati, kini perlahan menunjukkan kehidupan.
Ia terkesiap. Tak percaya.
"Tunggu, ini kenapa..." desisnya dalam hati sontak matanya membulat.
Nayaka mengangkat wajahnya, tatapannya tajam namun lembut. Ia tahu. Ia merasakan. Tapi dia tidak berkata-kata.
Malah tersenyum kecil, menatapnya dengan pandangan yang seolah berkata: aku tahu kamu masih hidup, dan aku nggak akan takut sama itu.
"Aku bukan perempuan yang butuh pembuktian fisik, tapi kalau tubuhmu akhirnya sadar aku istrimu, itu cukup bikin aku bahagia," ujarnya pelan.
Arslan terdiam.
“Jangan bikin aku malu,” ucapnya gugup nyaris berbisik.
“Malu kenapa? Aku kan istrimu. Aku malah bangga,” imbuh Nayaka sambil memeluknya lebih erat.
Arslan menarik napas dalam-dalam. Ia ingin bicara, tapi lidahnya kelu.
Tubuhnya terasa berbeda malam ini. Ada semacam denyut yang lama menghilang, sekarang muncul tanpa diperintah.
Ia tak bisa menyangkalnya lagi. Dirinya merespons kehadiran istrinya. Bukan karena paksaan. Tapi karena hati dan tubuh akhirnya selaras.
“Jangan bergerak terlalu dekat...” katanya kaku.
“Kenapa?” tanya Nayaka sembari terkikik, manja.
“Aku takut kehilangan kendali,” ucap Arslan lirih.
Senyum Nayaka makin melebar. Bukan karena menang, tapi karena ia melihat pria yang selama ini menyimpan dingin akhirnya mencair, perlahan.
Bukan malam yang sempurna, tapi itu awal dari sesuatu yang ia tunggu yaitu suaminya, yang mulai kembali hidup.
Namun Nayaka tidak mundur. Justru makin mendekat, mengaburkan jarak yang tadinya disusun oleh keraguan.
Tangannya bergerak perlahan, mengelus dada bidang suaminya, lalu turun perlahan ke arah perut yang berotot. Gerakannya tidak tergesa, seperti membaca ketegangan dari kulit yang kini menghangat.
“Tenang aja, aku cuma mau mengenal kamu lebih dekat,” ujarnya lembut sambil mengusap si junior.
Arslan menarik napas, terasa berat. Ia seperti berdiri di ujung jurang antara hasrat dan takut.
“Kamu nggak tahu apa yang kamu lakukan,” ucapnya, suara serak, nyaris patah.
“Aku tahu, Sayang,” balas Nayaka cepat, tak lagi tersenyum main-main. Tatapannya berubah, lebih dalam, lebih jujur. “Aku tahu kamu sedang berusaha dan aku nggak akan lepasin kamu sendirian.”
Jari-jari Nayaka terus bergerak, bukan sekadar sentuhan, tapi pengakuan diam-diam bahwa ia menerima semua luka, semua kekurangan, semua ketakutan yang selama ini dikubur Arslan.
“Aku ini nggak sempurna,” gumam Arslan pelan, kepalanya menunduk.
“Aku juga,” balas Nayaka pelan. “Tapi cinta nggak pernah butuh yang sempurna, cukup yang mau saling bertahan.”
Arslan menggenggam tangan istrinya yang masih berada di perutnya. Kali ini bukan untuk menolak, tapi untuk menenangkan diri.
“Kalau aku hilang kendali?” tanyanya ragu.
“Berarti kamu percaya sama aku,” sahut Nayaka mantap. “Dan itu lebih penting daripada segalanya.”
Kamar itu hening. Kelopak mawar masih berserakan. Tirai tipis bergoyang pelan tertiup angin dari jendela balkon yang sedikit terbuka.
Dan untuk pertama kalinya, Arslan Han Mahardika tidak merasa sendiri dengan ketakutannya.
Ia memejamkan mata. Jari-jarinya mengerat di tangan Nayaka. Ia tidak menjawab apa-apa. Tapi tubuhnya sudah berkata lebih dulu.
Jari-jari Nayaka makin tak tahu diri, menyusuri setiap garis pada tubuh suaminya dengan manja, seperti sedang mengukir kenangan di kulit hangat itu. Sentuhan itu pelan, tapi penuh maksud. Ia menelusuri lekuk perut yang keras, menghitung otot satu per satu, seolah takut ada yang terlewat.
“Enam,” gumamnya sambil tersenyum nakal. “Rasanya tiap kali aku lihat, makin rapi aja bentuknya,” ucapnya sambil mengusap lagi, kali ini sedikit menekan.
Arslan yang sedang bersandar di kepala ranjang hanya menghela napas pendek. Tatapannya datar, tapi sorot matanya menyimpan tanya. “Naya… kamu mau apa?” ujarnya, nada suaranya tetap tenang namun tegas.
“Mau nyatet sejarah,” jawabnya santai. Ia menunduk, membiarkan ujung rambutnya menyentuh kulit perut suaminya. “Kapan lagi aku bisa punya karya seni hidup di rumah?” imbuhnya.
“Kamu ini…” Arslan menggeleng pelan, ujung bibirnya nyaris membentuk senyum, namun segera hilang. “Jangan keterlaluan.”
Nayaka justru terkikik. “Keterlaluan itu kalau aku minta kamu pajang foto sixpack ini di ruang tamu,” serunya sambil menatap nakal.
Suasana kamar terasa hangat, bukan hanya karena lampu temaram, tapi juga karena keakraban yang tak perlu banyak kata. Nayaka tetap menelusuri otot itu, seperti perawat yang memeriksa pasien, tapi gerakannya terlalu penuh rayuan untuk dibilang profesional.
“Kalau kamu terus begini, nanti aku pikir kamu sedang tes sabar aku,” katanya datar.
“Bukan sabar yang mau aku tes…” ucap Nayaka lirih, kali ini suaranya lembut, nyaris seperti bisikan. “Aku cuma mau kamu inget, di balik sikap dinginmu itu, ada aku yang selalu jatuh cinta setiap kali liat kamu kayak gini.”
Arslan menatapnya lama, tanpa senyum, tapi matanya memberi jawaban yang tak diucapkan.
Jari-jari Nayaka berhenti tepat di tengah perut suaminya. Tatapannya naik sebentar, memastikan Arslan tidak menghindar. Lalu, tanpa aba-aba, ia menunduk dan mengecup otot itu pelan, seolah mencuri rasa dari setiap tarikan napasnya.
Arslan langsung menarik napas dalam, alisnya sedikit bertaut. “Naya…” ujarnya, nadanya mengandung peringatan.
“Kenapa? Nggak boleh?” katanya sambil menatap ke atas dengan senyum nakal. “Ciuman itu tanda cinta, Dok.”
“Cinta ada banyak cara tunjukinnya,” jawabnya datar.
Nayaka hanya terkekeh. Ia mengecup lagi, kali ini sedikit lebih lama, sambil mengusap pelan di sekitar garis ototnya. “Tapi cara ini paling favoritku,” imbuhnya.
Arslan menutup mata sebentar, mencoba menahan diri. “Kamu ini nggak pernah habis akal,” ucapnya.
“Aku kan perawat yang berdedikasi,” serunya sambil menegakkan tubuh. “Pasien istimewa harus dirawat dengan metode istimewa.”
Suasana kamar makin terasa tenang, tapi di antara mereka ada percikan yang tak perlu diucapkan. Setiap gerak Nayaka adalah godaan, setiap tatapan Arslan adalah benteng yang mulai retak.
Sentuhan itu bukan sekadar godaan, tapi semacam ajakan diam-diam yang membuat dada Arslan bergetar tak karuan.
Arslan sempat menahan napas, berusaha tetap tenang. Namun makin lama, pertahanannya runtuh, ambruk di hadapan perempuan yang kini sah menjadi miliknya.
Dengan gerakan cepat namun lembut, ia menarik tubuh Nayaka ke pelukannya, membuat mereka nyaris tak berjarak.
“Sayang, kamu tahu kan, kamu lagi main api?” bisiknya serak, sebelum akhirnya tubuh Nayaka ia tindih perlahan.
Tanpa bisa ditahan, bibir Arslan menyapu lembut bibir istrinya. Bukan sekadar ciuman, tapi luapan rindu, cinta, dan rasa memiliki yang menggelegak di dadanya.
Dan malam pun terasa lebih panjang dari biasanya…
Ranjang itu bergoyang pelan seiring desahan napas yang mulai tak teratur. Lampu tidur menyala temaram, membentuk bayang-bayang samar di dinding kamar.
Di sela hening, hanya suara detak jantung mereka yang saling bersahutan seolah memanggil, lalu menyatu.
Tubuh Nayaka terasa ringan saat Arslan menindihnya. Tapi bukan beratnya tubuh sang suami yang membuatnya gemetar, melainkan cara pria itu menatapnya seolah dunia hanya berisi mereka berdua.
Nayaka menatap balik, napasnya memburu.
“Mas Arslan…” bisiknya nyaris tanpa suara.
Tatapan itu menjawab segalanya bukan lagi tentang hasrat, tapi perasaan yang sudah terlalu dalam untuk bisa dijelaskan. Arslan mencium bibir Nayaka dengan perlahan, seperti sedang membaca sesuatu di sana, dan Nayaka pun tak menolak.
DIa balas mencium dengan mata tertutup, seolah ingin menyimpan momen itu dalam ingatannya selamanya.
Di luar kamar, angin malam meniupkan dingin. Tapi di dalam, kehangatan mereka menyalakan sesuatu yang lebih dari sekadar api cinta.
Saat ciuman itu terlepas, Nayaka masih terbaring dengan tangan menggenggam erat leher Arslan. Pipinya memerah, tapi sorot matanya justru semakin tenang.
“Kalau setiap malam begini,” gumam Nayaka dengan senyum kecil, “aku nggak akan pernah bosan jadi istrimu.”
Arslan menunduk lagi, kali ini mencium keningnya. Lalu berbisik dengan suara berat yang nyaris pecah, “Dan aku nggak akan pernah berhenti jatuh cinta sama kamu setiap hari.”
Baru saja gerakan itu dimulai perlahan dan sangat hati-hati wajah Nayaka langsung menegang.
Napasnya memburu tak beraturan, tangan mungilnya mencengkeram erat lengan suaminya.
Dalam hitungan detik, suara lirih berubah menjadi jeritan yang terdengar lantang, membuat Arslan terhenti seketika.
“Astaga dragon... sakit, Mas!” serunya keras, nyaris panik.
Arslan tersentak, tubuhnya membeku di tempat. Matanya langsung menatap wajah Nayaka yang memucat. Nafas mereka masih saling menabrak, tapi semuanya terasa kacau.
“Maaf,” ucap Arslan cepat, nadanya terdengar lebih gentar dari biasanya.
“Aku... terlalu kasar?”
Nayaka menggeleng, meski matanya berkaca-kaca. “Bukan gitu cuman ya ampun, baru kali ini rasanya ” katanya sambil menggigit bibir, menahan perih yang tak ia sangka sebelumnya.
Arslan menarik napas pelan, mencoba menguasai diri. Ia lalu mengusap peluh di pelipis Nayaka dan mencium keningnya lembut.
“Mas… itu… terlalu gede,” ucap Nayaka lirih, separuh malu, separuh bercanda untuk meredakan tegangnya suasana.
Sudut bibir Arslan sedikit terangkat, tapi ia tak menanggapi langsung. Hanya pelukan hangat yang ia berikan, seperti ingin memastikan Nayaka tahu bahwa ia akan selalu menyesuaikan diri, bukan memaksakan.
Keduanya terdiam sejenak. Hanya suara napas yang berpadu, membawa rasa lega bercampur detak yang belum mau tenang.
“Kita berhenti, ya?” tanyanya lirih.
Namun Nayaka menggeleng lagi, kali ini lebih pelan. “Jangan,” katanya lirih, “aku cuma kaget bukan nggak mau. Aku cuma butuh waktu.”
Arslan menatapnya lekat. Wajah tegasnya yang selama ini terlihat nyaris tanpa emosi kini tampak berubah lebih lembut, lebih rapuh.
“Kalau kamu takut, kita bisa pelan-pelan,” imbuh Arslan tenang, “aku nggak akan maksa. Nggak malam ini pun, nggak apa-apa.”
Nayaka tersenyum meski matanya masih basah. “Aku nggak takut kamu, Mas. Aku cuma belum terbiasa. Tapi aku percaya.”
Dan di situlah, tanpa kata lebih banyak, mereka saling berpelukan lebih erat dari sebelumnya. Arslan mengecup pelipis istrinya dengan lembut, sementara Nayaka mencoba mengatur napasnya.
Malam itu, mereka tak mengejar kesempurnaan. Mereka hanya belajar. Tentang sabar, tentang rasa, dan tentang kepercayaan yang pelan-pelan tumbuh di antara dua hati yang baru dipersatukan.