SINTA dan adiknya, ALIM, tumbuh dalam lingkungan keluarga yang sangat taat. Sejak kecil, Sinta adalah sosok yang sangat alim, menjunjung tinggi akidah Islam, dan memegang teguh keyakinannya. Dunia yang ia pahami—dunia yang damai dan dipenuhi janji surgawi—hancur berkeping-keping pada satu sore kelam.
Orang tua mereka, Adam dan Lela, tewas dalam sebuah insiden yang dicap sebagai bom bunuh diri. Latar belakang kejadian ini sangat kelam: pelaku bom tersebut mengakhiri hidupnya dan Adam/Lela, sambil meneriakkan kalimat sakral "Allahu Akbar".
Trauma ganda ini—kehilangan orang tua dan kontaminasi kalimat suci dengan tindakan keji—membuat keyakinan Sinta runtuh total. Ia mempertanyakan segala yang pernah ia yakini.
Saat ini, Sinta bekerja sebagai Suster Panti Jompo, berhadapan dengan kematian secara rutin, tetapi tanpa sedikit pun rasa takut pada alam baka. Alim, di sisi lain, kini menjadi Penggali Kubur, dikelilingi oleh kuburan, tetapi tetap teguh memegang sisa-sisa keyakinannya yang diw
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gilangboalang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tahun Kedewasaan (2023)
🏥 Bagian 1: Harapan di Panti Jompo "Senja Indah"
Tahun 2023. Jendela-jendela di Panti Jompo "Senja Indah" dibingkai oleh cahaya matahari pagi yang lembut. Cahaya itu bukan lagi cahaya terowongan yang mengagetkan, melainkan cahaya kedewasaan yang tenang, yang telah menemukan tempatnya.
Sinta (28), berdiri di tengah Ruang Makan Utama, mengenakan seragam suster berwarna lilac pucat yang bersih. Rambut hitamnya diikat rapi. Garis wajahnya yang dulu dipenuhi ketakutan anak-anak, kini dihiasi oleh senyum ramah yang tulus.
Panti itu memang sangat ramai. Sekitar lima belas lansia—beberapa menggunakan kursi roda, beberapa berjalan perlahan dengan tongkat, dan beberapa lagi hanya duduk tenang di kursi—mulai berkumpul. Bau bubur ayam hangat dan teh melati menyelimuti ruangan, menciptakan suasana rumah yang nyaman.
Sinta adalah poros ruangan itu.
Ia bergerak dengan efisien dan lembut. Ia telah menyelesaikan penataan setiap porsi sarapan: bubur dengan potongan cakwe kecil untuk Nenek Lasmi yang giginya sudah ompong, roti panggang dan selai rendah gula untuk Opa Hardi yang menderita diabetes, dan semangkuk sereal penuh serat untuk Ibu Rosa yang selalu mengeluh susah buang air.
Sinta mengambil posisi di depan troli makanannya, dan suaranya yang lembut namun tegas memenuhi ruangan:
“Selamat pagi, semuanya! Bagaimana tidurnya tadi malam? Semoga nyenyak, ya. Kita sarapan hari ini dengan menu andalan Suster, bubur yang dimasak dengan cinta! Silakan, Bapak-bapak dan Ibu-ibu, kita mulai berkumpul di meja masing-masing.”
Nada bicaranya yang ramah dan penuh pengertian membuat para lansia itu merespons dengan cepat. Mereka mengerti. Mereka tidak merasa diperintah, melainkan diajak. Kursi roda mulai didorong, tongkat mulai diketuk, dan beberapa percakapan kecil sudah terdengar.
Sinta berjalan menuju meja tempat duduk Nenek Lasmi, yang selalu menjadi lansia kesayangan sekaligus tantangan terbesarnya.
“Nenek Lasmi, pagi ini mau Suster suapi dulu? Atau mau mencoba makan sendiri?” tanya Sinta, dengan sabar memegang sendok berisi bubur.
Nenek Lasmi, dengan tatapan kosong dan memori yang mulai menghilang (ia menderita Alzheimer tingkat lanjut), hanya tertawa kecil. “Aku mau disuapi... tapi oleh anakku. Di mana suamiku? Kenapa dia tidak pulang?”
Sinta tidak pernah mengoreksi atau menyanggah. Itu adalah kunci yang membuatnya menjadi Suster paling Teladan dan paling dicintai di sini.
“Suami Nenek sedang ada urusan penting. Hari ini, Suster yang akan menggantikan. Mari kita makan, ya, biar sehat dan bisa cerita banyak nanti.” Sinta dengan hati-hati menyuapkan bubur.
Di meja sebelah, Ibu Rosa berseru, “Sinta! Buburnya kok sedikit sekali? Saya kan suka sekali bubur kamu!”
Sinta tersenyum, berbalik tanpa tergesa-gesa. “Ibu Rosa, sarapannya sudah pas takarannya. Kalau kelebihan, nanti perut Ibu kembung, lho. Nanti jam sepuluh, Suster bawakan teh hangat dengan kue kering khusus Ibu, ya? Janji!”
Ibu Rosa cemberut sejenak, lalu senyumnya mengembang. “Ah, kamu ini memang tahu saja cara membujukku. Baiklah, Suster Teladan!”
🌟 Suster Teladan
Sebutan itu—Suster Teladan—bukanlah isapan jempol. Sinta memenangkan gelar itu tiga tahun berturut-turut.
Sejak ia dan Alim serta Adil diselamatkan dan akhirnya menemukan rumah baru di sebuah desa terpencil (dengan bantuan seorang dermawan yang terharu oleh kisah mereka), Sinta memegang teguh satu prinsip: melayani dengan hati yang utuh.
Ia tahu rasanya hidup tanpa kasih sayang yang tulus. Ia tahu betapa berharganya rasa aman dan kenyamanan yang diberikan tanpa syarat. Dan para lansia di "Senja Indah" memberinya kesempatan untuk memberikan semua cinta dan perhatian yang selama ini ia simpan.
Saat ia sedang makan—hanya sepotong roti dan segelas air putih, duduk di pojok ruangan sambil mengawasi—para lansia mulai memujinya.
Opa Hardi, yang biasanya pendiam, berkata sambil mengunyah perlahan, “Nak Sinta, kamu ini kalau sudah tua nanti pasti dikelilingi banyak anak cucu. Hatimu terlalu baik, Nak.”
Bapak Toni, mantan guru besar yang kini kesulitan berjalan, menambahkan dengan suara yang serak, “Sinta, kamu adalah cahaya di ruangan ini. Tanpa kamu, kami hanya menunggu. Denganmu, kami punya alasan untuk bangun.”
Pujian itu bukan hanya dari para penghuni panti.
👯 Erna, Suster Rekan Kerja
Di sebelahnya, duduklah Erna (29), suster rekan kerja Sinta. Erna memiliki pembawaan yang lebih santai, terkadang sedikit ceroboh, namun hatinya baik. Ia menatap Sinta dengan campuran kagum dan frustrasi.
“Sin, kamu tidak bosan dipuji terus? Aku ini kerja keras juga, lho. Tapi kok mereka selalu memujimu seolah kamu ini Suster yang datang dari langit,” gurau Erna, menyenggol lengan Sinta.
Sinta tertawa pelan. “Erna, mereka memuji kita semua. Mereka hanya sedang berbahagia. Nenek Lasmi saja sudah mau makan habis hari ini, itu karena kamu yang menyiapkan sendoknya pas dengan arah duduknya, lho.”
Erna menggeleng. “Ah, itu basa-basi saja. Mereka memujimu karena kamu punya kesabaran yang entah dari mana asalnya. Aku baru disuruh mencari kacamata Opa Hardi yang hilang sudah mau teriak di dapur. Kamu bisa membimbing Nenek Lasmi selama dua jam mencari kucingnya yang tidak ada, dan kamu tetap tersenyum.”
Erna menyipitkan mata. “Jujur, Sin. Apa yang membuatmu sebegini sabarnya? Kamu tidak pernah terlihat marah, bahkan saat kamu harus membersihkan lantai sepuluh kali dalam sehari.”
Sinta menelan rotinya, pandangannya mengarah ke luar jendela, ke arah langit biru yang terbuka lebar. Kebebasan itu, yang ia rebut dengan susah payah, membuatnya menghargai setiap momen pelayanan.
“Dulu... aku pernah di tempat yang sangat gelap, Erna. Di sana, senyum dan kebaikan adalah barang langka,” Sinta berbisik, nadanya berubah serius. “Sekarang aku punya kesempatan untuk memberikan itu. Dan melihat mereka tertawa... itu adalah penebusan terindah buatku.”
Ia tidak menceritakan detail tentang Nini dan Ustazah. Itu adalah rahasia yang ia kunci rapat bersama Alim dan Adil.
Erna mengangguk, mengerti bahwa ada kisah masa lalu yang dalam di balik kesabaran Sinta.
“Baiklah, Suster Penebusan. Sekarang waktunya kita ke kamar obat. Lalu aku harus mengantar Opa Hardi ke dokter gigi. Kamu jaga benteng, ya?”
Sinta berdiri, mengakhiri sarapannya. “Siap, Erna. Aku akan menjaga benteng. Dan aku juga akan mengecek bunga-bunga Ibu Rosa.”
Ruangan itu masih ramai dengan suara tawa dan piring beradu. Sinta kembali ke aktivitasnya, wajahnya memancarkan ketenangan seorang wanita yang, setelah melalui kegelapan, kini menemukan panggilan hidupnya dalam melayani "senja" orang lain.🍵 Kehidupan yang Damai
Setelah sarapan usai dan Ruang Makan mulai sepi, Sinta memulai tugas paginya, bergerak melalui lorong-lorong Panti Jompo "Senja Indah" yang dipenuhi aroma disinfektan lembut dan bunga sedap malam. Inilah rutinitas sehari-hari yang ia cintai—rutinitas yang jauh berbeda dengan kehidupan yang penuh rahasia dan ketakutan di masa lalunya.
Pertama, ia menghampiri Nenek Lasmi yang duduk di kursi roda dekat jendela. Nenek Lasmi kini asyik dengan dirinya sendiri, memandangi pantulan cahaya di kaca seolah-olah sedang menonton siaran televisi yang paling menarik. Sinta berjongkok di samping kursi roda itu.
“Nenek Lasmi, mau Suster sisir rambutnya? Biar cantik seperti boneka Nenek yang dulu sering Nenek ceritakan?”
Nenek Lasmi tidak menjawab, hanya tersenyum tipis. Sinta mengambil sisir dari saku seragamnya, dan dengan gerakan yang sangat sabar dan lembut, ia mulai menyisir rambut Nenek Lasmi yang tipis, memisahkannya helai demi helai. Setiap gerakan Sinta adalah meditasi. Ia tidak terburu-buru. Waktu di panti ini mengalir dengan kecepatan yang berbeda, kecepatan yang menghormati usia dan kelemahan.
Setelah rambut tersisir rapi dan Nenek Lasmi kembali tenggelam dalam dunianya, Sinta beralih ke objek paling menarik di panti itu: Meja Catur.
Di sana, Opa Hardi dan Bapak Toni sedang berhadapan dalam pertarungan senyap yang serius. Catur adalah cara mereka mempertahankan ketajaman pikiran, dan Sinta tahu mereka tidak suka diganggu.
Sinta masuk ke dapur, mengambil teko kecil berisi teh hangat yang baru diseduh dengan sedikit jahe.
👴 Kakek Slamet, Si Paling Manja
Tujuan utamanya adalah Kakek Slamet, yang sedang duduk di kursi berlengan besar di sudut, dekat rak buku.
Kakek Slamet (75), adalah mantan pensiunan pegawai kereta api yang dikenal memiliki temperamen keras di masa mudanya. Namun di panti, ia menjelma menjadi aki-aki paling manja di sana. Dan semua kemanjaannya hanya tertuju pada Sinta.
Saat Sinta mendekat, Kakek Slamet sudah pura-pura batuk dan menghela napas panjang, seolah ia sedang menderita kesepian yang paling parah di muka bumi.
“Sinta! Sinta! Ke mana saja kamu ini? Kamu tahu, tehku sudah dingin sekali! Teh dingin bisa membuatku masuk angin!” keluh Kakek Slamet dengan nada merajuk yang dibuat-buat.
Sinta tersenyum, meletakkan nampan tehnya di meja samping Kakek Slamet.
“Ya ampun, Kakek Slamet, baru sepuluh menit yang lalu Suster bawakan teh ini. Tangan Kakek kan hangat, jadi tehnya belum sempat dingin,” balas Sinta dengan nada bercanda, sambil menuangkan teh baru ke cangkir keramik Kakek Slamet.
“Sluurp.” Kakek Slamet menyesap tehnya, matanya tak lepas dari Sinta. “Tidak enak kalau kamu yang tidak menuangkan. Rasanya beda. Tanganmu ini ajaib, Sin. Teh dari tanganmu itu seperti ada rasa manisnya padahal aku tidak pakai gula.”
Sinta hanya tertawa kecil, ia tahu ini adalah trik Kakek Slamet agar Sinta berlama-lama bersamanya.
“Kakek ini ada-ada saja. Nah, ini tehnya sudah hangat lagi. Dihabiskan, ya, Kakek. Kalau Kakek minum teh hangat, nanti Kakek pasti semangat ikut terapi berjalan sore nanti.”
Sinta tahu bahwa memberi dorongan positif adalah kunci bagi Kakek Slamet, yang seringkali kehilangan motivasi.
Kakek Slamet menghela napas, nadanya kembali merajuk. “Tapi aku tidak mau ikut terapi kalau bukan kamu yang pegang tanganku, Sinta. Aku maunya sama kamu mulu!”
Sinta menggelengkan kepala, pura-pura kesal. “Kakek ini! Masa Suster yang cantik-cantik disuruh pegangi Kakek terus? Nanti suster lain cemburu, lho. Lagipula, kan ada Suster Erna dan Suster Maria yang juga hebat-hebat.”
“Ah, mereka berdua terlalu buru-buru. Mereka tidak sabar. Kamu itu beda,” Kakek Slamet menegaskan, matanya menjadi serius. “Kamu ini seperti... mata air tenang di gurun. Kamu tidak pernah menghakimi, Sinta. Kamu hanya ada.”
Pujian Kakek Slamet, seperti pujian-pujian lain, menusuk Sinta jauh ke dalam. Para lansia ini, dengan kebijaksanaan yang terbentuk dari usia, bisa melihat kejernihan jiwanya.
🧶 Kasih Sayang dan Kehangatan
Setelah memastikan Kakek Slamet asyik menyeruput tehnya, Sinta melanjutkan perjalanannya yang penuh kasih sayang.
Ia melihat ke arah Kakek Danu, seorang mantan pelaut yang selalu merasa kedinginan karena sisa-sisa rematik akut. Kakek Danu kini tertidur lelap di kursi panjangnya, hanya ditutupi selendang tipis.
Sinta bergegas ke ruang penyimpanan, mengambil selimut tebal dan lembut yang sudah disiapkan. Dengan langkah pelan, ia menghampiri Kakek Danu dan menyelimutinya dengan hati-hati hingga ke dagu. Ia memastikan tidak ada angin yang menyentuh kaki Kakek.
“Tidur yang nyenyak, Kakek. Semoga bermimpi tentang laut yang tenang,” bisik Sinta, lalu ia diam sejenak di sisi Kakek Danu, mengamati kedamaian di wajah tua itu.
Kemudian, ia menghampiri meja di mana Ibu Rosa sedang mencoba menjahit sarung bantal yang sudah sobek. Ibu Rosa adalah lansia yang paling aktif dan mandiri, tetapi matanya mulai melemah.
“Sinta! Astaga, ini susah sekali. Kenapa lubang jarum ini mengecil setiap hari? Aku sudah coba empat kali, benangnya tidak mau masuk,” keluh Ibu Rosa, memegang benang dan jarum dengan gemetar.
Sinta menarik kursi di sampingnya. “Sini, Bu. Biar Suster yang bantu.”
Dengan fokus penuh, Sinta mengasukkan benang ke lubang jarum yang kecil itu dalam satu gerakan yang mantap. Ia tidak hanya memasukkan benang; ia memberikan kembali kemandirian Ibu Rosa.
“Nah, sudah masuk, Bu. Sekarang Ibu bisa jahit lagi.”
Ibu Rosa memeluk Sinta dengan erat. “Ya Tuhan, Sinta. Kamu ini memang anak yang dikirim dari surga. Terima kasih, Nak.”
Kehidupan mereka sangat enak dan damai.
Senyum Sinta di pagi hari, bantuan yang ia berikan, interaksi yang penuh ketulusan—semuanya menciptakan atmosfer kehangatan yang menghilangkan kesan suram dari sebuah panti jompo. Sinta tidak hanya merawat tubuh mereka; ia merawat jiwa mereka.
🌙 Mandi dan Sore Hari
Sinta menghabiskan sisa pagi dan siang dengan membantu para lansia: mandi bagi mereka yang tidak mampu (dilakukan dengan sangat menjaga privasi dan martabat mereka), mengganti seprai, dan memastikan obat-obatan diminum tepat waktu.
Saat sore menjelang, Sinta memimpin sesi peregangan ringan di taman belakang, dan tawa para lansia terdengar renyah, seperti lonceng angin.
Sinta kini telah menemukan tujuannya. Kebebasan yang ia dapatkan bukan hanya berarti melarikan diri dari masa lalu, tetapi mengisinya dengan makna yang sejati.