NovelToon NovelToon
Takdir Kedua

Takdir Kedua

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Murid Genius / Teen School/College / Mengubah Takdir / Kelahiran kembali menjadi kuat / Putri asli/palsu
Popularitas:5.7k
Nilai: 5
Nama Author: INeeTha

Shinta Bagaskara terbangun kembali di masa lalu. Kali ini, ia tak lagi takut. Ia kembali untuk menuntut keadilan dan merebut semua yang pernah dirampas darinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Fajar Pramudya Winarta

Fajar Pramudya berjalan santai di belakang, langkahnya tenang, namun matanya tak pernah lepas dari tangan mungil Shinta Bagaskara yang digenggam erat oleh Kakek Winarta. Dari luar, ekspresinya tetap datar, tetapi di dalam hati, ada rasa yang menusuk—sedikit iri, sedikit hangat—sesuatu yang tak bisa ia definisikan.

Lorong rumah besar itu dipenuhi cahaya lampu kuning yang lembut. Bayangan tubuh mereka memanjang di lantai marmer. Sesekali terdengar suara jam tua berdentang pelan, menambah nuansa hangat yang akrab.

“Shinta, sejak Kakek pulang, Kakek terus kepikiran kamu. Rasanya kangen sekali.” Suara Kakek Winarta terdengar parau, penuh kasih sayang, tapi matanya melirik cucunya dengan kesal. “Semuanya gara-gara bocah ini! Dia menahan Kakek terus di rumah sakit. Setelah pulang pun, dia tidak izinkan Kakek keluar. Katanya mau cari kamu, tapi butuh waktu lama baru bisa ketemu!”

Shinta tersenyum tipis. Ia sudah terbiasa mendengar ocehan cerewet seperti itu, tapi entah kenapa, dari mulut Kakek Winarta, rasanya begitu hangat—seolah ia benar-benar dirindukan, benar-benar dianggap penting.

“Shinta, umurmu berapa sekarang?” tanya Kakek Winarta, nadanya ringan tapi matanya sekilas melirik ke arah Fajar.

Fajar, yang dari tadi hanya diam, langsung menajamkan telinga.

“Dua bulan lagi genap delapan belas, Kek,” jawab Shinta manis. Senyumnya jernih, polos, membuat ruang itu serasa lebih terang.

“Delapan belas ya.” Senyum Kakek Winarta melebar, garis halus di wajahnya semakin dalam.

Fajar terdiam, namun dalam hatinya kata “delapan belas” bergema keras. Ia memejamkan mata sepersekian detik, menahan sesuatu yang bergolak.

Kakek Winarta tampak puas. Menurutnya, jarak usia lima tahun dengan cucunya pas sekali. Ia melirik Fajar sebentar, lalu menepuk tangan Shinta.

“Shinta, ini cucuku. Baru 23 tahun, tapi nilainya selalu gemilang. Bahkan di usia 21, ia sudah bergelar doktor dari Harvard Business School, kampus ternama dunia. Sekarang, ia sudah membangun perusahaannya sendiri.” Suaranya terdengar bangga.

Ia bahkan menambahkan dengan sengaja dilebih-lebihkan, “Fajar ini belum pernah pacaran, tidak pernah ikut kencan buta, bahkan belum pernah suka pada siapa pun. Wajahnya tampan, pintar masak, hatinya lembut, dan perhatian. Jadi istrinya pasti bahagia sekali.”

Shinta hanya mengangguk sopan. Baginya, semua pujian itu wajar saja, tidak ada maksud tersembunyi.

Namun Fajar justru menegang. Jari-jarinya yang bersandar di lutut mengepal diam-diam. Wajahnya tetap tenang, tapi keringat dingin muncul di telapak tangannya. Ia bukan orang yang mudah gugup, tapi di hadapan gadis itu, rasanya semua pertahanan runtuh.

Kakek Winarta melirik sekilas, puas melihat cucunya sedikit kikuk.

“Shinta, kalau nanti kamu merasa diperlakukan tidak adil di Kota H, jangan sungkan datang ke Kakek. Di sini Kakek masih punya suara.” Lalu dengan suara lebih pelan, ia menambahkan, “Kalau perlu, cari juga Fajar.”

Shinta menunduk sedikit, senyumnya tulus. “Terima kasih, Kek.”

“Kalau bilang terima kasih, berarti masih anggap Kakek orang luar.” Kakek Winarta pura-pura merengut, tapi genggamannya pada tangan Shinta semakin erat.

Obrolan mereka berlanjut lebih dari satu jam. Fajar hanya duduk diam di samping, beberapa kali melirik jam tangannya. Ia merasa tidak diberi ruang sama sekali.

Akhirnya ia bersuara, nada suaranya tetap datar. “Kek, apa Kakek tidak lapar?”

“Kalau kamu lapar, makan saja. Jangan pedulikan aku,” jawab sang kakek enteng.

Ekspresi Fajar tidak berubah, tapi nada suaranya mengeras setengah nada. “Shinta dari siang belum makan apa-apa.”

Shinta terkejut, menoleh padanya. Ia bahkan tidak sadar belum makan, tapi Fajar rupanya memperhatikan. Hatinya bergetar pelan.

Kakek Winarta menepuk jidat. “Aduh, Kakek sampai lupa! Shinta pasti sudah kelaparan ya.” Tanpa pikir panjang, ia langsung menarik Shinta ke meja makan.

Fajar hanya bisa menyusul, duduk dengan wajah datar di seberang Shinta.

Meja makan besar itu dipenuhi hidangan hangat—rendang, sup ayam, sayur tumis, dan buah segar. Rumah terasa lebih hidup oleh aroma masakan. Namun kebiasaan keluarga Winarta yang jarang bicara saat makan membuat suasana agak hening.

Shinta hanya mengambil sedikit nasi. Belum setengah piring, ia sudah meletakkan sendok.

Fajar menatapnya lama, alisnya berkerut. Tubuh itu terlalu kurus. Pergelangan tangannya kecil, rapuh. Kalau begini terus, dia bisa sakit… gumamnya dalam hati.

Kakek Winarta sempat melirik cucunya. Ia tersenyum puas—Shinta benar-benar mampu membuat Fajar, yang terkenal dingin, jadi peduli.

Setelah makan malam, langit musim panas sudah gelap. Shinta harus kembali ke keluarga Bagaskara.

Kakek Winarta jelas enggan melepasnya. Ia menggenggam tangan Shinta erat-erat, matanya teduh. “Shinta, kamu harus sering datang menjenguk Kakek ya. Tinggal sendirian itu sepi, tidak ada yang menemani.”

Shinta tersenyum lembut. “Pasti, Kek.”

Sekilas, matanya bertemu dengan Fajar. Ada gurau samar di sana.

Fajar menghela napas panjang, lalu memijit pelipisnya. “Kek, sudah malam. Biar aku antar Shinta pulang.”

Kakek Winarta akhirnya melepaskan, berdiri di depan rumah sambil menatap mobil yang pergi. “Cucuku sudah punya calon istri, jadi malas peduli sama kakeknya…” gumamnya, meski bibirnya tersenyum puas.

---

Perjalanan pulang hening, hanya diisi suara mesin mobil yang berderu halus. Shinta duduk tenang, tangannya meremas rok. Sesekali ia melirik jendela, tapi sesekali pula ia menangkap pantulan wajah Fajar di kaca—dingin, tapi ada sesuatu yang berbeda di baliknya.

Sampai di depan rumah, Shinta hendak turun, tapi Fajar menahannya. “Shinta, kamu punya ponsel?”

Shinta sempat bingung, lalu mengangguk. Ia menyerahkan ponselnya.

Fajar mengetik sesuatu dengan tenang. Cahaya layar memantul ke wajahnya, membuat rahang tegasnya terlihat semakin menawan. Shinta tanpa sadar terpaku menatapnya.

Fajar menyadarinya, bibirnya terangkat tipis, dan ia sengaja memperlambat gerakan jari-jarinya.

Akhirnya ia menyerahkan kembali ponsel itu. Kontak pertama yang tersimpan di sana hanya satu: Kak Fajar.

“Kalau ada apa-apa, telepon aku. Aku akan selalu ada,” ucapnya singkat, penuh penekanan.

Shinta menggenggam ponsel itu erat-erat. “Kak Fajar… terima kasih.” Suaranya pelan, tapi tulus.

Fajar menatapnya lama, lalu tangannya terangkat, mengusap pelan rambut Shinta. “Malam agak dingin. Masuklah dulu.”

Shinta menatapnya sejenak, lalu tersenyum lembut. “Kalau begitu… sampai jumpa.”

Fajar berdiri di samping mobil, memperhatikan sampai punggung mungil itu menghilang di balik pintu rumah. Dada dinginnya bergetar. Malam itu, ia sadar—ada sesuatu pada gadis polos itu yang perlahan menyingkirkan segala dingin di dalam dirinya.

1
Narina Chan
ayo lanjutkan kaka
Robiirta
ayo lanjut update yg banyak kaka
Robiirta
lanjutkan kaka
Na_dhyra
2 bab gak cukup beb...hihihi
Awkarina
update yang banyak kaka
Awkarina
mam to the pus🤣🤣🤣
Awkarina
jurusnya teh hijau nih👍👍👍
Awkarina
dia jijik woy😄😄😄
Awkarina
bisa gitu🤭
Awkarina
antagonis pro nih👍
Awkarina
ini dia yang marah🤣🤣🤣
Awkarina
mati aja lo😄😄😄
Awkarina
lah dia mupeng😄😄😄
Awkarina
ko saya pengen nabok y🤣🤣🤣
Awkarina
lanjutkan 👍👍👍👍
Awkarina
lanjutkan 😍😍😍😍
Awkarina
Mantap ceritanya lanjutkan sampai tamat ya thor, aku menunggu
Robiirta
👍👍👍👍👍 LAnjutkan💪💪💪💪
Robiirta
lanjutkan💪💪💪💪
Robiirta
😍😍😍😍😍😍😍😍😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!