Penasaran dengan cerita nya lansung aja yuk kita baca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19: Keraguan yang Menyusup
Perjalanan pulang dari restoran itu terasa lebih panjang dari biasanya. Meskipun Damar duduk di kursi pengemudi dengan tenang, Arini merasa ada jurang yang tiba-tiba menganga di antara mereka. Foto di ponselnya tadi seolah-olah menjadi hantu yang menertawakan setiap inci kenyamanan yang baru saja ia rasakan. Benarkah Damar, pria yang menjadi pelabuhan emosionalnya selama beberapa minggu terakhir, sebenarnya memiliki agenda tersembunyi dengan kompetitor bisnisnya?
"Kau sangat diam sejak tadi, Arini. Apa ada yang salah dengan makanannya?" tanya Damar lembut saat mereka berhenti di lampu merah.
Arini menoleh, menatap profil samping wajah Damar yang tegas. "Hanya memikirkan proyek baru, Damar. Kau tahu kan, desainer tidak pernah benar-benar berhenti bekerja," jawab Arini, mencoba menjaga suaranya tetap stabil.
Begitu sampai di rumah, Arini segera masuk ke ruang kerjanya. Ia tidak bisa tidur. Ia mengirimkan foto misterius itu kepada Rendra melalui pesan terenkripsi. 'Cari tahu kapan foto ini diambil dan apa kapasitas Damar dalam pertemuan itu,' tulisnya.
Wanita kuat tidak mengambil keputusan berdasarkan emosi semata. Arini telah belajar dari kegagalannya dengan Adrian; ia tidak akan lagi membiarkan cinta atau kenangan masa lalu membutakan matanya dari fakta. Jika Damar mengkhianatinya, maka Arini akan menjahit "hukuman" yang jauh lebih berat dari yang ia berikan pada Adrian.
Keesokan harinya di butik, Arini bekerja dengan intensitas yang menakutkan. Ia memacu stafnya untuk menyelesaikan koleksi Spring/Summer lebih cepat dari jadwal. Di tengah kesibukannya, Damar datang membawakan makan siang, namun Arini menyambutnya dengan sikap yang formal, hampir dingin.
"Kau kembali ke mode 'Zirah Besi', ya?" canda Damar, mencoba mencairkan suasana.
"Bisnis mode sedang keras, Damar. Aku tidak bisa lengah sedikit pun," sahut Arini tanpa mengalihkan pandangan dari sketsanya.
Tiba-tiba, ponsel Arini berdering. Panggilan dari Rendra. Arini segera mengangkatnya dan menjauh dari Damar.
"Arini, aku sudah memeriksa foto itu," suara Rendra terdengar serius. "Foto itu diambil dua hari yang lalu di sebuah hotel di Jakarta Pusat. Pria itu adalah Marco, pemilik firma pesaingmu. Tapi ada satu hal yang kau harus tahu..."
Arini menahan napas. "Apa?"
"Damar bertemu Marco bukan untuk menjual desainmu. Dia bertemu Marco untuk membeli kembali saham-saham butikmu yang sempat coba dijual secara ilegal oleh Adrian beberapa bulan lalu lewat pasar gelap. Damar menggunakan seluruh tabungannya di Paris untuk memastikan kepemilikan butikmu tetap utuh dan tidak jatuh ke tangan kompetitor."
Dunia seolah berhenti berputar bagi Arini. Ia merasakan dadanya sesak, bukan karena pengkhianatan, tapi karena rasa bersalah yang luar biasa. Sementara ia meragukan Damar, pria itu justru sedang mempertaruhkan segalanya untuk melindungi kerajaan yang Arini bangun.
Arini menutup teleponnya dengan tangan gemetar. Ia berbalik dan melihat Damar sedang berdiri di dekat jendela, menatap deretan manekin dengan pandangan yang tenang.
"Damar..." bisik Arini.
Damar menoleh, tersenyum kecil. "Rendra sudah meneleponmu? Aku sebenarnya ingin ini menjadi kejutan saat persidangan asetmu selesai nanti. Aku tidak ingin kau merasa berutang budi, Arini. Aku melakukannya karena aku ingin kau punya tempat yang aman untuk terus berkarya."
Arini berjalan mendekati Damar. Kali ini, ia tidak menahan diri. Ia memeluk pria itu dengan erat, menyembunyikan wajahnya di dada Damar. Air mata yang selama ini ia tahan sebagai simbol kekuatan, akhirnya tumpah sebagai bentuk kelegaan.
"Maafkan aku... aku sempat meragukanmu," isak Arini.
Damar mengusap rambut Arini dengan lembut. "Aku mengerti. Luka dengan benang khianat itu memang sulit sembuh. Tapi ingat, Arini, tidak semua benang diciptakan untuk menjerat. Ada benang yang diciptakan untuk menyatukan kembali apa yang sudah hancur."
Malam itu, Arini menyadari bahwa kekuatan sejati bukan hanya tentang menghancurkan musuh, tapi juga tentang memiliki keberanian untuk mempercayai orang yang tepat. Jahitan di hatinya kini mulai terasa lebih halus, tidak lagi kasar dan menyakitkan.