Xiao Chen selalu dianggap murid terlemah di Klan Xiao.
Tidak punya bakat, selalu gagal dalam ujian, dan menjadi bahan ejekan seluruh murid.
Namun tidak ada yang tahu kebenaran sesungguhnya bahwa tubuhnya menyembunyikan darah naga purba yang tersegel sejak lahir.
Segalanya berubah saat Ritual Penerimaan Roh Penjaga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9: Duri dalam Hati
Malam turun menyelimuti Kota Awan Putih. Angin musim gugur berhembus dingin, membawa daun-daun kering berputar di jalanan sepi.
Xiao Chen kembali dari Hutan Hitam bukan sebagai pahlawan yang disambut sorak sorai, melainkan sebagai bayangan yang bergerak cepat di bawah sinar bulan. Tubuhnya kotor, pakaiannya robek, namun matanya tajam dan jernih.
Dia tidak pulang ke Klan Xiao. Firasat buruk yang menghantuinya selama di hutan menuntun langkah kakinya menuju tembok tinggi kediaman Keluarga Su.
Kabar yang dia dengar dari pembicaraan penjaga gerbang kota tadi seperti petir di siang bolong: "Putri Keluarga Su akan dibawa ke Sekte Pedang Giok besok pagi, sebelum matahari terbit."
"Besok pagi..." desis Xiao Chen. Rahangnya mengeras. "Mereka bahkan tidak membiarkan dia melihatku bertanding di turnamen."
Dengan kelincahan barunya, Xiao Chen melompati tembok setinggi tiga meter itu tanpa suara. Dia mendarat di taman belakang, tempat yang sangat dia kenal—tempat dia dan Qingyue sering menghabiskan masa kecil bersama.
Di sana, di bawah pohon persik yang daunnya mulai berguguran, berdiri sesosok gadis berjubah putih.
Su Qingyue.
Dia berdiri membelakangi Xiao Chen, menatap bulan purnama dengan bahu yang gemetar halus. Di sekelilingnya, beberapa koper barang sudah dikemas rapi, siap diangkut.
"Kau datang," suara Qingyue terdengar lirih, bahkan sebelum Xiao Chen sempat menyapa. Dia tidak berbalik.
"Kau akan pergi tanpa pamit?" tanya Xiao Chen, melangkah mendekat. Suaranya serak menahan emosi.
Qingyue berbalik perlahan. Wajahnya pucat, matanya sembab dan merah, kontras dengan kecantikan dinginnya yang biasa. Melihat kondisi Xiao Chen yang berantakan penuh luka gores dan darah kering, air mata kembali menggenang di pelupuk matanya.
"Lihat dirimu..." Qingyue tersenyum sedih. "Kau selalu memaksakan diri."
"Aku melakukannya untukmu. Untuk janji kita," Xiao Chen berhenti dua langkah di depannya. "Aku sudah lebih kuat, Qingyue. Aku sudah mencapai Tingkat 6. Di turnamen besok, aku bisa membuktikan pada kakekmu—"
"Tidak ada gunanya, Chen," potong Qingyue lembut namun tegas.
Hening. Angin malam terasa semakin dingin menusuk tulang.
"Apa maksudmu?"
Qingyue menarik napas panjang, berusaha menstabilkan suaranya. "Kakek tidak peduli kau menang atau kalah. Keputusan sudah dibuat. Tetua dari Sekte Pedang Giok sudah tiba. Jika aku tidak pergi besok pagi... mereka akan menghancurkan Klan Xiao. Dan target pertama mereka adalah kau."
Tangan Xiao Chen terkepal erat hingga buku jarinya memutih. "Biarkan mereka mencoba. Aku bukan lagi sampah yang bisa mereka injak."
"Kau tidak mengerti!"
Qingyue tiba-tiba maju, mencengkeram kerah baju compang-camping Xiao Chen. Pertahanan dirinya runtuh. Air matanya tumpah membasahi pipi.
"Mereka bukan lawanmu sekarang! Tetua sekte itu berada di Alam Inti Emas! Satu jentikan jarinya bisa meratakan seluruh kota ini! Kakekku membuat kesepakatan: Aku ikut dengan patuh, menjadi murid sekte, dan memutuskan hubungan denganmu... atau mayatmu akan ditemukan di selokan besok pagi."
Xiao Chen terdiam, merasakan getaran ketakutan di tubuh gadis yang dicintainya itu. Bukan takut untuk dirinya sendiri, tapi takut kehilangan Xiao Chen.
"Jadi kau memilih pergi untuk menyelamatkanku?" tanya Xiao Chen pelan.
"Aku tidak punya pilihan..." isak Qingyue, membenamkan wajahnya di dada bidang Xiao Chen. "Aku ingin bersamamu. Aku ingin melihatmu menang. Tapi aku lebih memilih hidup di dunia di mana kau masih bernapas, meskipun kita terpisah, daripada melihatmu mati di depan mataku."
Xiao Chen merasakan dadanya sesak. Rasa sakit ini jauh lebih parah daripada saat tulang-tulangnya ditempa ulang oleh darah naga. Ini adalah rasa tidak berdaya. Meskipun dia sudah memiliki warisan Naga Abyssal, dia masih terlalu lemah untuk melawan raksasa seperti Sekte Pedang Giok saat ini.
Perlahan, Xiao Chen mengangkat tangannya, memeluk Qingyue erat. Menyerap aroma tubuhnya untuk terakhir kalinya.
"Qingyue, tatap aku."
Gadis itu mengangkat wajahnya yang basah.
Xiao Chen menatap tajam ke dalam mata indah itu. Pupil vertikalnya berkedip samar.
"Pergilah," kata Xiao Chen tegas.
Mata Qingyue membelalak kaget. "Chen?"
"Pergilah ke Sekte Pedang Giok. Lindungi dirimu. Jadilah kuat," lanjut Xiao Chen. Dia melepaskan pelukannya dan memegang bahu gadis itu. "Aku tidak akan memintamu tinggal dan mati bersamaku sekarang. Itu egois. Tapi dengarkan ini..."
Xiao Chen mengambil tangan Qingyue, meletakkannya di dadanya, tepat di atas jantungnya yang berdetak kuat.
"Ini bukan perpisahan. Ini adalah deklarasi perang."
"Mereka memisahkan kita karena mereka pikir aku lemah. Mereka pikir aku semut yang tidak layak menatap naga di langit. Biarkan mereka berpikir begitu."
Xiao Chen mengambil sebuah benda dari sakunya—Inti Monster Serigala Raja yang dia buru di malam terakhir. Dia meletakkannya di telapak tangan Qingyue.
"Bawa ini. Sebagai bukti bahwa Xiao Chen yang kau kenal tidak pernah menyerah."
Qingyue menggenggam inti monster yang masih hangat itu. Dia mengangguk, menghapus air matanya dengan kasar. Tatapan matanya berubah. Kesedihan itu perlahan digantikan oleh tekad yang sama kuatnya.
"Baik," bisik Qingyue. "Aku akan pergi. Aku akan berlatih di Sekte Pedang Giok sampai tidak ada yang bisa mengendalikanku lagi. Aku akan menunggumu, Xiao Chen. Jangan buat aku menunggu terlalu lama."
"Tiga tahun," jawab Xiao Chen mantap. "Beri aku tiga tahun. Aku akan datang ke gerbang Sekte Pedang Giok, dan aku akan menjemputmu pulang dengan cara yang membuat seluruh dunia gemetar."
Tiba-tiba, suara langkah kaki berat terdengar dari arah lorong.
"Nona Muda! Waktunya istirahat. Kereta berangkat dua jam lagi!" Suara penjaga terdengar mendekat.
Qingyue tersentak. Dia menatap Xiao Chen untuk terakhir kalinya, lalu dengan gerakan cepat, dia berjinjit dan mengecup bibir Xiao Chen—ciuman yang terasa asin oleh air mata, singkat namun penuh dengan perasaan yang dalam.
"Hiduplah, Naga Bodoh-ku," bisiknya.
Sebelum penjaga muncul di tikungan, Qingyue mendorong Xiao Chen ke arah bayangan tembok. "Pergi! Sekarang!"
Xiao Chen melangkah mundur, menyatu dengan kegelapan malam berkat teknik penyembunyian yang diajarkan Yao Huang.
Dia melihat dari kejauhan saat Qingyue menghapus air matanya, memasang kembali topeng wajah dinginnya, dan berbalik menghadapi para penjaga yang datang untuk "mengawalnya". Gadis itu berjalan masuk ke dalam rumah mewahnya yang terasa seperti penjara, punggungnya tegak dan angkuh.
Di dalam kegelapan, Xiao Chen menyentuh bibirnya.
"Manusia dan drama kecil mereka," suara Yao Huang terdengar di kepalanya, namun kali ini nadanya tidak mengejek. "Rasa sakit perpisahan adalah bahan bakar terbaik untuk kultivasi, Bocah. Simpan rasa sakit itu. Bakar menjadi kekuatan."
Xiao Chen berbalik, melompati tembok dan mendarat di jalanan sepi di luar.
Dia tidak menoleh lagi ke belakang. Wajah sedihnya telah hilang. Yang tersisa hanyalah wajah dingin seorang pejuang yang siap membantai siapa pun yang menghalanginya.
Matahari akan segera terbit. Turnamen Klan Xiao akan segera dimulai.
Dan Xiao Chen butuh pelampiasan untuk amarah yang membakar dadanya ini.
"Xiao Long..." gumamnya, menyebut nama sepupunya dengan nada mematikan. "Kau akan menjadi samsak pertamaku."