Pemuda 18 tahun yang hidup sebatang kara kedua orangtuanya dan adeknya meninggal dunia akibat kecelakaan, hanya dia yang berhasil selamat tapi pemuda itu harus merelakan lengan kanannya yang telah tiada
Di suatu kejadian tiba-tiba dia mempunyai tangan ajaib dari langit, para dewa menyebutnya golden Hands arm sehingga dia mempunyai dua tangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarunai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Satu tendangan bersih mendarat di dadanya.
Tubuh preman itu terpental seperti karung, menghantam tanah keras. Bruak! Darah menyembur dari mulutnya saat dia jatuh terguling dan tak sadarkan diri.
“Brengsek! Cepat, kita serang bocah ini bersamaan! Sepertinya dia memang punya kemampuan!” teriak salah satu dari mereka yang kini mulai panik.
Tanpa ragu, tiga preman yang tersisa langsung menyerbu Han dari segala arah. Tinju, tendangan, dan bahkan sebilah pisau kecil menyambar bersamaan.
Wuss!
melihat itu Han, tidak tinggal diam. ia melesat bagai angin.
Boom!
Satu pukulan menghantam dada preman pertama hingga terlempar ke tembok.
Krakk!
Siku Han menghantam lengan lawan berikutnya—suara tulang patah bergema.
Agrhh!
“Ka-kaki ku...!”
“T-tangan ku patah...!”
Teriakan kesakitan bersahut-sahutan. Tubuh-tubuh preman itu berserakan di tanah, mengerang dan menggeliat dalam penderitaan.
Han berjalan perlahan ke arah salah satu preman yang kini memegangi kakinya yang patah. Ia berjongkok, wajahnya datar namun dingin menakutkan.
"Dengar baik-baik," ucapnya tajam. "Kalau kalian tidak ingin ku buat cacat, jangan pernah memalak orang lemah lagi… Apalagi ibu penjual itu."
Preman itu mengangguk, wajahnya pucat pasi. tidak ada lgi wajah angkuh maupun meremehkan hanya terlihat wajah ketakutan terhadap anak muda di depannya ini. "I-iya, Tuan muda! Kami bersumpah… kami tudak akan ganggu siapa-siapa lagi…"
Han menatap mereka sekilas, wajahnya tak berubah sedikit pun. Dalam hatinya, muncul keraguan—apakah kata-kata preman itu bisa dipercaya? Atau justru mereka akan kembali dengan lebih banyak orang, untuk menuntut balas? Tapi Han tak terlalu peduli. Ia tahu satu hal: kekuatan yang diwarisi dari Dewa Kehidupan telah menjadikannya seorang yang penuh tantangan, memberantas orang-orang yang sudah keluar batas termasuk para preman dari mafia tengkorak hitam ini.
Dengan napas tenang, Han berdiri, membalikkan badan, lalu berjalan menuju ibu penjual. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang dan meletakkannya di atas meja.
"Ini, bu. Untuk makanannya… dan ganti rugi kursi yang rusak."
Ibu penjual itu hanya bisa memandang Han dengan mata berkaca-kaca, mulutnya terbuka ingin berbicara, tapi tak ada suara yang keluar. Han hanya tersenyum tipis dan mengangguk, lalu pergi meninggalkan tempat itu.
Langkah Han kini mengarah pada satu tujuan: toko perhiasan. Dalam benaknya, ada dorongan kuat untuk merasakan sedikit kenyamanan hidup. Seumur hidupnya, Han hanya tahu kerja keras dan kesederhanaan. Tapi kini, ketika ia memiliki kesempatan—mengapa tidak merasakan sedikit kemewahan? Ia ingin membeli rumah, sebuah motor untuk bepergian, dan mungkin… kembali bersekolah, mengejar hal-hal yang dulu hanya mimpi.
Sesampainya di toko emas/toko perhiasan tempat ia pernah berkunjung, tak ada lagi penghalang. Satpam yang dulu bersikap arogan kini hanya menunduk sopan. Karyawan wanita yang kemarin tampak cuek kini tersenyum ramah, bahkan terlalu ramah.
Klara sepertinya telah memberikan peringatan keras kepada seluruh stafnya agar tidak memandang rendah siapa pun—apalagi mereka yang berpakaian lusuh.
"Selamat siang, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" sapa Lisa sopan, senyum terbaiknya terpampang jelas.
"Aku ingin bertemu Nona Klara. Aku datang untuk menjual beberapa emas dan berlian," ujar Han singkat, tak ingin bertele-tele.
Lisa sempat terlihat gugup, tapi langsung mengangguk. "T-tentu, Tuan. kebetulan, Nona klara pagi ini sudah ada di ruangannya, Silakan duduk dulu. Akan saya panggilkan beliau."
Lisa berlari ke lantai atas, dirinya tidak ingin membuat kolagen Bosnya menunggu lama.
Han menuju sofa empuk yang disediakan. Tak lama kemudian, Klara datang menghampiri dengan langkah ringan, dan senyum hangat di wajahnya.
"Hai, Han... Kudengar kamu ingin menjual emas dan berlian lagi," katanya dengan nada akrab, tidak lagi formal seperti sebelumnya, seolah mereka adalah sahabat yang sudah lama tidak bertemu.
Han mengangguk pelan dan membuka tasnya.
Begitu isi tas terlihat, Klara spontan menutup mulutnya dengan tangan. Matanya melebar, bergantian menatap Han dan tumpukan emas serta berlian di depannya.
"Ka-kamu serius ingin menjual semua ini?"
Han hanya mengangguk singkat. "Ini cuma sebagian kecil yang aku punya. dan masih ada banyak lagi."
Klara nyaris kehilangan kata-kata. Meski rasa penasaran menggerogoti pikirannya, ia menahan diri. Ia tahu, terkadang lebih baik tidak bertanya soal asal-usul seseorang—terutama seseorang yang penuh misteri seperti Han.
Setelah menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, Klara memberi isyarat pada stafnya untuk menghitung nilai dari emas dan berlian itu.
Di matanya, Han bukan lagi sekadar pemuda kampung yang berpakaian lusuh. Ia adalah teka-teki yang perlahan mulai menunjukkan kilau yang luar biasa.
"Ini Tuan. nona Klara, emas 5000 gram, seharga 10 Miliar. sedangkan untuk berlian cut D if ada 30 karat seharga 1,9 terliun total keseluruhan ada 1 triliun 910 miliar."
Suara karyawan itu nyaris tak terdengar di akhir kalimatnya. Tangan yang memegang dokumen transaksi tampak sedikit bergetar. Tak hanya karena jumlahnya yang fantastis, tapi karena tak menyangka bahwa semua itu datang dari seorang anak muda dengan tampilan sederhana.
Han hanya tersenyum kecil, tenang di luar—padahal jantungnya berdetak cepat. Dalam hatinya, tentu saja ia bahagia. Siapa yang tidak akan bahagia saat mendengar bahwa harta yang dibawanya kini bernilai hampir dua triliun?
Namun, ia menahan ekspresi itu. Tidak perlu terlihat terkejut. Ia tahu, dunia ini menilai dari apa yang tampak. Dan kali ini, biarlah dunia menilai bahwa ia bukan anak muda biasa.
Klara, di sisi lain, tetap menunjukkan ketenangan. Meski dalam benaknya, nominal itu hampir setara dengan setengah saham perusahaan perhiasan yang ia kelola saat ini. Tapi ia tahu: menghadapi Han, keterkejutan harus disimpan. pemuda ini… misterius dan penuh potensi.
"Han, kamu sudah punya rekening, kan?" tanya Klara, menyembunyikan kegugupannya dengan senyum ramah.
“Sudah. Ini nomor rekening saya,” ujar Han sambil menyerahkan buku tabungannya.
Setelah semua proses transaksi selesai dan dana dalam rekening sudah bertambah, Han menoleh ke Klara.
“Oh ya… Klara, apa kamu tahu tempat atau orang yang menjual rumah? Aku ingin membeli satu.”
Klara seketika tersenyum lebar, seolah menunggu pertanyaan itu.
“Kamu ingin beli rumah? Wah, kebetulan sekali. Keluarga Subyo—ya itu keluarga kami sendiri—punya bisnis properti. Kalau kamu tidak keberatan, aku antar langsung sekarang.”
Han mengangguk sopan. "Kalau begitu, saya akan merepotkan Nona Klara kali ini."
"Jangan terlalu formal begitu, Han," jawab Klara terkekeh. "Ayo, kita berangkat."
Dua puluh menit berlalu dalam perjalanan yang cukup nyaman. Mobil mewah Klara akhirnya memasuki area perumahan elit, dengan pagar tinggi dan arsitektur modern. Han menatap gedung bertingkat di hadapannya—sebuah properti yang jelas jauh di atas standar rumah biasa.
"Ini kantor properti keluarga Subyo. Ayo, Han," ucap Klara sambil turun dari mobil.
Begitu mereka memasuki lobi yang mewah, seorang pria paruh baya yang duduk di kursi tunggu langsung berdiri. Begitu melihat Klara, wajahnya langsung bersinar dan ia menyambut dengan ramah.