Sebuah kisah tentang cinta yang berubah menjadi jeruji. Tentang perempuan yang harus memilih: tetap dalam pelukan yang menyakitkan, atau berjuang pulang ke dirinya sendiri.
Terjebak di Pelukan Manipulasi menceritakan kisah Aira, seorang perempuan yang awalnya hanya ingin bermitra bisnis dengan Gibran, pria karismatik .
Namun, di balik kata-kata manis dan janji yang terdengar sempurna, tersembunyi perangkap manipulasi halus yang perlahan menghapus jati dirinya.
Ia kehilangan kontrol, dijauhkan dari dunia luar, bahkan diputus dari akses kesehatannya sendiri.
Ini bukan kisah cinta. Ini kisah bagaimana seseorang bisa dikendalikan, dikurung secara emosional, dan dibuat merasa bersalah karena ingin bebas.
Akankah Aira menemukan kekuatannya kembali sebelum segalanya terlambat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nandra 999, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab - 20 Ketika Bayangan Itu Kembali
Sudah hampir sebulan sejak Aira mulai bekerja online dari rumah. Meski penghasilannya belum besar, ia mulai menikmati rutinitas barunya. Bangun pagi, membuat teh hangat, menulis artikel, lalu di sore hari menulis kisah penyintas di media sosial. Tak disangka, beberapa tulisannya mulai viral. Ia bahkan diminta jadi kontributor tetap di sebuah platform khusus perempuan.
“Dulu aku hanya menulis untuk bertahan hidup,” bisik Aira suatu pagi di depan cermin. “Sekarang aku menulis untuk melindungi hidupku.”
Namun, kedamaian itu tidak bertahan lama.
Hari itu, Aira menerima pesan dari akun anonim.
“Jangan sok suci. Aku tahu siapa kamu.”
Aira terpaku. Tubuhnya membeku. Ada ketakutan yang langsung menyelinap ke tengkuknya. Ia mencoba mengabaikan pesan itu, menganggapnya hanya komentar iseng netizen.
Tapi esoknya, pesan serupa datang lagi.
“Berhenti menulis. Kalau tidak, aku yang akan bercerita siapa kamu sebenarnya.”
Tangannya gemetar. Ia lalu terduduk di lantai. Nafasnya mulai sesak. Untuk pertama kalinya setelah sekian minggu tenang, kepanikan kembali menyerangnya seperti gelombang besar yang menenggelamkan.
Malam itu, Aira tak bisa tidur. Bayang-bayang Gibran muncul lagi di kepalanya. Suara kerasnya. Tangan kasarnya. Kalimat manipulatifnya.
“Kalau kamu cerita ke orang, hidup kamu yang hancur. Bukan aku.”
Aira menjerit dalam hati.
Keesokan harinya, sesuatu yang lebih buruk terjadi.
Salah satu tulisan Aira tiba-tiba hilang dari platform. Tak lama, ia mendapat surel dari pihak redaksi:
“Kami menerima aduan serius mengenai tulisan Anda. Isinya dianggap fitnah dan mengganggu privasi seseorang. Mohon klarifikasi.”
Jantung Aira berdetak kencang. Ia tidak menyebut nama siapa pun di tulisannya. Tidak ada identitas yang terbuka. Tapi seseorang dengan jelas ingin membungkamnya.
Aira membuka ponselnya dan menelpon Tari teman nya .
Aira :
“Aku takut, Tari“Aku rasa… Gibran tahu apa yang aku lakukan. Aku rasa… dia mau menghancurkan aku lagi.”
Tari :
“Kamu nggak sendiri. Kamu nggak akan dihancurkan lagi. Sekarang kamu punya suara, kamu punya dukungan. Kita bisa lawan ini sama-sama.”
Aira:
“Tapi aku belum cukup kuat. Aku masih goyah. Bahkan sekarang aja aku gemetar cuma karena pesan itu.”
Tari :
“Kamu gemetar, tapi kamu nggak mundur. Itu artinya kamu kuat.”
Air mata Aira mengalir. Untuk pertama kalinya sejak ia menerima pesan ancaman itu, ia merasa aman dalam pelukan Gibran.
Malam itu, Aira menulis sesuatu yang baru. Bukan untuk dibagikan, tapi untuk dirinya sendiri.
“Kalau suaraku membuat pelaku merasa terancam, berarti tulisanku menyentuh kebenaran. Aku tak akan diam. Jika aku harus memilih antara hidup tenang dalam ketakutan, atau hidup bebas dengan keberanian—aku akan memilih yang kedua.”
Hari-hari berikutnya, Aira memperkuat perlindungan dirinya.
Ia mengubah semua password.
Mengaktifkan autentikasi ganda.
Menghapus jejak lama yang masih tertinggal di media sosial.
Dan yang paling penting, ia bergabung dalam komunitas penyintas yang benar-benar saling mendukung.
Dari sana, ia belajar: bahwa serangan seperti ini adalah bagian dari siklus kekerasan emosional, terutama saat pelaku merasa kehilangan kendali atas korbannya.
“Ini bukan salahmu, Aira,” ujar salah satu mentor komunitas. “Ini adalah bukti bahwa kamu sedang merebut kembali hidupmu.”
Aira menangis lagi. Tapi kali ini bukan karena lemah, melainkan karena sadar… ia tidak sendiri lagi.
Tapi bahaya belum benar-benar pergi.
Aira Tau
Pemulihan bukan jalan lurus. Ada lubang, tikungan, bahkan jalan mundur. Tapi selama ia masih mau maju—meski harus dituntun—ia tidak kalah.
Dan kali ini, ia tidak akan diam. Tidak akan takut. Tidak akan dikalahkan oleh bayangan masa lalu.
Beberapa hari berlalu.
Aira mulai merasa sedikit tenang dari teroran Gibran.
ia kembali menulis , namun rasa takut belum benar-benar hilang. Setiap suara motor lewat masih membuatnya menoleh cepat. Setiap pesan masuk masih membuat jantungnya berdetak lebih cepat dari normal.
Hingga suatu hari, Aira membuka email dari komunitas penyintas tempat ia bergabung. Ada undangan terbuka:
“Workshop Online: Mengenali Kekerasan Emosional dan Hak Hukummu sebagai Korban”
Jemarinya gemetar saat mendaftar. Tapi ia tahu—ini waktunya.
Di workshop itu, Aira belajar banyak.
Tentang bagaimana kekerasan tidak selalu berupa pukulan, tapi juga kata-kata, kontrol, hingga ancaman digital. Ia belajar soal UU Perlindungan Perempuan, tentang pentingnya dokumentasi, dan cara melaporkan kekerasan secara aman.
Salah satu narasumber berkata:
“Saat kita bersuara, mereka akan mencoba membungkam. Tapi ingat, suara kita adalah ancaman bagi mereka karena suara kita adalah kebenaran.”
Aira mencatat semuanya. Ia mengumpulkan kembali tangkapan layar, foto-foto luka lama, rekaman suara bentakan Gibran yang pernah ia simpan tapi takut ia buka. Kali ini, bukan untuk membuktikan pada dunia. Tapi untuk membela dirinya sendiri.
“Aku ingin melapor. Mungkin tidak sekarang. Tapi aku ingin mempersiapkan semuanya. Aku tidak mau terus bersembunyi. Aku capek jadi orang yang selalu menghindar.”
Tapi aku juga tahu, ini ngga mudah dalam rencana besarnya untuk lepas dari bayang-bayang itu.
Hari demi hari, Aira menyiapkan semuanya.
Ia membuat dokumen, mendata saksi, menyusun kronologi. Ia mengatur sesi konseling legal. Ia juga mulai menulis artikel pribadi, kali ini tentang hak-hak hukum bagi perempuan yang mengalami kekerasan dalam hubungan.
Tulisan itu mendapat ribuan respon. Bahkan sebuah media online meminta izin untuk memuat artikelnya.
Judulnya:
“Ketika Cinta Menjadi Senjata: Aku Bertahan, Tapi Aku Tidak Diam Lagi.”
Malam terakhir sebelum Aira mengajukan laporan resmi, ia duduk sendiri di balkon . Langit malam bersih. Angin dingin mengusap pipinya.
Dalam hatinya, ia bertanya:
“Apa aku akan baik-baik saja?”
Lalu ia menjawab sendiri:
“Tidak. Aku tidak akan selalu baik-baik saja. Tapi aku akan tetap berdiri. Dan itu cukup.”
Dia menatap langit sekali lagi.
Bintang-bintang itu tidak bersuara, tapi mereka tetap menyala.
Sama seperti dirinya.
Aira mungkin pernah dibungkam. Tapi kini, ia sedang menyalakan suaranya kembali.