Alan Andrew adalah generasi kesepuluh pria dari keluarga Andrew, pewaris tahta kejayaan dalam bisnis otomotif kelas dunia. Ia sempurna di mata banyak wanita; tampan, cerdas, kaya, dan berwibawa. Sosok yang merupakan definisi dari pria idaman. Namun, di balik pesonanya, Alan menyimpan hasrat yang bertolak belakang dengan nilai-nilai ketimuran: ia mencintai tanpa komitmen, menganggap hubungan tak harus diikat dengan pernikahan. Baginya, wanita hanyalah pelengkap sementara dalam hidup, bisa datang dan pergi sesuka hati.
Namun segalanya berubah ketika ia bertemu Maya Puspita, gadis manis dari Jawa Tengah yang datang dari keluarga sederhana namun menjunjung tinggi moral dan etika. Takdir menempatkan Maya bekerja di perusahaan Alan.
Alan sudah menjadikan Maya sebagai ‘koleksi’ berikutnya. Tapi tanpa ia sadari, Maya menjeratnya dalam dilema yang tak pernah ia bayangkan. Sebab kali ini, Alan bukan sekedar bermain rasa. Ia terjebak dalam badai yang diciptakannya sendiri.
Akankah Maya mampu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarah Mai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HTA31
Maya keluar dari klinik dengan langkah ringan dan hati yang lega. Wajahnya memancarkan kebahagiaan yang sulit disembunyikan, seperti beban besar yang akhirnya berhasil ia hempaskan. Udara siang yang hangat tak mengurangi semangatnya sedikit pun.
Dengan ceria, ia berjalan di depan Alan sambil bersiul pelan. Ada nada riang yang keluar dari bibirnya, seolah dunia sedang berpihak padanya hari ini. Maya melangkah dengan gaya centil khasnya, penuh percaya diri, sesekali mengibaskan rambut panjangnya ke belakang. Ujung rambutnya yang wangi terayun-ayun, dan tanpa sengaja mengenai wajah Alan yang berjalan di belakangnya.
Alan spontan menghentikan langkahnya. Aroma samar sampo yang melekat di helai rambut Maya menyentuh inderanya, lembut, menggoda, Ia berdiri mematung sejenak, memandangi punggung Maya yang semakin menjauh, kemudian tersenyum tipis dan geli. Sebenarnya Alan ingin berlari sambil tertawa puas karena jebakannya berhasil. Namun, ia hanya mampu menahan senyum itu, menyembunyikannya di balik wajah tenangnya.
Akhirnya Langkah keduanya menyatu menuju mobil. Maya berjalan lebih dulu, sementara Alan membuka pintu di sisi penumpang dengan gerakan penuh gaya, seperti seorang gentleman sejati.
“Silakan, Nyonya,” ucapnya sambil menunduk sedikit, nada suaranya menggoda.
Maya melirik tajam, tapi senyum geli tak bisa disembunyikan dari sudut bibirnya. Ia masuk ke dalam mobil dengan gerakan anggun namun santai, menyandarkan tubuh pada jok sambil menatap ke depan.
Alan menyusul masuk ke sisi kemudi, menutup pintu dengan pelan, menyandarkan punggungnya di jok mobil, melirik ke arah Maya yang masih sibuk merapikan sabuk pengaman. Tatapan pria itu penuh makna, bibirnya terangkat setengah senyum nakal.
“Jadi… udah boleh, kan?” bisiknya pelan, nyaris seperti kode rahasia.
Maya menoleh cepat, lalu tertawa kecil. “Boleh lah!” sahutnya santai, meski wajahnya sedikit memerah.
Alan mengangkat alis, menunjuk ke sekitar mobil. “Di mobil?”
Maya spontan terdiam. Matanya menyipit menatap Alan, lalu mendesis kecil. “Hem, di tempat yang bagus dong!” sahutnya ketus tapi manja.
Alan tertawa pelan. “Ya sudah, kamu boleh pilih di mana pun.”
Maya menggigit bibir bawahnya sebentar, seperti menimbang-nimbang. Lalu ia menjawab mantap, “Di apartemen saja. Kita pulang!”
Alan menoleh cepat, sedikit terkejut. “Serius kamu enggak mau di hotel mewah? Biar suasananya beda?”
Maya menggeleng dengan cepat, nada suaranya datar tapi jujur. “Enggak usah, kita hemat aja. Nanti uang kamu habis buat hal-hal yang enggak penting.”
Alan sempat terbatuk kecil, tak tahu harus tertawa atau tersentuh. Maya memang berbeda. Sederhana, tapi kadang sulit ditebak. Tak pernah minta macam-macam, tapi justru itu yang membuatnya makin spesial.
“Oh iya,” ucap Alan tiba-tiba mengingat, “Besok aku udah mulai kerja keluar kota. Jadi… kita padatkan jadwal hari ini ya.”
Maya spontan melongo. “Hah?”
Dalam hati ia menjerit. Berapa ronde tuh maksudnya? Lalu ia mengalihkan pandangan dan buru-buru mengeluarkan sesuatu dari tasnya.
Untung ada ini! pikirnya lega sambil menatap resep dokter di tangannya, kontrasepsi darurat.
--
Siang itu langit tampak bersih, cerah tanpa awan. Jalanan ibu kota lumayan lancar, hanya sesekali terdengar klakson kendaraan yang melintas cepat. Meski angin berembus pelan, sinar matahari cukup terik hingga membuat udara terasa gerah. Di dalam mobil yang nyaman ber-AC, Maya duduk bersandar lemas, matanya sesekali melirik ke luar jendela mencari tempat jajanan. Perutnya mulai memainkan irama protes.
“Kreok…” Suara lirih tapi jelas terdengar dari arah perutnya. Cacing-cacing di dalam perut Maya seperti sedang demonstrasi menuntut makan siang.
Alan yang menyetir melirik sekilas, tersenyum tipis. “Lapar,” gumamnya, tetap fokus pada jalan.
“Hehe, tau aja, Tuan,” balas Maya dengan tawa kecil, cengengesan menahan malu.
Tanpa banyak bicara, Alan berbelok ke sebuah area parkir. Ia memarkir mobil di depan restoran dan kafe mewah yang memiliki rooftop dengan pemandangan menakjubkan. Maya melongo sejenak, tidak menyangka pria itu membawanya ke tempat sebagus ini hanya untuk makan siang.
Begitu masuk, pelayan menyambut mereka dengan sopan dan langsung mengantar ke lantai atas. Alan telah memesan area rooftop dan balkon secara khusus. Ruangannya cukup luas, dilengkapi pendingin udara yang tersembunyi rapi di balik ornamen taman gantung dan dekorasi elegan. Udara tetap sejuk meski mereka berada di area terbuka.
“Silakan duduk,” ucap pelayan, menunjuk ke sebuah meja bundar yang diselimuti kain putih bersih, lengkap dengan lilin kecil dan bunga segar.
Maya hendak duduk di seberang Alan, namun pria itu menahan.
“Duduk di sampingku,” ujar Alan dengan nada tegas, tak terbantahkan.
Maya menghela napas singkat. Dengan enggan, ia mengalah dan berpindah duduk di sisi pria itu. Jarak di antara mereka hanya sehelaan napas.
“Kau tak ingin menyentuh pahaku? Atau mungkin tanganku?” bisik Alan, setengah bercanda, setengah serius.
Maya langsung menoleh cepat. “Alan, ini tempat umum.”
“Tapi rooftop ini sudah ku booking khusus. Tidak ada orang lain di sini, hanya kita.” Ucapan Alan santai tapi jelas menyiratkan kesungguhan.
Maya memutar bola matanya, masih tak percaya. “Serius? Kamu booking satu rooftop cuma buat makan siang doang?”
Alan mengangguk bangga.
“Benar-benar kurang kerjaan… lebay,” gumam Maya pelan sambil menyandarkan punggung ke kursi.
Baru saja Maya hendak menimpali lagi, Alan buru-buru memotong, “Sst… jangan bawel. Uangku bukan uangmu, jadi kau cukup menikmati saja.”
Kalimat itu membuat Maya mendengus kecil, tapi bibirnya terangkat membentuk senyuman tipis.
“Suasana rooftop ini… kayak area resepsi pengantin kan,” ucap Alan menatap Maya dengan senyum menggoda.
Maya tak bisa menahan senyum geli. Untuk sesaat, hawa canggung di antara mereka berubah menjadi hangat dan nyaman.
Tiba-tiba Alan, menatap wajah Maya dalam-dalam. Ia mendekat, tangannya perlahan hendak meraih dagu Maya, ingin mencuri ciuman di bibir wanita itu.
“Alan, please…” Maya menahan dengan lembut. “Ini tetap tempat umum. Aku nggak biasa, aku takut ada yang mengintai kita…”
Alan menarik diri, menyandarkan tubuhnya dengan malas ke kursi. “Oke, baiklah,” katanya ketus. “Aku hanya menguji kamu.”
Nada suaranya berubah, gengsi dan kecewa bercampur jadi satu. Ia memperbaiki duduknya, lalu menatap langit kota yang mulai berawan tipis.
“Maya tidak seperti dulu. Dulu dia lebih hangat, lebih terbuka… Sekarang meski tubuhnya dekat, hatinya terasa jauh.” Pikiran Alan melayang, membuat ekspresinya berubah murung. Alan membayangkan Maya akan menggodanya dengan tingkah nakal.
Ia menoleh lagi pada Maya. “Semakin bagus pelayananmu, semakin sering aku akan memberikan kejutan untukmu... dan juga untuk keluargamu,” ucap Alan.
Namun Maya hanya terdiam. Tatapannya kosong ke arah pemandangan kota. Entah kenapa, Alan bukan lagi pria yang ia puja seperti dulu. Sikap Alan masih memikat, tapi ada sesuatu yang hilang, kehangatan yang dulu dia pikir tulus, kini terasa dibuat-buat.
Tak lama kemudian, seorang pelayan datang membawa dua piring makan siang beraroma lezat. Mereka meletakkannya di atas meja dengan penuh hormat, lalu mundur pelan, meninggalkan pasangan itu dalam keheningan yang tak sepenuhnya nyaman.
Alan trauma dengan pertengkaran kedua orangtuanya...
bener kata orang kalo urusan harta antara sodarapun bisa jadi musuh kalo tidak bisa menerima dg bijaksana
Maya,tugasmu membantu Alan bangkit .jangan biarkan Key merusak semua yang di perjuangkan Alan.