Adriella menjalani hidup penuh luka dalam balutan kemewahan yang semu. Di rumah milik mendiang ibunya, ia hanya dianggap pembantu oleh ayah tiri dan ibu tirinya. Sementara itu, adik kandungnya yang sakit menjadi satu-satunya alasan ia bertahan.
Demi menyelamatkan adiknya, Adriella butuh satu hal, warisan yang hanya bisa dicairkan jika ia menikah.
Putus asa, ia menikahi pria asing yang baru saja ia temui: Zehan, seorang pekerja konstruksi yang ternyata menyimpan rahasia besar.
"Ini pasti pernikahan paling sepi di dunia,” gumam Zehan.
Adriella menoleh pelan. “Dan paling sunyi.”
Pernikahan mereka hanyalah sandiwara. Namun waktu, luka, dan kebersamaan menumbuhkan benih cinta yang tak pernah mereka rencanakan.
Saat kebenaran terungkap dan cinta diuji, masihkah hati memilih untuk bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Volis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22. Pertemuan dengan Bara
Pagi itu, suasana gudang masih seperti biasa. Para staf sibuk dengan pekerjaan mereka, tak ada yang menyadari bahwa hari itu, sesuatu besar akan terjadi. Adriella berdiri di depan pintu masuk gudang, pandangannya tajam menyapu ruangan hingga menemukan sosok yang dicarinya.
“Andre,” panggilnya tenang.
Andre yang sedang memeriksa tumpukan bahan menoleh. “Iya, Bu?”
“Ada yang ingin saya bicarakan. Bisa ikut saya ke ruang rapat belakang?”
Andre ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk dan mengikuti Adriella. Mereka berjalan dalam diam, dan saat tiba di ruangan yang dimaksud, pintu ditutup rapat. Hanya mereka berdua di dalam.
“Saya ingin tahu apa yang terjadi malam sebelum pengiriman batch pertama ke Velveta,” kata Adriella membuka pembicaraan.
Andre terlihat gugup. “Saya cuma kerja sesuai shift, Bu. Semua bahan sudah diperiksa kepala gudang sebelumnya.”
“Kepala gudang tidak bertugas malam itu. Dan dari logistik serta CCTV, saya tahu hanya Anda yang mengakses batch pengiriman. Saya juga melihat Anda masuk ke mobil mewah milik keluarga Bastian malam itu. Kenapa?”
Wajah Andre mulai pucat. “Itu... saya hanya dijemput teman, Bu. Saya tidak tahu itu mobil siapa.”
“Jangan bohong. Saya kenal mobil itu. Itu mobil Bara.”
Andre menunduk. Tangannya menggenggam kursi.
“Kalau kamu jujur sekarang, saya mungkin bisa bantu agar kamu tidak mendapat hukuman terlalu berat,” lanjut Adriella tegas. “Tapi kalau kamu menutup-nutupi, saya akan serahkan semua data ini ke Pak Bastian.”
Beberapa detik sunyi menyelimuti ruangan.
Akhirnya Andre bersuara lirih. “Saya cuma disuruh, Bu. Dia bilang cuma ganti beberapa kain saja, yang penting teksturnya mirip. Saya tidak tahu bakal separah ini.”
“Dia?” tanya Adriella.
“Pak Bara,” jawab Andre pelan. “Dia yang kasih saya uang. Dia bilang ini cuma permainan kecil buat nunjukin kalau dia juga bisa ganggu proyek penting.”
Hati Adriella menegang. Amarah dan kecewa bercampur di dalam dirinya, tapi ia tetap menahan wajah tetap tenang.
“Terima kasih sudah jujur. Kamu boleh kembali bekerja. Tapi jangan coba-coba kabur atau menghilang. Saya sudah pegang cukup bukti.”
Andre hanya mengangguk dan segera keluar dari ruangan.
Saat pintu tertutup, Adriella berdiri sendiri di dalam ruang rapat, menggenggam catatan kecil di tangannya.
Sekarang semuanya jelas. Dan langkah selanjutnya tidak bisa ditunda lagi.
🍁🍁🍁
Setelah Andre keluar dari ruang rapat, Adriella tetap berdiri di tempatnya. Pikirannya berputar cepat. Meski emosinya sudah memuncak, ia tahu ini bukan saatnya bertindak gegabah. Menyerahkan semua bukti langsung ke Bastian bisa berisiko, apalagi jika Bara sempat memutarbalikkan keadaan terlebih dulu.
Ia berjalan kembali ke ruangannya, duduk dengan tenang, dan membuka kembali semua dokumen serta rekaman yang telah ia kumpulkan. Ia menyusun ulang semuanya ke dalam satu folder digital dengan urutan yang rapi: data logistik, CCTV gerbang, bukti transfer ke Andre, dan pengakuan lisan yang ia catat diam-diam.
Namun sebelum melangkah lebih jauh, Adriella menghubungi seorang kenalannya dari kantor hukum luar yang pernah bekerja sama dengan perusahaan dalam proyek sebelumnya. Ia minta bantuan untuk menyimpan salinan data sebagai cadangan dan memberikan saran hukum jika hal ini berubah menjadi masalah internal yang lebih besar.
“Kalau kamu butuh perlindungan hukum atau proses mediasi internal, aku bisa bantu siapkan. Tapi kamu harus siap kalau ini melibatkan nama besar,” ujar suara dari seberang telepon.
“Aku tahu,” jawab Adriella pelan. “Tapi aku juga tahu siapa yang salah, dan aku nggak akan diam.”
Setelah menutup telepon, Adriella menatap layar ponselnya dan menuliskan satu pesan.
Adriella: "Bisa kita bertemu nanti siang? Ada hal penting yang harus dibicarakan, hanya antara kita berdua."
Ia mengirim pesan itu ke Bara, lalu duduk kembali dan menarik napas panjang.
Langkah pertamanya bukan pertarungan. Tapi konfrontasi yang terukur.
Dan kali ini, dia yang memimpin permainan.
🍁🍁🍁
Siang itu, langit mulai menggelap oleh awan mendung ketika Adriella berdiri di balkon lantai dua gedung kantor utama, menunggu kedatangan Bara. Tempat itu dipilih dengan sengaja, di sini tenang, sepi, dan cukup jauh dari ruang publik kantor agar tak menarik perhatian.
Tak lama kemudian, Bara muncul. Ia datang santai seperti biasa, mengenakan jas tipis di atas kemeja abu-abu. Wajahnya tampak penasaran, tapi masih menyimpan senyum tipis yang biasa ia tunjukkan saat ingin menyembunyikan sesuatu.
“Kamu nyari aku?” tanyanya sambil bersandar di pagar balkon. “Kangen?”
Adriella tak tersenyum. “Kita perlu bicara serius, Bara. Aku tahu apa yang telah kamu lakukan.”
Bara menaikkan sebelah alisnya. “Tahu apa? Apa yang yang aku lakukan?”
“Velveta mengeluhkan kualitas bahan, dan aku sudah telusuri semuanya. CCTV, data shift, transaksi mencurigakan ke Andre dan rekamanmu menjemput dia dengan mobilmu.”
Senyum di wajah Bara mulai pudar.
“Dia sudah mengaku,” lanjut Adriella. “Kamu menyuapnya untuk mengganti sebagian bahan pengiriman. Kamu pikir ini permainan. Tapi ini bukan permainan, Bara. Ini menyangkut reputasi dan pekerjaan banyak orang. Apa kamu mau menghancurkan nama perusahaan?”
Bara menghela napas panjang. Tatapannya berubah tajam, bukan lagi santai.
“Jadi kamu mau apa sekarang? Ngadu ke Papa? Bikin drama?”
“Aku nggak butuh drama. Aku punya bukti, dan aku siap menyerahkannya kalau kamu masih menganggap ini lelucon.”
Untuk beberapa detik, mereka saling menatap dalam diam. Angin siang meniup pelan ujung rambut Adriella yang tetap berdiri tegar di hadapan Bara.
“Aku nggak nyangka kamu bakal sejauh ini,” kata Bara akhirnya. “Kamu nggak takut ya main api sama orang yang bisa bikin kamu dikeluarin kapan saja dari perusahaan?”
“Kalau itu harga yang harus aku bayar demi integritasku, aku siap,” balas Adriella tenang. “Tapi sebelum itu, aku akan bawa ini ke Om Bastian, aku beri kamu kesempatan untuk mengaku dan bertanggung jawab sendiri.”
"Lapor saja jika kamu berani," geram Bara.
"Kamu pikir aku takut. Aku akan melaporkanmu sekarang juga," balas Adriella.
Bara mengepalkan kedua tangannya menatap Adriella dengan mata yang menyimpan kemarahan, tapi juga kekalahan.
Pertemuan itu berakhir tanpa kata-kata lagi. Tapi bagi Adriella, ini adalah kemenangan pertama, karena untuk pertama kalinya, ia berdiri tegak menghadapi seseorang yang selama ini meremehkannya.
Setelah Kepergian Adriella, Bara masih mematung di tempat, rahangnya mengeras. Ia menggeram rendah, kepalan tangannya semakin erat hingga buku-buku jarinya memutih. "Sial!" desisnya tajam, menendang angin kosong di depannya.
Napas Bara terengah-engah. Pikiran kalut berkelebat. Adriella serius dengan ancamannya. Laporan ke Om Bastian bisa menghancurkan segalanya. Reputasinya, posisinya, semua yang sudah ia bangun.
"Dia benar-benar akan melakukannnya," gumamnya tak percaya, menatap kosong ke arah Adriella menghilang.
"Gadis bodoh itu pikir dia bisa melawanku?" Bara menyeringai pahit, lebih kepada dirinya sendiri sambil mengusap wajahnya kasar.
"Ini belum berakhir, Adriella. Belum." Ia harus menemukan cara menghentikannya sebelum terlambat.
Semua ini seharusnya tidak sejauh ini, pikirnya.
Tapi satu hal jelas, kali ini Adriella bukan perempuan yang bisa dia kendalikan semudah dulu.
menyelidiki tentang menantunya
yg blm mendapat restu...
pasti bakal kaget...
lanjut thor ceritanya
sama" gak tahu malu...
padahal mereka cuma numpang hidup...
yg punya kendali & peran penting adalah pemilik sah nya...
lanjut thor ceritanya
semoga Pak Bastian
menendang kamu...
setelah melihat bukti...
murka terhadap Bara
setelah menerima buktinya...
lanjut thor ceritanya di tunggu up nya
aku sudah mampir...
dan baca sampai part ini...