Ratu Dan Pria Tak Terlihat

Ratu Dan Pria Tak Terlihat

Bab 1 - All Eyes On Her

Seorang gadis cantik turun dari mobil sesampainya di pekarangan sekolah. Ia pegang erat ransel pink lembut yang ia sandang di belakang tubuhnya, lantas tersenyum menatap gedung tinggi tempatnya menuntut ilmu itu. Rambut panjang yang digerai itu diberi jepitan berbentuk hati. Tak lupa bibir ranumnya ia polesi liptint merah muda. Perfect. Pantas saja ia mendapat gelar sebagai The Queen of Khatulistiwa's School karena kecantikannya.

Ratu. Itu namanya. Sesuai dengan predikatnya sebagai most wanted sekolah ini. Dia kaya raya, pintar, aktif pula dalam beberapa kegiatan ekstrakulikuler. Siapa yang tidak mengenalnya? Bahkan sampai anak culun di sekolah ini pun tahu dengan dirinya saking seringnya ia tampil di acara-acara sekolah.

Melangkah penuh semangat, Ratu pun pamit pada sang supir, lantas melintasi paving block itu sambil melempar sapaan pada siapa saja yang ia temui.

"Hai, Ratu!"

"Aduh, geulis pisan. Jadi pacar abdi aja gimana atuh, neng?"

"Sumpah, Maknya Ratu makan apa sih pas hamil dia? Kenapa Ratu bisa secakep itu?!"

Ratu tersenyum penuh percaya diri mendengar pujian demi pujian yang terlontar padanya. Merupakan makanan sehari-hari bagi Ratu dipuja-puja semua orang. Sebagai bentuk terima kasihnya, ia kibaskan rambutnya ke belakang leher hingga membuat mereka semua bersorak takjub seperti memandangi selebriti. Ah, rasanya Ratu melayang-layang di awan mendengar pujian demi pujian itu.

All eyes on her. Always....

"Sayang, tunggu!"

Langkah Ratu terhenti mendengar suara lelaki dari arah belakang. Tanpa menoleh pun ia sudah tahu suara siapa itu. Aldo. Ketua tim basket sekolah yang seminggu ini dekat dengannya. Tolong digaris bawahi. Dekat. Bukan berarti Aldo itu pacarnya sehingga lelaki itu berhak memanggilnya dengan sebutan 'sayang'.

Melirik ke samping, dapat Ratu lihat Aldo menyejajarkan langkah dengannya. Lelaki yang sehari-hari ke sekolah mengendarai motor besar itu mencoba memegangi tangannya.

"Apa, sih, Al? Jangan pegang-pegang. Ini area sekolah!" Ratu memberi peringatan.

Aldo mendecak jengkel. "Kamu kenapa, sih, jutek banget sama aku? Kita udah pacaran. Jadi aku berhak—"

"Wait, wait. Sejak kapan kita pacaran?!" sela Ratu dengan nada sedikit tinggi.

"Seminggu ini kita dekat, kan? Aku juga kemarin ajak kamu nongkrong sama temen aku. Aku kenalin kamu ke mereka. Aku ajak juga kamu call sama Mami aku. Apa namanya kalau itu bukan pacar? Dan ... aku kan juga udah nembak kamu waktu itu. Masa kamu lupa?"

Ratu mendengus sebal. Ia pandangi Aldo dengan netra jengkel. "Al, aku udah tekanin berapa kali? Aku nggak mau pacaran sama kamu. Kita dekat as friend. Nggak ada jawaban sama sekali dari aku kalau aku setuju jadi pacar kamu!"

Mendengar hal itu membuat Aldo menggeram. Rahang lelaki itu mengetat seolah tidak terima dengan jawaban Ratu.

"Nggak bisa seenaknya gitu, dong. Aku udah putusin Nindi biar bisa deket sama kamu. Sekarang kamu bilang kita nggak pacaran? Jangan bercanda, Ra! Aku—"

"Salah kamu yang enggak setia sama pasangan kamu. Makanya, jangan gampang melek lihat cewek cantik," kata Ratu mencebik.

Tanpa memedulikan ekspresi Aldo yang tengah melotot, Ratu berlalu dari hadapan cowok itu. Ia abaikan teriakan-teriakan Aldo yang tidak terima dengan keputusannya. Ratu hanya geleng-geleng kepala. Aldo adalah cowok ke sekian yang menuntut status darinya, padahal dari awal ia sudah bilang jika ia 'tidak mau menjalin hubungan' dengan mereka semua.

Terdengar kejam memang. Tapi itulah Ratu. Dia adalah ... pemain handal. Ia gampang membuat lelaki jatuh pada pesonanya, dan gampang pula mematahkan hati mereka. Gadis itu bak kupu-kupu yang hinggap ke sana kemari. Tidak betah di satu tempat. Tak peduli dengan perasaan cowok yang ia hinggapi. Ratu hanya memikirkan kesenangannya sendiri. Masa bodoh dengan perasaan orang-orang.

Begitu sampai di dekat tangga, langkah Ratu berbelok kala melihat hasil pengumuman peserta olimpiade yang baru keluar pagi ini. Maka Ratu berubah haluan. Ketimbang masuk kelas, ia berminat melihat daftar nama-nama peserta yang ia yakini ada namanya di sana.

"Permisi!" kata Ratu seraya menyelip di kerumunan.

"Cie, selamat ya, Ra. Kayak biasa. Kamu pasti kepilih jadi calon peserta."

Belum jadi ia melihat namanya di kertas itu, para siswa sudah mengucapkan selamat saja padanya.

Untuk memastikan, Ratu cek kebenarannya. Ternyata memang iya. Nama Ratu ada di urutan pertama, bersanding dengan 3 nama lainnya.

Ratu Anggrianto

Sasa Selvia

Heri Hutomo

Dan yang terakhir sedikit membuat Ratu kebingungan. Nama yang pernah ia dengar, namun tak ia ketahui siapa orangnya sama sekali. Nama yang ditulis sebagai peserta cadangan—

Syailendra Gunawan.

"Beb! Yeay, kita lulus! Kita bakal satu tim lagi!"

Lengkingan seorang perempuan membuat telinga Ratu berdenging. Pemilik nama Sasa itu akhirnya mencogokkan muka. Ia datang bersama Heri—peserta ketiga yang namanya diumumkan di kertas itu.

Heri dan Sasa. Dua nama itu sudah akrab di kuping Ratu. Mereka adalah temannya. Mula-mula ia berteman dengan Sasa, dan sejak Sasa pacaran dengan Heri, Heri menjadi teman Ratu pula. Mereka bertiga beda kelas, tapi masih bersebelahan. Sasa dan Ratu di kelas MIPA 1, sementara Heri ada di kelas MIPA 3. Dari dulu Ratu memang terkenal pintar dan pantas diikutsertakan olimpiade untuk mewakili sekolah. Begitu juga dengan Sasa dan Heri. Dua sejoli itu sama-sama pintar. Bahkan mereka bertiga saling rebutan predikat juara umum sekolah dari tiap semester.

Tapi ... siapa si Syailendra ini? Orangnya sama sekali belum pernah Ratu lihat. Padahal hampir seluruh muka anak-anak sekolah ini Ratu kenali.

"Tunggu. Kalian kenal sama Syailendra?" tanya Ratu pada Sasa dan Heri.

Sasa menggeleng, sementara Heri mengangguk—namun ragu.

"Gue tau sih. Dia anak MIPA 4. Anaknya pinter matematika sama kimia. Kan waktu itu Pak Edi nggak masuk. Jadi si Syailendra-Syailedra itu ngantar bahan tugas ke kelas kami. Udah, gitu doang. Dia dipercayai sama Pak Edi karena dia memang pinter matematika. Itu yang gue tahu. Selebihnya enggak."

Ratu melongo mendengar penjelasan Heri tersebut. Setahu Ratu, Pak Edi adalah guru killer yang jarang memercayakan urusan modul, bahan tugas dan sebagainya pada orang lain. Suatu hal mengejutkan bagi Ratu mengetahui Pak Edi punya asisten pribadi. Seorang siswa pula. Sama sepertinya.

"Jadi dia anak MIPA 4?" ulang Ratu, meyakinkan.

Heri mengangguk. "Ya gitu. Udah, ah. Kantin yuk? Gue belum sarapan. Yang ada kalau kelamaan keburu bel bunyi. Laper, euy." Lelaki separuh gaul separuh Nyunda itu mengusap-usap perutnya.

Sasa mengangguk setuju. Ia gandeng tangan pacarnya itu dan berjalan menuju kantin meninggalkan Ratu di belakang mereka. Ya ... memang begitulah akhlak dua remaja itu. Sejak Sasa pacaran dengan Heri, Ratu selalu menjadi langganan obat nyamuk jika sedang bersama mereka.

"Syailendra ...?" Ratu menggumam, masih penasaran dengan sosok misterius di balik nama indah itu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!