Kirana Aulia, seorang asisten junior yang melarikan diri dari tekanan ibu tirinya yang kejam, tiba-tiba dihadapkan pada kenyataan pahit, ia hamil setelah insiden satu malam dengan CEO tempatnya bekerja, Arjuna Mahesa.
Sementara Kirana berjuang menghadapi kehamilan sendirian, Arjuna sedang didesak keras oleh orang tuanya untuk segera menikah. Untuk mengatasi masalahnya, Arjuna menawarkan Kirana pernikahan kontrak selama dua tahun.
Kirana awalnya menolak mentah-mentah demi melindungi dirinya dan bayinya dari sandiwara. Penolakannya memicu amarah Arjuna, yang kemudian memindahkannya ke kantor pusat sebagai Asisten Pribadi di bawah pengawasan ketat, sambil memberikan tekanan kerja yang luar biasa.
Bagaimana kelanjutannya yukkk Kepoin!!!
IG : @Lala_Syalala13
FB : @Lala Syalala13
FN : Lala_Syalala
JADWAL UPLOAD BAB:
• 06.00 wib
• 09.00 wib
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lala_syalala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
IKSP BAB 22_Kehangatan Satu Ranjang
Malam itu, Kirana baru saja selesai mandi dan sedang membaca di kamarnya ketika interkom berbunyi. Suara Arjuna terdengar tegang.
"Kirana, segera kemari. Aku butuh kamu di ruanganku. Sekarang."
Kirana bergegas ke ruang kerja Arjuna. Pria itu tampak marah dan frustrasi, mondar-mandir di depan mejanya.
"Ada apa, Pak?" tanya Kirana cemas.
"Ayahku. Dia tiba-tiba datang. Dia bilang dia ingin menghabiskan malam di sini untuk membahas proyek merger yang sedang kacau," jelas Arjuna, memijat pelipisnya.
"Lalu kenapa Bapak panik?" tanya Kirana bingung padahal itu bukanlah hal yang aneh.
"Karena Ayahku adalah pria paling logis dan cerdik yang pernah ada. Ibuku sudah membocorkan bahwa kita sudah tinggal bersama. Ayahku pasti ingin memastikannya sendiri," kata Arjuna, menatap Kirana dengan pandangan yang penuh perhitungan.
"Lalu?" tanyanya lagi seperti orang b*doh.
"Lalu, aku lupa memberi tahu Ayahku bahwa kamar kita terpisah. Dia pasti akan curiga jika melihat kamar tidurku kosong dan kamar tidurmu... tidak ada pakaianku di dalamnya," kata Arjuna.
Kirana memahami maksud dari pembicaraan Arjuna mengarah kemana.
"Bapak mau saya... tidur di kamar Bapak malam ini?" tebak Kirana dan benar saja sesuai tebakannya itu.
"Tepat," jawab Arjuna dingin.
"Ayahku tidak boleh tahu tentang kontrak ini, atau dia akan membatalkan merger itu dan memaksaku menceraikanmu demi Bianca. Dan anak ini..." Arjuna menunjuk perut Kirana.
"Aku tidak akan mengambil risiko itu." lanjutnya.
"Tapi itu melanggar kontrak! Batas-batasnya jelas, Pak!" protes Kirana. Jantungnya berdebar kencang, bukan hanya karena takut pada Harun Mahesa, tetapi karena ide harus berbagi ranjang dengan Arjuna membuat Kirana tambah takut.
"Ini adalah Force Majeure, Kirana. Kita tidak punya pilihan. Aku akan tidur di sofa, kamu tidur di ranjang. Atau, kamu tidur di ranjang, dan aku tidur di lantai," kata Arjuna.
"Ayahku akan tiba dalam sepuluh menit. Cepat, ambil bantal dan selimut, dan pindahkan semua barang pribadimu yang mencurigakan dari kamarmu ke kamarku." lanjutnya membuat Kirana ikut panik karena waktu yang begitu singkat.
Kirana tidak punya waktu untuk berdebat. Ia segera mengumpulkan beberapa barang pentingnya seperti pakaian, alat mandi, dan buku-buku dan memindahkannya ke kamar utama Arjuna.
Kamar Arjuna besar, maskulin, dan dilengkapi dengan ranjang king size. Kirana meletakkan barang-barangnya di sudut ruangan, di balik pintu kamar mandi mewah.
Tak lama kemudian, Harun Mahesa masuk. Ia tampak lelah, tetapi matanya yang tajam meneliti setiap sudut penthouse itu.
"Selamat malam, Kirana. Maafkan kedatangan Ayah yang mendadak," kata Harun ramah kepada menantunya itu.
Kira a berusaha menyambut kedatangan ayah mertuanya dengan begitu sopan agar memberikan kesan yang baik, walau hanya kontek namun tetap saja pernikahannya dengan Arjuna sah di mata agama dan hukum jadi Kirana akan memperlakukan mertuanya selayaknya mertua dan menantu.
"Selamat malam, Yah. Tidak apa-apa. Kami senang ayah berkunjung," jawab Kirana, berusaha terdengar seperti istri yang bahagia dan tenang.
Saat Harun berjalan melewati lorong, ia melihat pintu kamar Kirana terbuka. Ia melirik masuk. Kamar itu terlihat rapi, tetapi minim barang pribadi, persis seperti kamar tamu biasa.
Harun menoleh pada Kirana.
"Kamar itu kosong, Nak?" tanya Harun kepada sang menantu.
Arjuna langsung campur tangan, merangkul pinggang Kirana. Sentuhan itu terasa kuat dan intim.
"Kami sudah tidak menggunakan kamar tamu, Pa. Kirana dan aku... kami lebih suka tidur bersama." bukan Kirana yang menjawab tetapi Arjuna.
Harun tersenyum tipis, seolah ia sudah menduganya.
"Baguslah. Ayah senang melihat kalian kompak. Ingat, Arjuna, Kirana sedang hamil. Jaga dia baik-baik." sahutnya.
"Tentu, Pa. Aku akan menjaganya," jawab Arjuna, meremas pinggang Kirana dengan lembut.
Setelah Harun masuk ke kamar tamu, Kirana langsung menyentak pinggangnya dari genggaman Arjuna.
"Jangan sentuh saya! Bapak melanggar batas lagi!" bisik Kirana marah.
"Ibuku mengancamku seminggu penuh jika aku tidak terlihat mesra di depan mereka. Ayahku butuh kepastian. Bersabarlah, Kirana," balas Arjuna, nadanya kini lembut, tetapi matanya menyiratkan kelelahan dan Kirana tahu itu.
Setelah tengah malam, Harun Mahesa akhirnya tertidur. Kirana sudah berganti pakaian dan bersiap tidur. Arjuna sudah menggelar bantal dan selimut di sofa panjang di kamar itu.
"Aku akan tidur di sini," kata Arjuna, menunjuk sofa.
"Bapak bisa tidur di ranjang. Bapak lelah. Saya akan tidur di sofa," tawar Kirana, merasa bersalah.
"Jangan bodoh. Aku tidak mau anakku tidur di sofa. Kamu tidur di ranjang," putus Arjuna.
Arjuna berbaring di sofa. Namun, sofa itu terlalu pendek untuk tubuh Arjuna yang tinggi. Setelah beberapa menit, Arjuna mendesah.
"Sofa ini tidak cocok untukku. Aku tidak akan bisa tidur," keluh Arjuna.
Kirana melihat Arjuna tampak tidak nyaman. Ia tahu Arjuna memiliki rapat penting besok.
"Baiklah," kata Kirana, mengalah.
"Ranjangnya besar. Kita bisa berbagi ranjang. Tapi... Bapak harus tidur di sisi itu, dan kita harus membuat garis batas yang jelas."
Arjuna menatap Kirana, ragu-ragu. Akhirnya, ia mengangguk. Ia bangkit, melepaskan kausnya, dan berbaring di sisi ranjang yang paling jauh dari Kirana. Ia menempatkan dua bantal di antara mereka sebagai pembatas.
"Itu batas kita. Jangan melanggarnya," perintah Arjuna.
Mereka berdua berbaring dalam keheningan yang tegang, hanya terpisah oleh dua bantal. Kirana bisa mencium aroma maskulin Arjuna yang samar, dan ia bisa merasakan kehangatan tubuh Arjuna yang menjalar hingga ke sisinya.
Kirana tidak bisa tidur. Ia sadar, ia dan Arjuna kini berbagi ranjang, ranjang yang seharusnya hanya diisi oleh suami-istri sejati.
Saat malam semakin larut, Kirana merasakan kedinginan. Ia membalikkan badan, memunggungi Arjuna. Tiba-tiba, ia merasakan gerakan.
Arjuna, tanpa membuka mata, menggeser bantal pembatas itu. Kemudian, ia mendekat dan melingkarkan lengannya di pinggang Kirana, menarik Kirana ke dalam pelukan hangatnya.
Kirana membeku.
"Jangan bergerak," gumam Arjuna serak.
"Aku kedinginan. Hanya untuk berbagi kehangatan. Ini tidak melanggar kontrak. Ini murni... termodinamika." alasan Arjuna.
Pelukan Arjuna terasa kuat, protektif, dan sangat hangat. Kirana bisa mendengar detak jantung Arjuna di belakangnya. Ia tahu ia harus menolak, tetapi kehangatan dan rasa aman yang tiba-tiba melingkupinya membuatnya tidak bisa bergerak.
Kirana memejamkan mata. Ia tahu, di balik sikap dinginnya, Arjuna adalah pria yang kesepian dan mendambakan kehangatan. Dan ia, Kirana, meskipun terikat kontrak, mulai merindukan pelukan ini.
Hanya malam ini, pikir Kirana, membiarkan dirinya menikmati kehangatan itu. Hanya termodinamika.
Kirana tidur nyenyak malam itu, dalam pelukan pria yang ditakuti dan dicintainya. Ia tidak tahu, tindakan 'termodinamika' Arjuna itu telah menghancurkan sisa-sisa tembok emosional yang ia bangun.
.
.
Cerita Belum Selesai.....
trs knp di bab berikutnya seolah² mama ny gk tau klw pernikahan kontrak sehingga arjuna hrs sandiwara.
tapi ya ga dosa jg sih kan halal
lope lope Rin hatimu lura biasa seperti itu terus biar ga tersakiti