NovelToon NovelToon
Pengawal Yang Bunuh Ayahku

Pengawal Yang Bunuh Ayahku

Status: sedang berlangsung
Genre:Anak Yatim Piatu / Action / Cinta Terlarang / Mafia / Romansa / Balas Dendam
Popularitas:100
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

"Tujuh tahun aku hidup di neraka jalanan, menjadi pembunuh, hanya untuk satu tujuan: membunuh Adipati Guntur yang membantai keluargaku. Aku berhasil. Lalu aku bertaubat, ganti identitas, mencoba hidup normal.
Takdir mempertemukanku dengan Chelsea—wanita yang mengajariku arti cinta setelah 7 tahun kegelapan.
Tapi tepat sebelum pernikahan kami, kebenaran terungkap:
Chelsea adalah putri kandung pria yang aku bunuh.
Aku adalah pembunuh ayahnya.
Cinta kami dibangun di atas darah.
Dan sekarang... kami harus memilih: melupakan atau menghancurkan satu sama lain."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 22: CHELSEA BERCERITA

Dua minggu berlalu.

Lucian mengikuti rutinitas yang sama—bangun pagi, cek keamanan mansion, sarapan bersama Chelsea, ikuti dia kemana-mana, pulang malam.

Profesional. Menjaga jarak. Tidak banyak bicara.

Tapi Chelsea... Chelsea tidak menyerah.

Setiap hari ia mencoba mengobrol. Bertanya tentang Lucian. Bercerita tentang harinya.

Dan setiap hari—tanpa sadar—Lucian menjawab semakin panjang. Pertahanannya perlahan runtuh.

Malam itu, setelah pulang dari kantor, Chelsea duduk di sofa ruang tamu—terlihat lelah, mata kosong.

Lucian berdiri di sudut ruangan—posisi strategis untuk mengawasi pintu dan jendela.

"Lucian," panggil Chelsea tiba-tiba. "Duduklah. Kau tidak harus berdiri terus."

"Aku bodyguard-mu. Aku seharusnya—"

"Kumohon." Suara Chelsea pelan—hampir memohon. "Aku... aku lelah dengan formalitas. Aku hanya ingin bicara dengan seseorang. Seperti manusia biasa."

Lucian ragu. Tapi melihat mata Chelsea—mata yang kesepian—ia akhirnya duduk.

Di sofa seberang. Menjaga jarak.

Chelsea tersenyum—senyum lega.

"Terima kasih."

Keheningan sejenak. Hanya suara jam dinding yang berdetak.

Lalu Chelsea berbicara—suaranya pelan, seperti berbisik pada diri sendiri.

"Aku tumbuh di rumah ini. Rumah besar. Kamar besar. Semua yang aku inginkan bisa dibeli." Ia menatap tangannya. "Mainan termahal. Baju termahal. Sekolah terbaik."

Suaranya bergetar sedikit.

"Tapi ayah... ayah tidak pernah memelukku. Tidak pernah bilang sayang. Tidak pernah datang ke acara sekolahku—meski aku juara kelas, meski aku menang lomba, meski aku menangis memohon dia datang."

Chelsea menunduk—rambutnya jatuh menutupi wajahnya.

"Aku ingat—waktu aku umur delapan tahun—aku jatuh dari sepeda. Lututku berdarah. Aku menangis, berlari ke pelukan ayah." Suaranya hampir tidak terdengar. "Tapi ayah hanya berdiri di sana... diam. Tidak memelukku. Hanya bilang 'Jangan cengeng' lalu pergi."

Air mata mulai turun—jatuh ke tangannya yang terlipat di pangkuan.

"Aku tumbuh bertanya—apa yang salah denganku? Kenapa ayah tidak bisa mencintaiku? Apa aku anak yang buruk?"

Lucian mengepalkan tangannya—ada sesuatu di dadanya yang sakit mendengar itu.

Dia kesepian. Dia tumbuh tanpa cinta—meski punya segalanya.

"Kadang aku berpikir," lanjut Chelsea sambil mengusap air matanya, "lebih baik lahir miskin tapi punya keluarga hangat... daripada kaya tapi kesepian seperti ini."

Aku punya keluarga hangat.

Kami miskin. Tapi kami bahagia.

Sampai semuanya direnggut.

Lucian teringat—malam-malam di meja makan kecil mereka, main kartu UNO bersama, tawa Elena, pelukan Mama, senyum Papa.

Dadanya sesak.

"Setelah ayah meninggal," Chelsea berbisik—suaranya pecah, "aku berpikir aku akan merasa lega. Tapi ternyata... aku lebih kesepian. Karena setidaknya dulu ada ayah—meski dia dingin, meski dia tidak pernah memelukku. Tapi sekarang? Tidak ada siapa-siapa."

Ia menatap Lucian—mata basah air mata.

"Kau tahu apa yang paling menyedihkan? Aku tidak pernah mendengar ayah bilang 'aku mencintaimu' padaku. Tidak pernah. Bahkan sampai dia mati."

Chelsea menangis—tangis sunyi, tangis yang sudah ia tahan bertahun-tahun.

Dan Lucian—Lucian tidak bisa diam lagi.

Ia bangkit, berjalan mendekat—duduk di samping Chelsea, tapi masih menjaga jarak kecil.

"Ayahmu..." Lucian berbicara pelan—memilih kata dengan hati-hati, "mungkin tidak bisa mengekspresikan cintanya. Tapi itu tidak berarti dia tidak mencintaimu."

Orang yang punya darah di tangannya... sulit mencintai dengan tulus. Aku tahu itu.

Chelsea menatapnya—mata penuh harap. "Kau pikir begitu?"

"Tidak ada ayah yang tidak mencintai anaknya," kata Lucian—dan ia percaya itu. "Hanya... kadang mereka tidak tahu caranya. Kadang ada sesuatu yang menghalangi mereka."

Chelsea tersenyum—senyum sedih tapi sedikit lega.

"Terima kasih, Lucian. Aku... aku butuh mendengar itu."

Mereka terdiam.

Tapi Chelsea tidak berhenti menatap Lucian—seperti mencari sesuatu di wajahnya.

"Lucian," bisiknya. "Boleh aku tanya sesuatu?"

"Tergantung apa."

"Keluargamu... seperti apa mereka?"

Lucian membeku.

Papa yang idealis. Mama yang lembut. Elena yang ceria.

Keluarga miskin tapi bahagia.

Sampai semuanya direnggut.

"Mereka..." Lucian menarik napas—suaranya bergetar sedikit, "mereka mencintai satu sama lain. Kami miskin. Tidak punya apa-apa. Tapi kami bahagia."

Ia menutup mata—mencoba menahan air mata.

"Papa selalu pulang kerja dan cerita tentang harinya. Mama selalu masak—meski tidak enak—tapi kami tetap makan dengan senang. Adikku..." Suaranya nyaris hilang. "Adikku selalu tertawa. Selalu."

"Mereka terdengar... hangat," bisik Chelsea.

"Ya. Sangat hangat." Air mata Lucian jatuh—tanpa izin. "Kami bahagia. Sampai... sampai semuanya direnggut."

Chelsea menatapnya—mata penuh empati. "Apa yang terjadi?"

Lucian tidak bisa menjawab. Tenggorokannya tercekat.

Chelsea perlahan mengulurkan tangannya—menyentuh tangan Lucian yang terlipat di pangkuannya.

"Kau tidak harus cerita kalau tidak mau. Aku mengerti."

Tapi Lucian bicara—kata-kata keluar sendiri, seperti sudah tidak bisa ditahan lagi.

"Mereka dibunuh. Semuanya. Papa, Mama, adikku yang berusia sepuluh tahun." Suaranya pecah. "Dibunuh... dengan brutal. Dan aku... aku tidak bisa menyelamatkan mereka."

Chelsea terkesiap—tangannya menggenggam tangan Lucian lebih erat.

"Lucian..."

"Aku bersembunyi. Seperti pengecut. Aku mendengar mereka berteriak minta tolong tapi aku tidak keluar." Air mata mengalir deras—semua yang ia pendam selama delapan tahun. "Adikku teriak panggil namaku. Berkali-kali. Tapi aku tidak keluar. Dan sekarang... sekarang dia mati. Dan itu salahku."

Chelsea tidak bicara—ia hanya memeluk Lucian.

Memeluknya erat, seperti mencoba menahan kepingan-kepingan yang pecah.

"Itu bukan salahmu," bisik Chelsea—suaranya juga bergetar, ikut menangis. "Itu bukan salahmu, Lucian. Kau masih anak-anak waktu itu. Kau tidak bisa berbuat apa-apa."

Tapi Lucian menggeleng di bahunya. "Aku dengar dia teriak. Aku dengar dia minta tolong. Tapi aku tidak keluar."

"Karena kau takut. Karena kau manusia. Bukan karena kau pengecut."

Chelsea melepas pelukan—menatap wajah Lucian yang basah air mata, memegang kedua pipinya dengan lembut.

"Dengarkan aku, Lucian. Itu. Bukan. Salahmu." Ia menekankan setiap kata. "Yang salah adalah orang yang membunuh mereka. Bukan kau."

Lucian menatap matanya—mata cokelat yang tulus, yang tidak menghakimi, yang hanya ingin menenangkan.

Dan sesuatu di dadanya—sesuatu yang membeku selama delapan tahun—mulai mencair.

"Terima kasih," bisiknya. "Terima kasih, Chelsea."

Mereka duduk di sana—berdekatan, tangan masih saling menggenggam.

Dua orang kesepian yang menemukan kehangatan di satu sama lain.

Dua orang yang tidak tahu—suatu hari nanti—kehangatan ini akan berubah jadi api yang membakar mereka.

Tapi malam itu, mereka hanya butuh satu sama lain.

Dan itu sudah cukup.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!