Kayanara tidak tahu kalau kesediaannya menemui Janu ternyata akan menghasilkan misi baru: menaklukkan Narendra si bocah kematian yang doyan tantrum dan banyak tingkahnya.
Berbekal dukungan dari Michelle, sahabat baiknya, Kayanara maju tak gentar mengatur siasat untuk membuat Narendra bertekuk lutut.
Tetapi masalahnya, level ketantruman Narendra ternyata jauh sekali dari bayangan Kayanara. Selain itu, semakin jauh dia mengenal anak itu, Kayanara semakin merasa jalannya untuk bisa masuk ke dalam hidupnya justru semakin jauh.
Lantas, apakah Kayanara akan menyerah di tengah jalan, atau maju terus pantang mundur sampai Narendra berhasil takluk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 10
Dari sekian banyak lelaki yang pernah mendekati dirinya, Janu adalah yang paling effort di antara mereka semua. Sebagai seorang businessman yang sibuk bukan main, lelaki itu masih selalu menyempatkan diri mengirim chat. Bukan tipikal chat basa-basi ala remaja tanggung yang baru dibuat kasmaran oleh cinta monyet, melainkan pesan-pesan penting untuk memastikan dirinya butuh bantuan atau tidak.
Mungkin karena usianya yang memang sudah matang, jadi kebanyakan yang lelaki itu lakukan adalah hal-hal berarti, tanpa banyak omong dan buang-buang waktu serta energi.
Sudah tiga minggu berlalu sejak pertemuan pertama mereka, dan selama kurun waktu itu, sudah banyak hal yang Janu lakukan untuk dirinya.
Seperti hari ini, misalnya. Sesaat setelah menerima kabar dari Michelle bahwa dirinya sedang sakit karena datang bulan hari pertama, Janu langsung datang ke apartemen membawakan banyak sekali barang yang dia butuhkan. Mulai dari makanan manis, obat pereda nyeri, kompres khusus haid, sampai minuman herbal yang bisa ditemukan dengan mudah di supermarket.
Tidak hanya itu, qpa yang membuat Kayanara lebih terpukau lagi adalah fakta bahwa Janu tidak datang sendirian. Lelaki itu membawa serta Michelle, meski sebelumnya Michelle telah memberikan kartu akses apartemen miliknya yang perempuan itu juga pegang. Janu bilang tidak ingin hanya berduaan saja dengan dirinya, apalagi di saat kondisi tubuhnya sedang tidak baik-baik saja. Seakan lelaki itu ingin menunjukkan bahwa dia memang layak. Bahwa dia tahu caranya memperlakukan perempuan dengan baik dan benar.
“Saya bikin cream soup, kamu makan dulu ya, mumpung masih hangat.” Dari pintu kamar yang dibuka lebar, Janu muncul membawa nampan berisi mangkuk sup dan segelas air putih. Ada tablet pereda nyeri dan tablet tambah darah juga di sana, yang keberadaannya bisa langsung Kayanara lihat karena warna bungkusnya yang cukup mencolok.
Dibantu Michelle, Kayanara bangun dari posisi rebah. Nyeri di perutnya masih terasa sangat, meski kompres telah dipasang dan panasnya merambat ke seluruh area perut.
“Mau saya bantu?” Janu menawarkan. Melihat Kayanara yang wajahnya pucat pasi dan tampak tidak punya banyak tenaga untuk menyuapkan makanannya sendiri, dia pun tanpa ragu menawarkan diri.
Ada Michelle di sana, tetapi untuk menghargai effort Janu, Kayanara menganggukkan kepala.
Michelle, sambil mengulum senyum, menyingkir dari kursi tempatnya semula duduk. Menyerahkan tempatnya kepada Janu agar lelaki itu bisa membantu Kayanara memakan sup yang masih mengepulkan asap.
Hanya sesaat setelah bokongnya mendarat di kursi, Janu segera mengambil alih mangkuk dan sendok. Dengan sabar, dia menyuapkan sendok demi sendok cream soup ke dalam mulut Kayanara. Dia bahkan tidak protes ketika Kayanara mengunyah cukup lama, padahal tekstur cream soup sudah cukup halus untuk bisa langsung ditelan.
Selagi menunggu Kayanara selesai disuapi, Michelle bergerak semakin menepi. Diam-diam, dia mengeluarkan ponsel dari saku celana, lantas mengambil gambar dengan mode shutter yang diam dan mengirimkan hasil bidikannya kepada Daniel.
Sudah mulai dekat, ya, Bestie. Tulisnya di bubble chat setelah foto itu terkirim kepada Daniel.
Michelle sebenarnya gatal sekali ingin kabur dari kamar Kayanara, membiarkan dua anak manusia itu menikmati waktu bersama dengan lebih intens dan mesra. Tetapi, dia tetap bertahan di sana karena Janu pasti tidak akan mengizinkannya ke mana-mana.
Aduh, om-om satu itu memang ada saja akalnya untuk membuat anak orang terpesona.
“Sukses ini mah,” tanpa sadar, Michelle cekikikan. Otaknya mulai dipenuhi dengan banyak sekali adegan menyenangkan. Melihat Kayanara dalam balutan gaun pengantin dan Janu yang menjadi mempelai pria adalah salah satu adegan yang paling membuatnya girang, membuatnya senyumnya terkembang.
...🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼...
Sehabis makan, Kayanara menenggak sebutir pil perada nyeri yang membantunya tertidur cukup lama. Ketika bangun, hari sudah gelap, kamarnya pun dalam keadaan remang karena lampu tidur otomatis menyala saat lampu utama dipadamkan.
Kayanara bangun perlahan-lahan, menyandarkan punggung ke headboard ranjang sambil berusaha mengumpulkan seluruh kesadaran. Dan saat dirasa sudah cukup, dia bergerak pelan menurunkan satu persatu kakinya.
Tubuhnya masih sedikit oleng ketika pertama kali dibawa berdiri, namun dia masih sanggup melanjutkan niat tanpa adegan jatuh menggelinding seperti semangka yang keluar dari keranjang buah.
Pelan-pelan, kakinya mengayun, melangkah keluar dari kamar demi menemukan keberadaan Michelle. Setiap kali dia kesakitan di hari pertama datang bulan, perempuan itu akan selalu standby, jadi kali ini pun, Kayanara yakin Michelle masih ada di apartemennya.
Dan benar saja, Michelle sedang duduk anteng di sofa ruang depan, menonton televisi sambil mengunyah camilan.
“Oh, udah bangun, Sayangku? Sini!” seru Michelle ketika netranya menemukan keberadaan Kayanara.
Kayanara berjalan mendekat, lalu langsung merebahkan dirinya di pangkuan Michelle.
“Mau di puk-puk,” pintanya, seraya menunjuk kepalanya yang sudah rebah begitu nyaman di paha Michelle.
Michelle menuruti keinginan Kayanara tanpa banyak protes. Tangannya bergerak pelan, menepuk-nepuk kepala sahabatnya itu hingga tampaklah oleh dirinya kedua netra perempuan itu terpejam.
Di mata orang-orang, Kayanara terkenal sebagai wonder woman. Kuat, tangguh, tidak takut apa pun. Hampir tak ada yang tidak bisa perempuan ini lakukan. Dari pekerjaan ringan sampai angkat galon sekalipun, dia bisa. Tetapi, kalau sedang datang bulan begini, segala sisi manja dan kekanak-kanakan yang dia miliki akan muncul. Kalau sudah begitu, hanya ada Michelle yang bisa menjadi tempat mengadu. Hanya dia yang bisa meladeni Kayanara dengan mood yang berubah-ubah dan cenderung jadi lebih menyebalkan.
“Janu pulang jam berapa tadi?” Pertanyaan itu Kayanara lontarkan masih dengan mata yang terpejam, menikmati belaian lembut Michelle di rambut legamnya yang sudah waktunya dipangkas.
“Jam 5-an deh, kayaknya. Biasa, bocah-bocahnya udah pada nungguin di rumah.”
Kayanara hanya menganggukkan kepala. Melihat Janu rela tetap menduda selama hampir 20 tahun demi si bungsu Narendra, dia sih sudah tidak heran kalau lelaki itu akan selalu mengutamakan anak-anaknya.
“Janu emang begitu, Kay. Gue denger dari Ko Daniel, dia bakal selalu usahain ada di rumah pas weekend begini biar bisa sholat berjamaah bareng anak-anaknya. Sweet banget, ya.”
Kayanara terdiam sebentar setelah mendengar fakta itu. Sedikit merasa tertampar, sebenarnya. Karena dirinya yang memiliki banyak waktu luang dengan status pekerjaannya yang WFH, dia masih sering lalai memenuhi kewajibannya. Kadang bangun kesiangan sampai skip salat subuh, lah. Kadang terlalu asyik mengumpulkan materi untuk menulis artikel sampai skip zuhur dan asar, lah. Pokoknya, selalu saja ada yang bolong dari kewajiban 5 waktunya.
Mengetahui Janu ternyata masih bisa taat di tengah-tengah kesibukannya seketika membuat Kayanara merasa kecil. Ia lantas mulai mempertanyakan, pantaskah menjadi pendamping hidup lelaki itu?
Bersambung.....