Penasaran dengan ceritanya yuk langsung aja kita baca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30: Bayang-Bayang Baru
BAB 30: Bayang-Bayang Baru
Januari 2026 di Jakarta tidak hanya membawa angin monsun yang kencang, tetapi juga kabar dari Balai Kota yang membuat Maya tidak bisa tidur nyenyak. Di atas meja kerjanya yang terbuat dari bambu laminasi, tergeletak sebuah draf rencana tata ruang terbaru yang diberi judul ambisius: "Jakarta Waterway Transformation 2030".
Secara kasatmata, rencana itu terlihat indah—penataan total bantaran sungai menjadi area hijau dan jalur transportasi air modern. Namun, bagi Maya yang kini mahir membaca peta teknis, ada satu garis merah yang memotong tepat di tengah Sektor 12-B.
"Mereka menyebutnya 'Normalisasi Skala Internasional', Yud," ucap Maya saat Yudha masuk ke ruang pengelola dengan membawa dua gelas kopi hangat. "Jika rencana ini disahkan, area sempadan sungai akan diperlebar menjadi lima belas meter. Itu artinya, sayap kiri Rumah Senja—perpustakaan dan ruang kesehatan kita—harus dibongkar."
Yudha menghela napas panjang, kacamata yang ia pakai tampak berembun. "Ironis, bukan? Dulu kita melawan penjahat seperti Baskoro dan Sterling. Sekarang, kita harus melawan pemerintah yang sedang mencoba 'mempercantik' kota dengan cara yang sama-sama menggusur."
Tantangan kali ini jauh lebih halus. Pemerintah tidak datang dengan preman atau buldoser di tengah malam, melainkan dengan surat undangan sosialisasi dan janji-janji tentang "estetika kota". Aris sudah tiada, dan Maya menyadari bahwa kini beban untuk menjadi lidah bagi warga bantaran ada sepenuhnya di pundaknya.
Pagi itu, Maya memutuskan untuk meninjau sayap kiri bangunan. Ia melihat anak-anak sedang asyik membaca buku di atas lantai bambu yang hangat. Di sudut lain, beberapa lansia sedang memeriksa tekanan darah di klinik gratis. Jika bagian ini dibongkar, jantung sosial Rumah Senja akan berhenti berdetak.
"Mbak Maya, ada tamu dari dinas tata kota di bawah," lapor Jaka, yang kini selalu waspada dengan siapa pun yang datang mengenakan seragam resmi.
Tamu itu adalah seorang pria muda, mungkin seumuran dengan Maya, bernama Anton. Ia tampak sopan dan membawa gulungan denah yang sangat rapi. "Kami sangat mengagumi karya almarhum Pak Aris, Mbak Maya. Itulah sebabnya kami ingin mengintegrasikan Rumah Senja ke dalam proyek Waterway ini. Tapi, ada standar teknis yang tidak bisa kami langgar. Kita perlu 'menyesuaikan' strukturnya sedikit."
"Menyesuaikan atau memotong, Mas Anton?" tanya Maya tajam.
Anton tampak sedikit canggung. "Kami akan memberikan kompensasi untuk membangun kembali bagian yang hilang di lokasi yang sedikit lebih jauh dari bibir sungai. Pemerintah ingin menjadikan Rumah Senja sebagai ikon wisata air."
"Rumah Senja bukan ikon wisata, Mas. Ini adalah tempat perlindungan," jawab Maya tegas. "Setiap pilar bambu di sini diletakkan dengan perhitungan untuk menahan arus, bukan untuk sekadar difoto oleh wisatawan dari atas kapal."
Pertemuan itu berakhir buntu. Maya menyadari bahwa serangan kali ini akan menggunakan senjata "Kepentingan Umum". Di tahun 2026, narasi tentang kemajuan kota sangat mudah digunakan untuk meminggirkan mereka yang dianggap menghalangi keindahan.
Malam harinya, Maya duduk di taman atap, tepat di samping makam Aris. Ia merasa sangat lelah. Ia merindukan saran dari pria tua itu. Namun, saat ia menatap aliran sungai di bawah cahaya bulan, ia melihat sesuatu yang selama ini ia lewatkan. Di sepanjang bantaran, mulai bermunculan bangunan-bangunan kecil berbahan bambu yang meniru teknik Aris—warga di sektor lain mulai membangun rumah mereka sendiri agar lebih tahan banjir.
"Pak Aris tidak hanya meninggalkan satu gedung," gumam Maya. "Dia meninggalkan sebuah gerakan."
Maya mengambil ponselnya dan mulai menyusun strategi baru. Jika pemerintah ingin "Normalisasi", maka ia akan menunjukkan bahwa Rumah Senja adalah model normalisasi yang paling benar—di mana sungai dan manusia bisa hidup berdampingan tanpa harus saling menyingkirkan. Ia akan mengundang para ahli hidrologi internasional untuk membuktikan bahwa struktur bambu Rumah Senja justru membantu memperkuat bantaran sungai, bukan menghambatnya.
Perjuangan baru di tahun 2026 ini baru saja dimulai. Maya tidak lagi merasa takut. Ia tahu bahwa selama pilar-pilar bambu itu tetap tertanam di hati warga, tidak ada garis merah di peta mana pun yang bisa merobohkan mimpi sang pelukis senja.