Di Era Kolonial, keinginan memiliki keturunan bagi keluarga ningrat bukan lagi sekadar harapan—melainkan tuntutan yang mencekik.
~
Ketika doa-doa tak kunjung dijawab dan pandangan sekitar berubah jadi tekanan tak kasat mata, Raden Ayu Sumi Prawiratama mengambil jalan yang tak seharusnya dibuka: sebuah perjanjian gelap yang menuntut lebih dari sekadar kesuburan.
~
Sementara itu, Martin Van der Spoel, kembali ke sendang setelah bertahun-tahun dibayangi mimpi-mimpi mengerikan, mencoba menggali rahasia keluarga dan dosa-dosa masa lalu yang menunggu untuk dipertanggungjawabkan.
~
Takdir mempertemukan Sumi dan Martin di tengah pergolakan batin masing-masing. Dua jiwa dari dunia berbeda yang tanpa sadar terikat oleh kutukan kuno yang sama.
~
Visual tokoh dan tempat bisa dilihat di ig/fb @hayisaaaroon. Dilarang menjiplak, mengambil sebagian scene ataupun membuatnya dalam bentuk tulisan lain ataupun video tanpa izin penulis. Jika melihat novel ini di
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kunjungan Martin
Mbok Sinem memperhatikan bekas itu dengan dahi berkerut. Matanya bertemu dengan Mbok Darmi, ada tanya yang tidak terucapkan.
"Tidak tahu," jawabnya cepat. "Ndoro Ayu tidak cerita. Mungkin jatuh di kamar mandi."
Mbok Darmi mengangguk, meski matanya masih menyiratkan kecurigaan. Tangannya kembali bergerak memijat perlahan.
"Otot-otot kaki Raden Ayu sangat kencang, seperti habis berjalan jauh," komentarnya lagi. "Memangnya Raden Ayu pergi ke mana? Tidak biasanya berjalan jauh."
Jantung Mbok Sinem berdebar kencang, mengingat perjalanan jauh yang mereka tempuh semalam—dari rumah ki Jayengrana hingga Kedung Wulan, lalu kembali lagi.
"Tadi malam kan pesta di Karesidenan," jawabnya dengan suara yang diusahakan tetap tenang. "Mungkin Ndoro Ayu banyak berjalan di pesta."
Untuk mengalihkan pembicaraan, Mbok Sinem segera bertanya tentang skandal terbaru.
"Sampean dengar tentang nyai milik Tuan Belanda yang baru saja diusir dari rumah majikannya? Katanya nyonya Belandanya baru datang dari Negeri Belanda."
Taktik pengalihan ini berhasil. Mbok Darmi segera larut dalam percakapan tentang nasib malang seorang nyai.
“Kapok …! Begitu itu, kalau mau hidup enak cepat tanpa kerja keras. Masih mending kita ini, miskin tapi masih punya harga diri. Jadi perempuan kok tidak ada harganya, mau saja jadi simpanan.”
Sementara kedua perempuan tua itu asyik berbisik-bisik, Sumi tampak begitu pulas dalam tidurnya. Napasnya teratur. Tidak ada yang tahu bahwa dalam mimpinya, ia kembali berada di Kedung Wulan, dalam pelukan seorang pria yang bukan suaminya.
Di sisi lain kota, di kediaman keluarga van der Spoel, Martin juga tertidur pulas setelah makan siang yang luar biasa banyak.
Pelayan-pelayannya saling berbisik, takjub dengan nafsu makan tuan muda mereka yang biasanya sangat sedikit, mengeluhkan masakan mereka yang kurang pas di lidahnya yang terbiasa dengan koki Eropa.
Siang hari menjelang sore, Martin akhirnya terbangun. Ia meregangkan tubuhnya di atas ranjang, matanya mengerjap pelan, menyesuaikan dengan cahaya yang menembus tirai jendela.
Rasanya ini tidur paling nyenyak yang pernah ia alami selama bertahun-tahun. Tidak ada mimpi buruk tentang Kedung Wulan, tidak ada wajah Johanna yang menghantui.
Yang ada hanya seperti mimpi pengulangan kejadian semalam bersama Sumi. Bibirnya melengkung membentuk senyuman. Entah bagaimana, ia sudah merindukan perempuan itu.
Martin bangkit dari tempat tidur untuk buang air kecil, lalu mencuci muka di wastafel porselen.
Dengan gerakan lambat namun pasti, ia menyisir rambutnya dengan rapi, menambahkan pomade agar tampilannya lebih menawan.
Dari laci mejanya, ia mengambil kalung emas dan tusuk konde berukir yang tertinggal oleh Sumi semalam. Benda-benda itu ia masukkan ke dalam tas kulit kecil, lalu bergegas ke garasi mobil.
Ibunya, yang kebetulan sedang menikmati teh sore di beranda, melihat putranya dengan langkah tergesa.
Dengan penasaran, ia menghampiri Martin yang sudah berpakaian rapi–kemeja putih dilengkapi vest abu-abu, dan celana panjang warna senada.
"Martin? Kau mau ke mana?" tanyanya, sedikit heran melihat putranya yang jarang keluar rumah kecuali untuk urusan penting.
"Hanya ingin melihat-lihat kota," jawab Martin santai, lalu menyalakan mesin Ford hitam mengkilap.
Nyonya van der Spoel memperhatikan wajah putranya dengan seksama. Ada sesuatu yang berbeda—Martin tampak ... bahagia.
Senyum tipis terus tersungging di bibirnya, matanya berbinar. Ini sangat berbeda dari Martin yang biasanya murung dan pendiam.
"Apa tadi malam ada gadis yang menarik hatimu di pesta?" tanya ibunya dengan nada menggoda.
Martin menatap ibunya dengan senyum yang semakin terkembang. "Ada yang menarik.”
Nyonya van der Spoel tersenyum lebar, matanya berbinar penuh harap.
"Setelah sekian lama, kau akhirnya tertarik pada perempuan! Ibu sudah hampir putus asa mengenalkanmu pada gadis-gadis Eropa." Ia mendekat, berbisik dengan nada penasaran. "Siapa dia? Putri keluarga mana?"
Martin menatap ibunya dengan senyum misterius. "Rahasia," bisiknya, lalu mengecup pipi ibunya sebelum berpamitan pergi.
Mesin mobil Ford menderu kencang saat Martin memacunya keluar dari pekarangan rumah van der Spoel. Tujuannya jelas—Dalem Prawirataman, kediaman keluarga Soedarsono.
Sementara itu, di kamarnya, Sumi sudah bangun dari tidur nyenyaknya. Ia merasa lebih segar, meski beberapa bagian tubuhnya masih terasa pegal.
Dengan langkah pelan, ia berdiri sambil memijat bokongnya yang semalam terbentur undakan batu sendang
Ia berjalan menuju jendela kamarnya yang terbuka, memandang taman dalam Dalem Prawirataman yang asri dengan berbagai tanaman bunga kesukaannya.
Sejak tadi, pikirannya dipenuhi kekhawatiran tentang Martin. Bagaimana jika pemuda Belanda itu menceritakan kejadian semalam pada orang lain? Bagaimana caranya menutup mulutnya?
"Kalau semalam aku melakukannya dengan pelayan atau orang yang lebih rendah, itu akan lebih mudah," gumamnya pada diri sendiri. "Tinggal tutup mulutnya dengan uang."
Tapi ini putra keluarga van der Spoel—keluarga terkaya di karesidenan, yang kekayaannya bahkan melebihi keluarga suaminya. Apa yang bisa ia tawarkan untuk membungkam mulut Martin?
Sumi mulai pusing memikirkannya. Ia mondar-mandir di kamar, berharap Martin tidak terlalu memikirkan kejadian semalam, menganggapnya hanya kenangan satu malam yang tidak perlu diungkit lagi.
Namun harapannya sirna ketika terdengar suara keras dari luar—deru mesin mobil yang memasuki pekarangan Dalem Prawirataman.
Sumi bergegas ke jendela yang menghadap ke halaman depan, mengintip dari balik tirai tipis.
Jantungnya seolah berhenti berdetak saat melihat mobil hitam mengkilap milik keluarga van der Spoel berhenti di depan pendopo.
Para abdi dan pelayan rumah segera berkumpul, berbisik-bisik sambil menunjuk ke arah 'kereta setan'—sebutan mereka untuk mobil yang bisa berjalan tanpa kuda.
Mbah Joyo, kepala abdi laki-laki yang sudah puluhan tahun mengabdi pada keluarga Prawiratama, menghampiri mobil dengan membungkuk hormat.
"Selamat sore, Tuan," sapanya dalam bahasa melayu saat Martin turun dari mobil.
"Selamat sore. Apa Raden Mas Soedarsono ada di rumah?"
"Belum pulang, Tuan. Raden Mas tidak pulang sejak semalam.”
"Oh begitu," Martin mengangguk. "Apa istrinya ada di rumah?"
"Semua istrinya ada di rumah, Tuan."
Martin melebarkan matanya, sedikit terkejut. "Berapa ... istrinya?"
"Tiga, Tuan," jawab Mbah Joyo sederhana, seolah itu hal yang sangat wajar.
Martin terdiam sejenak, agak terkejut. Ia tahu praktik poligami sangat umum di kalangan bangsawan Jawa, tapi entah mengapa, membayangkan Sumi berbagi suami dengan dua perempuan lain membuat hatinya terasa tidak nyaman.
"Saya ingin bertemu dengan Raden Ayu Sumi," ucapnya akhirnya. "Bisa tolong sampaikan?"
Mbah Joyo mengangguk, mempersilakan Martin menunggu di pendopo. Para abdi dengan cepat menghidangkan teh dan berbagai kue-kue tradisional Jawa—wingko, klepon, wajik, dan putu ayu—yang disusun rapi di atas nampan perak.
Martin mencicipi jajanan pasar yang terasa manis, gurih, dan legit di lidahnya. Sangat berbeda dari kue-kue kering Eropa yang biasa disajikan di rumahnya.
Sambil menikmati kudapan, ia tidak menyadari bahwa kedatangannya telah mengundang rasa penasaran para penghuni rumah.
Di balik seketheng—tembok bata yang memisahkan halaman luar dan dalam—banyak mata mengintip, termasuk Pariyem yang penasaran siapa tamu tampan itu.
Sementara di kamarnya, Sumi nyaris melompat kaget ketika pintu diketuk pelan. Mbok Sinem masuk dengan wajah tegang.
"Ndoro, ada tamu mencari Ndoro," bisiknya.
"Siapa?" tanya Sumi, meski ia sudah tahu jawabannya.
"Tuan Martin van der Spoel, Ndoro. Menunggu di pendopo."
Wajah Sumi memucat seketika. Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar kencang.
"Katakan pada Mbah Joyo untuk menyampaikan bahwa saya sedang tidak enak badan dan tidak menerima tamu," ucapnya akhirnya.
Mbok Sinem mengangguk, segera menyampaikan pesan ini pada Mbah Joyo. Tak lama kemudian, abdi tua itu kembali dengan wajah lebih tegang dari sebelumnya.
"Ndoro, Tuan van der Spoel berkata bahwa beliau datang untuk menyerahkan benda-benda berharga Ndoro yang tertinggal." Suaranya merendah menjadi bisikan. "Katanya tidak bisa menyerahkannya pada pelayan. Jika Ndoro tidak bisa menemuinya, maka beliau akan menyerahkan benda-benda itu pada Raden Mas saja."
Jantung Sumi seperti berhenti berdetak mendengar ancaman terselubung itu. Benda-benda berharga?
Ia menyentuh lehernya secara refleks, baru menyadari bahwa kalung mewah yang semalam ia bawa ke pesta—tidak ada. Begitu juga dengan tusuk konde emas berukir namanya.
Bagaimana nanti ia menjelaskan pada suaminya bahwa benda-benda pribadi itu bisa tertinggal di tempat Martin? Tidak ada alasan masuk akal yang bisa ia berikan.
"Mbok," ucapnya dengan suara bergetar. "Tolong katakan pada Tuan van der Spoel untuk menunggu sebentar. Saya akan menemuinya."
Sementara Mbah Joyo pergi untuk menyampaikan pesan dari Mbok Sinem, Sumi bergegas ke meja riasnya.
Dengan tangan gemetar, ia merapikan sanggulnya, dan memastikan wajahnya terlihat segar meski hatinya dipenuhi ketakutan.
Martin menunggu dengan sabar di pendopo, menikmati jajanan pasar keempat sambil mengamati arsitektur Jawa yang indah.
"Kenapa dia menolak menemuiku?" pikirnya, sedikit kecewa sekaligus heran. "Apa perempuan itu hanya memanfaatkanku untuk bisa hamil? Apa tidak ada ketertarikan khusus darinya?"
Martin tidak menyadari bahwa Sumi mungkin memiliki alasan kompleks untuk menghindarinya—budaya Jawa yang ketat, status pernikahannya, dan ketakutan akan aib yang mungkin timbul jika hubungan mereka terungkap.
Lamunannya terhenti ketika ia mendengar suara ketukan sandal selop pelan mendekati pendopo.
Martin mengangkat wajah, dan napasnya tertahan melihat siapa yang mendekat.
Sumi berjalan dengan anggun, kebaya hijau tuanya melekat sempurna di tubuh rampingnya, sanggulnya ditata rapi dengan tusuk konde emas dan rangkaian melati. Wajahnya tenang, meski Martin bisa melihat ketegangan di sudut matanya.
"Selamat sore, Tuan van der Spoel," sapanya formal dengan tatapan menunduk, suaranya diusahakan tetap tenang. "Maaf membuat Anda menunggu."
puaaanaaaskan
suami nya banyak istri
mungkin yg mandul Raden Soedarso sendiri