NovelToon NovelToon
Cinta Dalam Sandiwara: Pengantin Pengganti

Cinta Dalam Sandiwara: Pengantin Pengganti

Status: sedang berlangsung
Genre:Konflik etika / Pengantin Pengganti / Cinta Paksa / Angst / Dijodohkan Orang Tua / Suami amnesia
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: Piscisirius

Dunianya seakan runtuh dalam satu malam. Bagaimana tidak, Nerissa secara tiba-tiba diminta menjadi pengantin pengganti untuk kakak angkatnya. Nerissa terpaksa harus menikah dengan pria yang sehari-harinya tahu bahwa yang dicintainya adalah sang kakak.

Soraya, kakak angkatnya itu mengalami kecelakaan bersama Darius—tunangannya, tepat satu hari sebelum acara pernikahan dilangsungkan. Soraya dinyatakan tewas ditempat, sementara Darius mengalami luka parah yang membuatnya kehilangan ingatan sementara.

Karena sebetulnya pernikahan itu didasari oleh perjanjian antar keluarga, mau tak mau pernikahan tetap dilakukan. Nerissa harus menanggung semuanya, termasuk menjalani peran sebagai Soraya.

Sebab kenyataan paling menyedihkan dari semua itu adalah Darius yang memandang dan beranggapan bahwa sosok Nerissa adalah Soraya—sebagai sosok perempuan yang akan menjadi istrinya. Di lain sisi, Nerissa sendiri sudah memiliki kekasih.

Lantas, bagaimana jika semua kebenaran itu terungkap?

***

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 10 - Sesuai Kontrak

Kami—aku, Darius dan kedua orang tua kami menginap di hotel selama beberapa hari sejak acara pernikahan usai. Dan selama beberapa hari itu aku sangat tersiksa, mereka selalu membawaku pada obrolan tentang keturunan, pewaris dan juga anak laki-laki.

Sementara Darius? Dia acapkali tak peduli, dia pintar melarikan diri, mencari celah agar bisa terlepas dalam obrolan itu. Seolah-olah dia membiarkan aku untuk menanggungnya sendiri.

Dan ketika yang tersisa di sini hanya ada aku dan kedua orang tuaku, akhirnya aku berpikir untuk bersuara. Di kamar, ketika mereka ikut membantu mengemasi barang-barangku—karena sore ini aku resmi pindah dan ikut Darius sepenuhnya, aku berpikir untuk membuka obrolan lebih dulu.

“Ini ramuan untuk kamu,” kata Ibu sambil menyerahkan sebuah botol polos yang entah berisi cairan apa.

Aku mengerut, mengesampingkan topik obrolan yang akan kubicarakan. “Ramuan apa ini, Bu?”

Belum selesai aku menimang dan melihatnya dari dekat botol tersebut, Ibu sudah merebutnya kembali—bergegas memasukkannya ke dalam koper, bergabung di antara himpitan baju.

“Untuk penguat kandungan,” balasnya santai.

Tentu aku melotot mendengarnya. Padahal sejak saat pernikahan sandiwara ini diresmikan, kami sama sekali belum pernah melakukan hubungan suami-istri. Dan kupastikan itu tak akan terjadi, tetapi sekarang ibu dengan entengnya bicara demikian.

Aku pun memanfaatkan momen ini. Perlahan aku turun dari tepian ranjang, mendekati koper, mengambil botol itu dan menjauhkannya agar ibu tak merebutnya kembali. Sontak apa yang aku lakukan berhasil mengambil penuh atensi ibu.

“Bu,” panggilku sambil menatapnya lekat, “Aku tidak akan pernah hamil,” kataku tegas.

“Siapa yang menyuruhmu berkata seperti itu? Kamu harus memberi keturunan!” timpalnya kukuh, tubuhnya seketika berdiri dan lebih mendekat padaku—membuatku harus mendongak untuk menatapnya.

Segera aku ikut berdiri, menaruh botol di kasur belakang. Lantas kembali memusatkan pandangan pada ibu, “Mas Darius sendiri yang bilang, bahwa aku tidak boleh hamil, Bu.”

Ayah yang duduk di samping jendela—membaca hasil pertandingan bola melalui ponsel, hampir tak bergerak tadinya, tetapi mendengar yang kukatakan barusan ia langsung menengok serius. Begitu juga dengan ibu yang kini memberiku tatapan penuh maksud.

Helaan napas panjang kuembuskan, menatap keduanya secara bergantian. “Bu, Yah, aku berani bersumpah bahwa Mas Darius mengatakan agar aku tidak boleh hamil. Aku tidak tahu apa yang dilakukan Kak Soraya sebelumnya, tapi Mas Darius menolak keras.”

Ibu justru mengerutkan kening—dia selalu begitu ketika aku menyeret nama mendiang putri kesayangannya dalam masalah ini. Tapi mau bagaimana lagi? Aku tak mungkin diam saja setelah satu per satu fakta yang kutahu membebaniku.

“Ingat, Nerissa. Entah Darius mau atau tidak, bagaimanapun juga kamu harus hamil anaknya. Tugasmu bukan untuk sekadar menikah lalu selesai begitu saja. Kamu setidaknya harus memberikan satu keturunan!”

Aku menelan ludah mendengar penuturan ibu. Dan pandanganku teralihkan ketika mendengar suara dehaman ayah, aku tahu dia pasti akan ikut bergabung ke dalam obrolan ini.

“Kamu tahu, Nerissa? Ada keturunan yang bisa kamu berikan, maka itu bisa jadi investasi jangka panjang,” katanya memberitahu, begitu serius sampai ponsel di tangannya sudah dimasukkan ke dalam saku.

Aku tersenyum kecut. “Jadi aku ini hanya dianggap alat untuk melakukan investasi?” Dadaku mulai kembang kempis, sesak rasanya. “Aku ... sudah terlalu jauh melangkah, tapi pernah sekali saja kalian bertanya tentang apa yang aku rasakan? Kalian hanya sibuk memikirkan keuntungan kalian sendiri.”

Ayah berdiri dari kursi, dia mendekat padaku. Aku segera membuang muka.

“Hei, Nerissa. Dengarkan ayah.” Tangannya menyentuh bahu, tapi aku tetap enggan menoleh padanya.

“Percayalah, tidak ada kehidupan yang bisa memberimu sebaik ini. Bayangkan jika kamu sampai memiliki anak dan menjadikannya seorang pewaris, bukan hanya kami yang akan untung, kamu akan lebih-lebih dari itu,” katanya berusaha meyakinkan.

Tetapi sedikitpun aku tak tergiur. Kebahagiaan yang kuharapkan tak bisa dibeli dengan kehidupan semacam itu. Dan baru secuil aku mengungkapkan apa yang terjadi, mereka begitu tak terima, memutarbalikkan keadaan. Sampai-sampai aku dibuat tak sanggup melawan.

Persis ketika ibu hendak membuka mulut dan kembali membahas lebih dalam obrolan ini, tiba-tiba pintu diketuk berulang kali. Kompak kami bertiga menoleh, aku yang berjalan ke pintu untuk membuka dan melihat siapa yang datang.

“Mas Darius?” tanyaku dengan dahi yang berlipat.

Pria dengan pakaian santai berada di depan pintu kamar, matanya langsung melirik-lirik ke dalam. Aku segera menoleh, melihat ibu dan ayah yang tampak kembali sibuk—seperti semula, sebelum obrolan penuh desakan itu terjadi.

“Oh, itu Ibu dan Ayah sedang membantuku merapihkan barang. Sore nanti kita jadi checkout dari hotel, kan?” Aku berusaha mengalihkan perhatiannya.

Darius angguk-angguk. “Aku mencari kamu tadi.”

“Kamu butuh sesuatu, Mas?”

Dia kembali mengangguk. Lantas seperkian detik selanjutnya kepalanya melongok masuk—aku reflek memundurkan tubuh.

“Boleh kupinjam Soraya sebentar?”

Kedua orang tuaku menoleh bersamaan. Mengembangkan senyum yang terlihat agak kikuk, mereka juga dengan kompak mengangguk mempersilakan.

Setelahnya, Darius menuntunku keluar ruangan. Tangannya menggenggam pergelangan tanganku. Tidak begitu erat, tetapi mampu membuatku risih.

“Bukankah sarapanmu sudah aku siapkan?” kataku di sela-sela langkah kami.

Aku tidak melupakannya—makanan yang dianjurkan dokter dan tentu makanan di hotel ini terbatas, itu sebabnya aku yang mengambil peran untuk melakukannya.

Dia melerai pegangan tangan, lalu bergerak lebih cepat satu langkah di depanku. “Jangan pikirkan omongan mereka. Kita tidak akan ke arah sana.”

Aku menoleh cepat. “Apa mungkin kamu mendengarnya?”

Darius terlihat acuh. Aku mengejar, berusaha menyeimbangkan langkah.

“Aku pikir, setelah aku mengatakannya tadi kamu tak perlu bertanya lagi,” katanya dengan nada datar.

Kakinya yang panjang sedikit membuatku kewalahan untuk menyusul. “Apa saja yang kamu dengar, Mas?”

Darius menoleh. “Ada apa dengan ekspresimu itu, Soraya? Kamu seolah ketakutan sekali. Padahal kita sudah tahu, bukan hanya keluargamu tapi keluargaku juga sama-sama mengambil keuntungan di sini.”

Langkahku melambat, entah mengapa aku sedikit lega—ketika dia memanggilku dengan nama Soraya. Ini aneh, bukankah jika memang dia mendengar penuh percakapan tadi itu tandanya aku tak perlu susah payah bersandiwara lagi?

“Seperti yang tertulis di kontrak,” bisiknya lagi, suara pelan tapi tajam. “Sampai kontrak ini selesai, kamu tidak boleh hamil. Dari siapa pun, lagi.”

Aku mengerjap. Napasku tercekat. Tidak hanya dari dia, tapi dari siapa pun? Kalimat itu terasa seperti tuduhan. Atau pengingat. Atau mungkin keduanya.

“Aku tidak pernah berniat melanggar kesepakatan,” kataku akhirnya, berusaha menahan nada suaraku agar tetap tenang. “Tapi kamu selalu bicara seolah aku—”

“Seolah kamu pernah menyembunyikan sesuatu? Karena itulah alasannya,” katanya cepat, suaranya datar tapi menusuk. “Aku cuma pastikan kamu tahu batasmu, Soraya.”

Saat di depan pintu kamar yang kami tempati, Darius berhenti melangkah. Dia kembali bicara, “Dan jangan sampai aku berpikir bahwa kamu bersekongkol dengan mereka, dengan orang-orang yang ingin memanfaatkan situasi ini lebih banyak.”

***

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!