Rina menemukan pesan mesra dari Siti di ponsel Adi, tapi yang lebih mengejutkan: pesan dari bank tentang utang besar yang Adi punya. Dia bertanya pada Adi, dan Adi mengakui bahwa dia meminjam uang untuk bisnis rekan kerjanya yang gagal—dan Siti adalah yang menolong dia bayar sebagian. "Dia hanyut dalam utang dan rasa bersalah pada Siti," pikir Rina.
Kini, masalah bukan cuma perselingkuhan, tapi juga keuangan yang terancam—rumah mereka bahkan berisiko disita jika utang tidak dibayar. Rina merasa lebih tertekan: dia harus bekerja tambahan di les setelah mengajar, sambil mengurus Lila dan menyembunyikan masalah dari keluarga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Zuliyana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Saudara
Mereka berbicara lama tentang seni, perjalanan, dan masa depan. Lila merasa hati yang dulu kosong mulai terisi lagi—bukan dengan cinta yang sama seperti Rafi, tapi dengan harapan tentang sesuatu yang baru.
Malam itu, setelah pameran selesai, keluarga mereka berkumpul di rumah. Lila berdiri di depan jendela kamar tidur yang selalu terbuka, melihat langit malam. Adi mendekatinya: "Kamu bangga dengan dirimu?"
"Iya, Pa. Dan aku bangga dengan keluarga kita. Tanpa jendela ini yang selalu terbuka, aku tidak akan sampai sini."
Rina memegang tangan keduanya: "Jendela ini akan selalu terbuka, sayang. Untuk semua cerita yang akan kamu buat, untuk semua cinta yang akan kamu temui, dan untuk semua masa depan yang akan kamu lalui."
Angin segar bertiup, menyebarkan bau bunga melati dari halaman, dan jendela itu tetap terbuka—seperti janji yang tidak pernah terputus, bagi semua hal indah yang masih akan datang.
Setelah pameran Lila sukses, waktu berlalu lagi—sekitar setahun kemudian. Arif sudah 15 tahun, masuk SMA, dan begitu terobsesi dengan pemrograman sampai dia sering tidur larut malam hanya untuk menyelesaikan kode aplikasi. Ayu sudah 18 tahun, akan lulus SMA, dan sedang bingung memilih jurusan kuliah. Rina sedang menulis buku ketiganya—tentang hubungan antar saudara—dan Adi bekerja dengan senang hati di perusahaan baru, yang memberi dia waktu lebih banyak untuk keluarga.
Satu hari, Arif pulang dari sekolah dengan wajah muram. Dia langsung masuk kamar dan mengunci pintu. Lila yang sedang melukis di teras melihatnya dan berkata pada Rina: "Bu, lihat Arip—kayaknya ada yang salah."
Rina mengetuk pintu kamar Arif: "Sayang, buka ya. Kita bicara."
Setelah beberapa detik, pintu terbuka. Arif menangis, mata merah karena kurang tidur: "Bu, teman-teman di sekolah menyebutku 'robot' karena aku selalu baca buku pemrograman dan tidak mau bermain bersama mereka. Mereka bilang aku aneh."
Rina duduk di sampingnya, memegang bahunya: "Kamu tidak aneh, sayang. Kamu cuma punya hobi yang berbeda—dan itu hebat! Kamu bisa membuat aplikasi sendiri, lho. Banyak orang tidak bisa melakukan itu."
"Tapi aku ingin punya teman, Bu. Aku ingin merasa masuk di sekolah." Arif menangis lebih kencang. "Aku sudah coba berhenti selama seminggu, tapi aku merasa tidak ada artinya hidupku."
Lila masuk kamar: "Arip, dengarkan aku. Aku juga pernah merasa aneh di sekolah—karena aku selalu bawa cat dan lukis. Tapi akhirnya, aku menemukan teman yang suka hal yang sama dengan aku. Kamu juga akan menemukan mereka. Jangan berhenti karena orang lain—itu bagian dari siapa kamu."
Hari berikutnya, Lila membantu Arif membuat poster tentang aplikasi yang dia buat—aplikasi untuk membantu siswa mengatur jadwal belajar. Mereka memajangnya di sekolah, dan ternyata banyak siswa yang tertarik. Beberapa cowok yang juga suka teknologi mendekatinya, dan mereka membentuk kelompok pemrograman bersama. Arif akhirnya merasa "masuk" dan senang kembali.
Sementara itu, Ayu sedang menghadapi keputusan yang sulit. Dia diterima di dua universitas: satu di Jakarta jurusan tari (yang dia suka), dan satu di Surabaya jurusan kedokteran (yang diinginkan oleh Siti dan Ibu Adi). Dia bingung sampai tidak bisa tidur. Satu malam, dia datang ke kamar Rina dan Adi, membawa surat penerimaan.
"Bu, Pa, aku bingung. Aku suka tari—itu yang membuatku bahagia. Tapi Mama Siti bilang tari tidak bisa memberi nafkah, dan Ibu (Ibu Adi) juga bilang aku harus memilih kedokteran agar masa depanku cerah."
Adi melihatnya dengan lembut: "Ayu, keputusan ini adalah milikmu. Kita hanya bisa memberi nasihat, tapi yang menentukan adalah kamu sendiri. Apa yang hatimu katakan?"
Ayu menangis: "Aku mau tari, Pa. Tapi aku takut mengecewakan Mama Siti dan Ibu."
Rina mengajak semua orang—Siti, Ibu Adi, Lila, Arif—bertemu di teras hari berikutnya. Mereka duduk berkeliling meja, dengan jendela kamar tidur yang terbuka segar angin pagi.
Siti melihat Ayu: "Sayang, Mama hanya khawatir kamu kesulitan nanti. Tari itu indah, tapi sulit mencari kerja."
Ibu Adi menambahkan: "Ya, Ayu. Kedokteran lebih aman. Kamu bisa membantu banyak orang."
Ayu berdiri, suara kaku tapi tegas: "Aku tahu Mama dan Ibu khawatir. Tapi tari itu bagian dari diriku. Aku sudah menang banyak lomba, dan guru tari aku bilang aku punya bakat. Aku mau coba mengejarnya—jika nanti tidak berhasil, aku akan mencari jalan lain. Tapi aku tidak mau menyesal karena tidak mencoba."
Lila berdiri mendukungnya: "Ibu, Mama Siti, lihat aku. Orang tua juga khawatir ketika aku mau melukis dan menulis, tapi sekarang aku sukses. Yang penting adalah kerja keras dan percaya pada diri sendiri."
Arif juga berdiri: "Kak Ayu, aku dukung kamu! Kamu tari bagus banget!"
Siti melihat wajah Ayu yang tegas, lalu melihat keluarga yang mendukungnya. Dia menangis: "Baiklah, sayang. Mama dukung keputusanmu. Cuma janji, kamu harus kerja keras ya."
Ibu Adi juga mengangguk: "Aku juga dukung. Semoga kamu sukses sebagai penari."
Ayu menangis senang, lalu memeluk semua orang. Rina merasa hatinya penuh kebahagiaan—keluarga yang dulu saling menyalahkan sekarang bisa berbicara dengan jujur dan mendukung satu sama lain.