Dena baru saja selesai menamatkan novel romance yang menurutnya memiliki alur yang menarik.
Menceritakan perjalanan cinta Ragas dan Viena yang penuh rintangan, dan mendapatkan gangguan kecil dari rival Ragas yang bernama Ghariel.
Sebenarnya Dena cukup kasihan dengan antagonist itu, Ghariel seorang bos mafia besar, namun tumbuh tanpa peran orang tua dan latar belakang kelam, khas antagonist pada umumnya. Tapi, karena perannya jahat, Dena jelas mendukung pasangan pemeran utama.
Tapi, apa jadinya jika Dena mengetahui sekelam apa kehidupan yang dimiliki Ghariel?
Karena saat terbangun di pagi hari, ia malah berada di tubuh wanita cantik yang telah memiliki anak dan suami.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salvador, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 : Pengalaman pertama Ghariel
...****************...
“Ingin ikut memberinya pelajaran?”
Awalnya Ghariel tidak mengerti apa maksud ucapan Papanya itu.
Gevan membawanya menuju ruang bawah tanah, satu tahun yang lalu Ghariel pernah di bawa ke sini. Dan Papanya menunjukkan sesuatu yang berhasil membuat Ghariel pingsan di tempat saat itu.
Semua dinding di ruangan bawah tanah ini di isi oleh berbagai senjata, dengan berbagai jenis dan ukuran. Juga beberapa katana yang di dapat Gevan dari teman yakuza nya.
Sampai mereka memasuki pintu menuju penjara di ruangan itu. Ghariel menghentikan langkahnya, dulu di dalam sana Papa nya menunjukkan bagaimana penyiksaan untuk orang-orang yang tidak lagi berguna.
“Penerusku tidak boleh menjadi pengecut seperti ini.” Ujar Gevan melihat Ghariel yang malah terpaku di pintu masuk, ia mendahului langkah putranya.
Pada akhirnya, Ghariel tetap mengikuti langkah Papanya. Mereka berhenti di depan penjara berisi seorang wanita yang terlihat memiliki bekas cambukan di sekujur punggungnya.
“Tuan.. Tuan!! Anda berjanji akan membiarkan saya hidup jika saya membuka mulut!! Tolong keluarkan saya Tuan....” Wanita itu menangis pilu menatap Ghariel dan Gevan.
Wanita itu adalah orang yang mendorong Araya ke dalam kolam renang. Gevan berhasil membuatnya berbicara siapa yang menyuruhnya untuk melukai istrinya.
“Papa..” Ghariel menatap ayahnya yang entah sejak kapan tengah menyiapkan sebuah pistol di tangannya.
“TUAN!! Hiks.. tolong saya tuan!!!”
Gevan menghiraukan Isak pilu ketakutan wanita itu. Setelah memastikan pistol di tangannya berfungsi. Gevan menuntun Ghariel untuk memegangnya.
Lelaki itu menyadari jika ada keraguan dalam diri putranya itu, “Rayvandra, dengarkan Papa,”
“Wanita itu, dia yang mendorong mama kamu sampai tenggelam di kolam kita. Kamu akan membiarkannya begitu saja?” Tanya Gevan menatap lurus putranya.
Ghariel terlihat terkejut. Pantas saja kondisi wanita itu sekarang seperti ini, ia telah mencoba membunuh Mama-nya.
Ghariel mengikuti instruksi Papanya dengan benar untuk memegang pistol itu.
“Luruskan pandangan kamu pada kepalanya. Lihat dia seperti target papan panahan kamu, Rayvandra.”
“TUAN!! Anda bilang akan melepaskan saya!!!” Wanita itu terus berteriak di dalam sana.
Ghariel memusatkan konsentrasi nya, kini Papanya melepaskan tangan. Ghariel sepenuhnya memegang pistol itu sendiri. Ia mengabaikan teriakan memekak wanita itu.
DOR!
“AKHK!”
Teriakan itu terdengar terakhir setelah pistol di tangan Ghariel mengenai targetnya, darah bersimbah mengenai bajunya karena tembakan.
Gevan tersenyum miring melihat tembakan anaknya yang sempurna. Padahal ini kali pertama Ghariel memegang pistol. Keturunannya memang tidak mengecewakan.
***
Keesokan harinya, saat terbangun Araya merasakan tubuhnya sudah lebih ringan. Ia tidak lagi merasa panas dingin karena efek demam kemarin.
Saat ini ia tengah menikmati bubur putih buatan Bi Laksmi sebagai sarapannya. Araya makan dengan lahap, sebenarnya ia merasa sudah sehat saja. Tapi Bi Laksmi bersikeras agar ia tetap makan bubur pagi ini.
Araya menyerahkan mangkuk kosongnya, “terima kasih, Bi. Bubur buatan bibi sangat lezat,” ujarnya.
Bi Laksmi tersenyum senang mendengarnya, “sama-sama Nyonya. Lain kali akan bibi buatkan lagi.”
Tok tok tok..
Pintu kamar Araya di ketuk beberapa kali, ia menyuruh Bi Laksmi membukakannya.
“Mama...” Ghariel memanggil dengan wajah cerianya dan berlari menghampiri Araya di tempat tidurnya.
Araya tersenyum melihat kedatangan anaknya itu. Ia kira siapa yang bertamu pagi-pagi begini ke kamarnya.
“Sini duduk sayang,” Araya menepuk sisi kasurnya yang mana Ghariel langsung mengambil duduk di sana.
“Mama masih sakit?” Tanya Ghariel memperhatikan wajah ibunya.
“Enggak, kok. Mama udah sehat.” Jawab Araya tak ingin membuat putranya itu khawatir.
“Tapi hari ini kayaknya Ghariel berangkat sama Bastian dulu, gak papa kan?”
Ghariel mengangguk beberapa kali, “Iya, ma. Mama istirahat aja di rumah biar ga cape. Nanti pulang sekolah temenin Ghariel main, ya?”
Araya tersenyum gemas melihat wajah polos menggemaskan itu. Baru kali ini Ghariel mulai meminta sesuatu, berarti anaknya sudah mulai luluh kan?
“Iya sayang, sekarang Ghariel kayaknya harus berangkat sekolah, deh?” Tanya Araya.
Anak itu sudah rapi dengan seragamnya. Pasti menyempatkan waktu untuk melihatnya pagi ini. Araya melirik jam dinding yang mana sudah menunjukkan waktu Ghariel ke sekolah.
Ghariel kembali menganggukkan kepalanya, “Iya, aku ke sekolah dulu. Mama jangan sakit lagi, ya.” Ujarnya manis.
Setelahnya ia mencium tangan Araya dan pamit pergi. Bi Laksmi mengantar majikan kecilnya itu dan kembali dengan beberapa buah untuk Araya.
“Saya senang sekali melihat Nyonya dan Tuan Muda sudah dekat. Suasana rumah ini jadi lebih hidup,” ungkap Bi Laksmi senang sembari mengupaskan apel untuk Araya.
Araya mengangguk setuju, “Doa in aja, Bi. Semoga hubungan aku dan Ghariel semakin baik.”
“Amin, sama Tuan juga ya, Nya.” Lanjut Bi Laksmi terkekeh kecil, diikuti Araya.
Bi Laksmi mulai berani untuk bercanda tentang Tuannya karena melihat kejadian kemarin yang mana keduanya tidak terlihat saling memusuhi lagi. Araya juga tak lagi sensitif seperti dulu.
“Tapi, Bi. Aku serius loh kalau kemarin pelayan itu yang dorong aku,” ujar Araya, ia belum membahas ini dengan Bi Laksmi. Araya tak ingin pelayan pribadinya itu juga mengiranya ingin bunuh diri.
“Saya percaya kok sama omongan Nyonya. Bagian keamanan mansion ketika melihat cctv memang ada tangan yang dorong Nyonya, walaupun bagian badannya tidak terekam. Tuan juga sudah menghukum pelayan itu,” jelas Bi Laksmi.
Araya memakan potongan apel dengan perasaan lega. Berarti semua orang sudah tahu kan jika ia memang tak berbohong.
“Dia di hukum apa Bi?” Tanya Araya penasaran.
Tangan Bi Laksmi yang tengah mengupas apel terhenti sejenak, tapi ia langsung melanjutkan kembali.
“Dia langsung di pecat oleh Tuan. Dan agen yang menyalurkan dia untuk bekerja pasti tidak menerimanya lagi.” Jawab Bi Laksmi.
Araya mengangguk mengerti. Menurut Araya itu sudah cukup, walaupun pelayan itu berniat membunuhnya, tapi ia pasti punya alasan di balik itu.
“Apa dia di suruh seseorang, Bi? Atau memang punya dendam sama aku?” Tanya Araya lagi.
“Kalau itu bibi tidak tahu. Nyonya bisa bertanya langsung pada Tuan jika penasaran.”
Yah, mungkin lain kali jika memungkinkan Araya akan bertanya pada Gevan.
“Sebenarnya waktu aku jatuh dari tangga itu, aku beneran jatuh Bi. Aku sama sekali gak ada pikiran untuk bunuh diri saat itu,” ungkap Araya jujur. Ia harus menyelesaikan masalahnya satu-satu sekarang.
Bi Laksmi terlihat tak begitu percaya, “Nyonya serius?” Tanyanya.
Araya mengangguk membenarkan, “Aku pure jatuh Bibi, beneran. Seinget aku lantainya benar-benar licin waktu itu. Aku niatnya pakai tangga karena ya sekalian mau olahraga.”
Ia kemudian mulai mengingat-ingat kejadian sekitar dua tahun lalu, saat itu ia juga di bilang ingin bunuh diri di kolam renang.
“Kalau yang di kolam renang dua tahun lalu, aku yakin kalau aku juga di dorong.” Ujar Araya, kemarin sejenak ia dapat merasakan tubuhnya seperti trauma di dalam kolam renang itu. Seolah sudah terjadi sebelumnya.
Bi Laksmi terdiam sebentar, “Nyonya benar-benar serius kan?”
“Serius Bibi, demi Tuhan.” Ucap Araya meyakinkan.
“Lalu ketika Tuan bilang Nyonya ingin bunuh diri, kenapa Nyonya tidak mengelak?”
Araya menyangga dagunya menggunakan tangan sebelum menjawab, “Bibi kan tahu aku se gak suka itu sama Gevan. Gevan juga percaya karena ada pelayan yang bilang gitu, kan?
Bi Laksmi mengangguk, “seharusnya Nyonya menyangkal saat itu. Agar orang-orang tidak terus terpikir nyonya ingin bunuh diri.”
Araya menyetujui itu, tapi seingatnya Araya saat itu hanya terlalu malas untuk berkomunikasi pada siapapun. Ia bahkan tidak mempedulikan sekalipun memang ada yang berniat mendorongnya saat itu.
“Bibi percaya sama aku kan? Aku memang gak bisa kasih buktinya sekarang, tapi aku benar-benar ngomong kenyataannya.” Tanya Araya meminta validasi.
“Bibi percaya kok,” Bi Laksmi mengangguk beberapa kali, “Pantas saja kalau nyonya memang ingin bunuh diri kenapa selalu di rumah yang ada banyak orang untuk menggagalkan. Padahal nyonya punya banyak waktu di luar.”
Mendengar itu, Araya merasa bisa mencocoklogikan dengan hal lain, apa karena kejadiannya selalu di dalam rumah. Jadi karena itu Gevan selalu membebaskannya di luar? Karena Araya mungkin tidak akan berbuat aneh-aneh di luar sana.
Berarti aku harus cari tahu kalau memang ada orang yang mau bunuh Araya di rumah ini. Batin Araya.
“Bibi, untuk sekarang aku harap cuman Bi Laksmi yang tahu tentang apa yang aku omongin ini, jangan cerita ke temen pelayan Bibi atau siapapun, okay?”
Araya tak ingin pelakunya tahu jika Araya sudah sadar ada yang membahayakannya di sini.
Bi Laksmi mengangguk, “Baik Nyonya.”
...****************...
tbc.
semangat ya buat ceritanya Thor 💪😊👍