NovelToon NovelToon
Pengawal Yang Bunuh Ayahku

Pengawal Yang Bunuh Ayahku

Status: sedang berlangsung
Genre:Anak Yatim Piatu / Action / Cinta Terlarang / Mafia / Romansa / Balas Dendam
Popularitas:100
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

"Tujuh tahun aku hidup di neraka jalanan, menjadi pembunuh, hanya untuk satu tujuan: membunuh Adipati Guntur yang membantai keluargaku. Aku berhasil. Lalu aku bertaubat, ganti identitas, mencoba hidup normal.
Takdir mempertemukanku dengan Chelsea—wanita yang mengajariku arti cinta setelah 7 tahun kegelapan.
Tapi tepat sebelum pernikahan kami, kebenaran terungkap:
Chelsea adalah putri kandung pria yang aku bunuh.
Aku adalah pembunuh ayahnya.
Cinta kami dibangun di atas darah.
Dan sekarang... kami harus memilih: melupakan atau menghancurkan satu sama lain."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 24: MAKAN MALAM BERSAMA

Tiga minggu bekerja sebagai bodyguard Chelsea.

Lucian mulai terbiasa dengan rutinitas—bangun pagi, cek keamanan, sarapan bersama, ikuti Chelsea kemana-mana, pulang malam.

Tapi ada yang berubah.

Chelsea semakin sering mengajaknya bicara. Semakin sering tertawa di dekatnya. Semakin sering... menatapnya dengan cara yang membuat dada Lucian tidak tenang.

Dan Lucian—meski berusaha menjaga jarak—mulai merasa nyaman.

Terlalu nyaman.

Malam itu, setelah pulang dari kantor, Chelsea tidak langsung naik ke kamarnya seperti biasa.

"Lucian," panggilnya saat Lucian akan masuk kamar. "Kau... sudah makan malam?"

"Belum. Tapi aku bisa pesan—"

"Makan bersamaku." Chelsea tersenyum—senyum yang sedikit malu-malu. "Aku masak hari ini. Lumayan banyak. Sayang kalau dimakan sendiri."

Lucian ragu. "Aku tidak mau mengganggu—"

"Kau tidak mengganggu. Kumohon? Aku... aku bosan makan sendirian."

Mata Chelsea—mata yang kesepian itu—membuat Lucian tidak bisa menolak.

"Baik."

Mereka duduk di meja makan—pertama kali dalam tiga minggu ini makan malam bersama.

Chelsea memasak spaghetti aglio olio—masih sedikit gosong di beberapa bagian, tapi jauh lebih baik dari minggu pertama.

"Aku ikut kursus online," kata Chelsea sambil menuangkan air ke gelas Lucian. "Masak. Karena aku malu terus-terusan kasih kamu makanan yang tidak enak."

"Makananmu tidak—"

"Lucian." Chelsea menatapnya dengan alis terangkat. "Telur orak-arik ku yang pertama itu bisa dipake buat palu."

Lucian tersenyum kecil—nyaris tertawa.

Chelsea melihatnya—mata berbinar. "Kau nyaris tertawa! Aku baru pertama kali lihat kau tersenyum!"

"Aku tidak—"

"Kau tersenyum!" Chelsea tertawa—senang seperti anak kecil yang menang permainan. "Akhirnya! Tiga minggu kerja sama, baru sekarang aku lihat kau tersenyum!"

Lucian menunduk—mencoba menyembunyikan senyumnya yang semakin lebar.

Kenapa aku tidak bisa menahan senyum di depan dia?

Mereka makan dalam diam sebentar—tapi bukan diam yang canggung. Diam yang nyaman.

"Lucian," Chelsea memecah keheningan, "boleh aku tanya sesuatu? Kalau kau tidak mau jawab, tidak apa-apa."

"Tanya saja."

"Kau... sebelum jadi bodyguard ku... kau kerja apa?"

Debt collector. Enforcer. Pembunuh bayaran.

Lucian menarik napas. "Aku... kerja serabutan. Kuli bangunan, angkat barang, apa saja yang bisa dapat uang."

Tidak sepenuhnya bohong—ia pernah jadi kuli bangunan dulu.

"Pasti berat ya," kata Chelsea pelan. "Hidup sendirian tanpa keluarga."

"Ya. Berat."

Chelsea menatapnya—mata penuh empati. "Tapi sekarang kau tidak sendirian lagi. Kau punya aku."

Kau punya aku.

Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari yang seharusnya.

Lucian mengangkat kepalanya—menatap Chelsea yang tersenyum tulus.

"Terima kasih," bisiknya. "Itu... berarti banyak bagiku."

Chelsea tersenyum lebih lebar. "Sama-sama."

Mereka melanjutkan makan—tapi Chelsea terus mengobrol, bercerita tentang hari-harinya di kantor, tentang klien yang menyebalkan, tentang rapat yang membosankan.

Dan Lucian mendengarkan—benar-benar mendengarkan, bukan hanya mengangguk sopan.

"Oh iya!" Chelsea tiba-tiba teringat sesuatu. "Kau pernah punya hewan peliharaan?"

"Dulu. Kucing. Namanya Miko." Lucian tersenyum mengingat. "Dia suka tidur di kasurku. Suka curi ikan di dapur."

Elena yang ngasih nama Miko. Elena yang paling sayang sama dia.

"Lucunya!" Chelsea tertawa. "Aku dulu minta ayah beliin anjing. Tapi ayah bilang 'hewan kotor, tidak boleh di rumah'. Jadi aku tidak pernah punya hewan peliharaan."

Ia menunduk—senyumnya memudar.

"Ayah... ayah selalu begitu. Apa yang aku mau tidak pernah penting."

Lucian melihat kesedihan di mata Chelsea—kesedihan yang ia kenal terlalu baik.

"Mungkin ayahmu punya alasannya sendiri," kata Lucian pelan—meski hatinya panas setiap mengingat siapa "ayah" itu. "Kadang orang tua melakukan hal yang terlihat kejam tapi sebenarnya mereka hanya... tidak tahu cara yang lebih baik."

Atau mungkin dia memang monster yang tidak pantas punya anak.

Chelsea menatapnya—lalu tersenyum sedih. "Kau selalu bisa bilang hal yang tepat untuk membuatku merasa lebih baik. Terima kasih, Lucian."

Mereka menghabiskan makan malam sambil mengobrol—Chelsea bercerita lebih banyak, Lucian mendengarkan dan sesekali berkomentar.

Dan ketika Chelsea tertawa—tertawa tulus karena cerita konyol yang Lucian buat-buat tentang masa lalunya—Lucian merasakan sesuatu di dadanya.

Hangat.

Sangat hangat.

Bukan panas amarah seperti delapan tahun terakhir.

Bukan dingin kebencian yang selalu mengisi dadanya.

Tapi hangat... kebahagiaan?

Kapan terakhir kali aku merasa bahagia?

Delapan tahun. Sebelum pembantaian. Sebelum Mama dibakar. Sebelum Elena dibunuh. Sebelum Papa ditembak.

Delapan tahun hanya dendam dan kebencian yang mengisi hidupnya.

Tapi sekarang—mendengar tawa Chelsea—Lucian merasakan kehangatan itu kembali.

Dan itu membuatnya takut.

Jangan. Jangan merasa bahagia. Kau tidak pantas bahagia. Kau pembunuh. Kau monster.

Tapi tawa Chelsea terus terdengar—merdu, tulus, hangat.

Dan Lucian—meski berusaha menahan—tersenyum.

Tersenyum tulus untuk pertama kali dalam delapan tahun.

Setelah makan malam, mereka duduk di sofa ruang tamu—minum teh hangat, berbicara tentang hal-hal kecil.

Chelsea bercerita tentang film favoritnya, buku yang ia baca, tempat yang ingin ia kunjungi.

Lucian mendengarkan—dan tanpa sadar, mulai bercerita juga. Tentang masa kecilnya—yang ia edit tentu saja, menghilangkan bagian pembantaian.

"Keluargamu terdengar hangat," kata Chelsea sambil memeluk bantal sofa. "Aku iri."

"Jangan iri. Kau punya sesuatu yang keluargaku tidak punya."

"Apa?"

"Rumah yang tidak bocor saat hujan." Lucian tersenyum kecil.

Chelsea tertawa—tawa yang membuat matanya menyipit, yang membuat hidungnya sedikit berkerut.

Cantik.

Lucian terkejut dengan pikirannya sendiri.

Jangan. Jangan pikir dia cantik. Jangan—

"Lucian," panggil Chelsea tiba-tiba—suaranya lebih serius, "aku senang kau ada di sini."

Lucian menatapnya.

"Maksudku," lanjut Chelsea sambil menunduk malu, "tiga minggu ini... aku tidak merasa kesepian lagi. Rumah ini terasa... rumah. Bukan museum kosong."

Ia menatap Lucian dengan mata yang jujur—terlalu jujur.

"Terima kasih sudah mau bekerja untukku. Terima kasih sudah... ada."

Dada Lucian sesak.

Jangan bilang itu. Jangan membuat aku merasa... merasa...

"Sama-sama," bisiknya—karena itu satu-satunya yang bisa ia katakan tanpa membongkar segalanya.

Mereka duduk di sana sampai larut malam—mengobrol, tertawa, terkadang terdiam dalam keheningan yang nyaman.

Dan ketika Chelsea tertidur di sofa—kepala bersandar di bantal, napas teratur—Lucian menatapnya lama.

Wanita ini membuat delapan tahun kegelapanku sedikit lebih terang.

Dia membuat dendam dan kebencian yang selalu membakarku... sedikit mendingin.

Dia membuat aku merasa... hidup lagi.

Lucian perlahan mengambil selimut, menyelimuti Chelsea dengan hati-hati.

"Selamat tidur, Chelsea," bisiknya pelan—suara yang tidak terdengar oleh Chelsea yang sudah terlelap.

Ia berdiri, akan kembali ke kamarnya—tapi berhenti di tangga, menoleh sekali lagi.

Chelsea tertidur dengan tenang—wajahnya damai, tidak ada kerutan khawatir.

Dan Lucian tersenyum—senyum sedih yang penuh dengan sesuatu yang belum ia sadari.

Sesuatu yang berbahaya.

Sesuatu yang akan menghancurkan mereka berdua.

Cinta.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!