Bukan pernikahan kontrak! Satu atap selama 3 tahun hidup bagai orang asing.
Ya, Aluna sepi dan hampa, mencoba melepaskan pernikahan itu. Tapi, ketika sidang cerai, tiba-tiba Erick kecelakaan dan mengalami amnesia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon erma _roviko, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Telur gosong
Aluna baru saja membuka lemari pendingin untuk mengambil telur dan roti ketika ia mendengar suara dari belakangnya.
“Aku akan memasak.”
Aluna terlonjak kaget, hampir menjatuhkan sebutir telur organik yang harganya pasti selangit.
Erick sudah berdiri di ambang pintu dapur, bersandar pada kruknya dengan senyum lebar yang terlihat bangga dan keras kepala.
“Erick! Kau seharusnya istirahat!” tegur Aluna, berbalik cepat.
“Kau tidak boleh berdiri lama-lama. Itu berbahaya!”
“Aku sudah lama tidak memasak untukmu,” balas Erick, berjalan perlahan, sangat perlahan menuju kompor yang kompleks itu.
“Aku ingat kita dulu selalu bertengkar karena kau selalu ingin memasak telur dadar, dan aku selalu ingin membuat pancake.”
“Itu karena pancake mu selalu gosong,” gumam Aluna.
“Aku tidak akan membiarkan itu terjadi lagi. Kali ini, aku akan membuat telur dadar yang sempurna untukmu. Kau harus duduk. Pagi ini, aku adalah koki dan kau adalah ratu.”
Aluna tahu menolak hanya akan menimbulkan stres emosional, sebuah pelanggaran aturan dokter Bayu. Lebih dari itu, ia melihat hasrat murni di mata Erick.
Aluna menghela nafas, menyerah pada permainan peran Erick yang keras kepala.
Ia duduk di kursi bar, mengawasi Erick yang tampak canggung berhadapan dengan peralatan dapur canggih itu.
Erick Wijaya yang asli tidak akan pernah menyentuh kompor.
Erick Wijaya hanya akan menunjuk, dan makanan terbaik di kota akan muncul di piringnya.
Erick, dengan kruk di sisinya, mulai berjuang dengan panci anti-lengket yang terlalu besar. Ia memecahkan telur dengan satu tangan, sebuah tugas sulit mengingat cedera di bahu kirinya, dan mengocoknya dengan spatula stainless steel yang terasa dingin.
“Kenapa kompor ini begitu sulit dinyalakan?” gumam Erick, menekan layar sentuh dengan jarinya. Panel kontrol canggih itu berkedip-kedip, menolak untuk bekerja sama.
“Kau harus menahannya sebentar, Sayang.” Aluna memberi tahu. “Itu kompor induksi. Dia tidak menyala sembarangan.”
“Terlalu canggih.” Erick mendengus, kembali ke karakter masa lalunya.
Setelah beberapa saat, Erick berhasil menyalakan kompor. Ia menuangkan adonan telur ke dalam panci. Bau telur dan mentega mulai memenuhi udara, bau sarapan yang jujur, tetapi segera diikuti oleh bau yang sangat tidak menyenangkan, bau sesuatu yang hangus.
“Ups,” kata Erick, suaranya kecil.
Aluna menahan tawa, melihat gumpalan asap tipis mulai mengepul. Sejak awal, memasak memang bukan keahlian pria itu.
“Kenapa ini gosong di bagian tengah?” Erick menggerutu, mencoba membalik telur dadar yang sudah menempel di panci. Ia menusuknya, membelahnya menjadi dua.
Aluna bangkit, tidak tahan melihat penderitaan itu.
“Sudah, biar aku saja yang menyelamatkan sisanya—”
“Tidak!” Erick menahan tangannya dengan cengkeraman lembut.
“Aku bilang aku yang akan memasak. Kau adalah tamu istimewa. Aku sudah terlalu lama tidak bisa melakukan ini untukmu.”
Erick akhirnya menyerah. Ia berhasil menyajikan dua potong telur dadar yang bentuknya tidak karuan, sedikit hancur, dan sebagian besar berwarna coklat kehitaman di bagian bawah, di atas piring porselen putih polos.
Erick meletakkan piring itu di meja bar, di hadapan Aluna.
“Ini untukmu,” katanya bangga, meskipun ia terlihat sedikit malu.
Aluna menatap telur dadar yang gosong, lalu menatap wajah Erick yang penuh harap, dengan sedikit noda busa cukur yang terlewat di pelipisnya. Melihat kontras antara kemewahan dapur dan telur yang hangus itu, serta kegigihan Erick, sesuatu pecah dalam diri Aluna.
Itu bukan tawa kecil atau tawa sopan yang biasa ia keluarkan di depan rekan bisnis Erick Wijaya. Itu adalah tawa yang keluar tanpa paksaan, tawa yang benar-benar riang dari perutnya, tawa Aluna yang sesungguhnya.
“Oh, Erick!” seru Aluna, menutup mulutnya tetapi gagal membendung suara tawa itu. “Kau tidak pernah berubah! Itu terlihat seperti... peta benua Afrika yang baru!”
Erick mematung. Piring di tangannya terlupakan. Ia menatap Aluna, bukan pada telur di piring, tetapi pada tawa itu. Tawa itu, yang begitu polos dan bebas dari kekakuan atau kepura-puraan, menghantam Erick.
“Tawa itu…” Erick berbisik, suaranya dipenuhi kejutan. Ia meletakkan garpu, dan hanya menatap Aluna.
“Aku... aku rindu mendengarnya, Luna. Aku benar-benar rindu tawa itu. Kenapa kau tidak pernah tertawa seperti itu lagi?”
Wajah Aluna memerah. Tawa itu adalah tawa Aluna dari tahun 2015, tawa yang telah dibungkam oleh tiga tahun pernikahan dingin dan formalitas mansion ini. Ia menyadari betapa lama ia tidak tertawa tulus. Mungkin sudah lebih dari tiga tahun.
“Aku... aku hanya ingat pancake gosong mu.” Aluna berbohong, mencoba menutupi kebohongan yang terlalu dalam.
Erick tidak melepaskan pandangannya. Ia mengulurkan tangannya dan menyentuh pipi Aluna. Jari-jarinya mengelus lembut.
“Jangan pernah berjanji apa-apa, Luna. Tapi janji padaku, kau akan sering tertawa seperti itu. Itu suara favoritku.”
Aluna merasakan kejujuran yang mencekik dari mata Erick.
‘Ya Tuhan. Aku telah melupakan suara tawaku sendiri, dan pria inilah yang mengingatkan sekaligus akar masalah ku.’
Erick duduk di samping Aluna. Ia mengambil garpu, memotong bagian telur yang paling sempurna, dan mengarahkannya ke bibir Aluna.
“Buka!” perintahnya lembut, senyumnya kini kembali.
“Erick, aku bisa makan sendiri,” protes Aluna.
“Kau menyuapiku selama seminggu,” kata Erick.
“Aku akan menyuapimu sekarang. Ini adalah bayaran untuk tawa itu. Dan aku ingin memastikan kau makan bagian yang tidak hangus.”
Aluna akhirnya menyerah, membuka mulutnya, dan menerima suapan pertama. Itu adalah pengalaman yang asing. Dalam pernikahan mereka, makanan adalah kebutuhan, bukan ritual.
Erick Wijaya makan dengan efisien dan cepat, tidak pernah mengindahkan siapa pun. Tetapi Erick yang ini, ia menyuapinya dengan sabar, seolah itu adalah kegiatan paling penting di dunia.
“Sekarang giliranmu,” ujar Erick, mengambil sepotong untuk dirinya.
“Aku juga butuh cinta untuk menutupi rasa gosong ini. Kau harus mencicipi bagian yang hangus, agar kau tahu betapa kerasnya aku berusaha.”
Mereka berbagi sarapan kecil yang tidak sempurna itu. Erick menyuapi Aluna, dan Aluna menyuapi Erick, di dalam dapur senilai jutaan dolar.
Rutinitas itu adalah kontras paling tajam dengan kehidupan mansion yang mewah.
‘Erick Wijaya yang asli akan memarahi pelayan karena membiarkan kompornya gosong, bahkan jika itu adalah kesalahannya sendiri. Erick Wijaya tidak akan pernah mau menyuapi atau disuapi. Erick Wijaya akan terbang ke New York untuk rapat darurat.’
‘Tetapi Erick yang ini... Erick yang ini memandangku, dan hanya aku yang penting. Dia mempertaruhkan cederanya hanya untuk mendengar aku tertawa.’
Aluna menyelesaikan sarapannya.
“Baiklah, koki!” katanya, mencubit lengan Erick.
“Sekarang kau harus kembali ke ranjang. Dan aku akan membersihkan ini sebelum Karina atau Ibumu datang dan menuduhku meracunimu dengan arang.”
Erick tertawa, tawa yang sehat dan riang.
“Oke, Sayang. Tapi janji, nanti siang kita rencanakan perjalanan ya!”
Aluna mengangguk, hatinya terasa berat sekaligus ringan. Ia berjanji akan merencanakan perjalanan yang tidak akan pernah terjadi, demi menjaga senyum Erick dan tawa Aluna yang baru ditemukan.
Kebohongan itu terasa manis, dan itulah yang paling menakutkan.