Raka Pradipta 22th, seorang mahasiswa yang baru bekerja sebagai resepsionis malam di Sky Haven Residence, tak pernah menyangka pekerjaannya akan membawanya ke dalam teror yang tak bisa dijelaskan.
Semuanya dimulai ketika ia melihat seorang gadis kecil hanya melalui CCTV, padahal lorong lantai tersebut kosong. Gadis itu, Alya, adalah korban perundungan yang meninggal tragis, dan kini ia kembali untuk menuntut keadilan.
Belum selesai dengan misteri itu, Raka bertemu dengan Andika, penghuni lantai empat yang bisa melihat cara seseorang akan mati.
Ketika penglihatannya mulai menjadi kenyataan, Raka sadar… apartemen ini bukan sekadar tempat tinggal biasa.
Setiap lantai menyimpan horornya sendiri.
Bisakah Raka bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Surat dari Masa Lalu
Setelah semua kejadian di lantai empat, Raka berusaha menjalani hidupnya seperti biasa. Namun, bayangan tentang apa yang dialaminya terus menghantui.
Setiap kali ia menutup mata, ia teringat tatapan penuh ketakutan Andika, suara-suara yang menggema di kepalanya, dan perasaan dingin yang tak kunjung hilang.
Ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan fokus pada pekerjaannya di apartemen sebagai resepsionis. Setiap pagi, ia menyapa penghuni dengan senyum, berusaha tampak seperti tidak ada yang terjadi.
Tapi setiap sudut gedung ini sekarang terasa berbeda baginya—lebih gelap, lebih sunyi, seolah ada sesuatu yang bersembunyi di balik setiap bayangan.
"Pagi, Raka!" Suara ceria Maya, salah satu petugas kebersihan, menyapanya saat ia duduk di meja resepsionis.
"Pagi, mbak Maya," jawab Raka, mencoba tersenyum.
Maya menaruh alat pel di sudut ruangan dan menatap Raka dengan rasa ingin tahu. "Kamu kelihatan capek. Kurang tidur, ya?"
Raka tertawa kecil. "Kayaknya begitu. Beberapa malam terakhir agak berat."
"Jangan-jangan kamu sering nonton film horor malam-malam?" goda Budi, satpam shift malam yang baru saja selesai tugasnya.
"Atau... ada yang gangguin?" Ia menaikkan alis dengan ekspresi menggoda.
Raka hanya menggeleng sambil tersenyum tipis. "Cuma kurang istirahat aja, Bud. Nggak ada yang aneh."
Maya ikut tertawa. "Makanya jangan terlalu sering begadang. Nanti malah lihat yang nggak-nggak."
Raka ingin sekali berkata, "Aku sudah melihat yang nggak-nggak."
Namun, ia menahan diri.
Malam itu, Raka duduk di lobi sambil mengecek daftar penyewa apartemen. Ia berusaha mengabaikan rasa tidak nyaman yang selalu muncul setiap kali ia berada di gedung ini sendirian.
Di luar, hujan rintik-rintik mulai turun, membuat suasana semakin sepi.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Ia mendongak dan melihat Nadine berdiri di hadapannya dengan wajah pucat.
"Raka, aku perlu bicara denganmu," ucapnya dengan nada mendesak.
Raka menutup buku catatannya dan mengangguk. "Ada apa? Kelihatannya serius."
Nadine menyerahkan sebuah kertas tua yang sudah kusam. "Aku menemukan ini di unitku. Dan ada lebih banyak lagi."
Raka mengambil kertas itu dan membaca tulisannya:
Aku bisa mendengar mereka berbicara. Aku bisa merasakan tatapan mereka setiap kali aku menatap cermin. Ini bukan ilusi. Ini nyata. Aku tahu karena aku melihatnya dengan mata kepala sendiri.
Ia mengerutkan kening. "Siapa yang menulis ini?"
"Namanya Larisa. Penghuni lama di lantai lima. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya, tapi surat-surat ini semakin lama semakin mengerikan. Seolah-olah dia benar-benar percaya ada sesuatu yang mengambil hidupnya."
Nadine menyerahkan lebih banyak surat, dan mereka membacanya satu per satu.
Aku sudah mencoba keluar. Aku berteriak, aku memukul kaca, tapi yang kulihat hanyalah wajahku sendiri... atau lebih tepatnya, sesuatu yang menggunakan wajahku. Mereka mengambil hidupku. Aku masih di sini. Tolong...
Raka menghela napas dalam-dalam. "Ini gila. Mungkin ini cuma cerita lama dari seseorang yang mengalami gangguan mental."
Nadine menggeleng. "Kalau cuma delusi, kenapa aku mulai mendengar sesuatu di apartemenku?"
"Maksudmu?"
"Aku sering mendengar suara bisikan. Setiap kali aku menatap cermin di kamar, aku merasa ada yang menatap balik. Aku bahkan melihat sesuatu bergerak dalam pantulannya... tapi aku tidak pernah bisa memastikan."
Raka mulai merasakan bulu kuduknya berdiri. "Kau yakin ini bukan cuma imajinasi?"
Nadine menatapnya dengan serius. "Aku yakin. Dan aku menemukan ini."
Ia menyerahkan surat terakhir. Kata-kata terakhir dalam surat itu membuat jantung Raka berdebar lebih kencang:
Aku bisa melihatmu membaca ini… Jangan tatap cermin di kamar itu. Jika kau melihatnya, dia akan melihat balik.
Dan saat itu, sesuatu berbisik di telinga Nadine.
"Kau sudah terlambat."
Nadine terlonjak kaget, menoleh ke kanan dan kiri, tetapi tidak ada siapa pun di dekatnya.
"Apa?" Raka bertanya waspada.
Nadine menelan ludah. "Aku... aku mendengar suara. Seseorang berbicara langsung di telingaku."
"Apa yang dia katakan?"
"Kau sudah terlambat."
Sunyi. Seolah-olah udara di sekitar mereka membeku. Raka merasakan sesuatu yang sangat tidak beres.
Kemudian, suara ketukan terdengar dari cermin besar di lobi.
Tuk. Tuk. Tuk.
Nadine menahan napas, matanya membelalak ketakutan. "Raka, itu—"
"Diam," bisik Raka. Ia menatap cermin itu dengan hati-hati. Tidak ada apa-apa di sana. Hanya pantulan mereka berdua.
Kemudian, pantulan Nadine dalam cermin tiba-tiba tersenyum. Senyum yang bukan miliknya.
Nadine sendiri tidak tersenyum.
Jantung Raka berdebar kencang. Ia menarik Nadine menjauh dari cermin. "Kita harus keluar dari sini. Sekarang."
Mereka berlari menuju tangga darurat. Namun, ketika mereka melewati lorong menuju apartemen Nadine, lampu mulai berkedip-kedip. Bayangan mereka di dinding tampak bergerak tidak sesuai dengan gerakan mereka.
"Nadine, jangan lihat ke belakang," kata Raka tegas.
Nadine mengangguk cepat, tetapi langkahnya semakin ragu ketika mereka mencapai pintu apartemennya.
Pintu terbuka sedikit. Padahal Nadine yakin, ia telah menguncinya sebelumnya.
"Apa aku harus masuk?" bisiknya, ragu.
Raka berpikir cepat. Jika sesuatu memang ada di dalam apartemen itu, mereka harus mencari tahu.
"Aku ikut denganmu," katanya akhirnya.
Mereka memasuki kamar yang kini terasa lebih dingin dari biasanya. Mata Nadine langsung tertuju pada cermin besar di sudut ruangan. Ia yakin cermin itu tadinya tidak ada di sana.
Kemudian, mereka melihat sesuatu yang membuat darah mereka membeku.
Dalam pantulan cermin, ada seseorang berdiri di belakang mereka.
Namun, ketika mereka berbalik... tidak ada siapa pun.
"Raka..." suara Nadine gemetar. "Apa yang harus kita lakukan?"
Raka menelan ludah. "Kita cari tahu siapa Larisa sebenarnya. Dan jika dia masih ada di dalam sana... kita harus menemukan cara untuk mengeluarkannya."
Di dalam cermin, sosok Nadine yang lain masih tersenyum... menatap mereka dengan mata kosong, penuh rahasia yang belum terungkap.
ke unit lantai 7