Murni, seorang biarawati yang sedang cuti karena ingin menyembuhkan jiwa setelah terganggu mimpi-mimpi buruk yang terus berdatangan, menerima pesan aneh di ponselnya -suara paniknya sendiri yang membuatnya penasaran. Ia mengikuti petunjuk yang membawanya ke sebuah warung makan tua yang hanya buka saat malam.
Di warung itu ia bertemu dengan Mahanta, seorang juru masak pendiam yang misterius. Namun warung itu bukan warung biasa. Pelanggannya adalah jiwa-jiwa yang belum bisa pergi, dan menu makanannya bisa menenangkan roh atau mengirimnya ke dalam kegelapan. Murni perlahan terseret dalam dunia antara hidup dan mati. Ia mulai melihat masa lalu yang bukan miliknya. Meskipun Mahanta tampaknya menyimpan rahasia gelap tentang siapa dirinya dan siapa Murni sesungguhnya, pria itu bungkam. Sampai cinta yang semestinya dilarang oleh langit dan neraka merayap hadir dan mengungkapkan segalanya.
L'oubli (B. Perancis): keadaan tidak menyadari atau tidak sadar akan apa yang sedang terjadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dela Tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Season 1 ; Bab 25 - Neraka Ceria (2)
Itu baru awal.
Yang terjadi selanjutnya bahkan lebih tidak tertanggungkan.
Salman tidak melakukannya hanya satu kali. Setiap kali ada kesempatan, jahanam laknat itu melakukannya lagi dan lagi. Ceria tidak berdaya karena Salman mengancamnya agar bungkam. Jika tidak, dia akan membunuhnya. Berikut ibunya juga.
Ceria hanya mampu menelan kepahitan dan kepedihannya sendiri. Tidak tahu harus bercerita pada siapa.
Dan meskipun kasar, lelaki itu cukup cerdik tidak meninggalkan jejak yang terlihat di tempat terbuka.
Namun, malapetaka belum selesai.
Ketika tamu bulanannya tidak datang, Ceria menjadi gusar. Dan ketika beberapa alat pendeteksi kehamilan yang dia beli di toko obat semua menunjukkan dua garis, dunianya runtuh.
Dia mencari-cari cara untuk menggugurkan bayi yang mungkin masih berupa gumpalan darah. Tetapi tidak berhasil. Memasuki bulan kedua, darah tidak juga mengalir ke luar.
Putus asa, Ceria memutuskan untuk mengambil risiko. Biarlah dia dibunuh, tetapi ibunya harus tahu.
Dengan berurai air mata, Ceria menceritakan apa yang terjadi pada Lastri.
Sepanjang dia bercerita, ibunya hanya menatapnya tidak percaya. Lalu…
Plak!
Lastri menamparnya.
Disusul... Plak! Plak!
Bukan hanya satu kali, tapi berkali-kali. Bergiliran pipi kiri dan kanan. Sampai tubuh Ceria oleng dan limbung.
“Dasar anak genit! Berani-beraninya kamu menuduh Salman?! Dia itu mau menikahi Ibu. Bukannya kamu sudah dengar dia minta kamu memanggilnya daddy? Dan kamu…”
Tangan Lastri menunjuk wajah Ceria, wajahnya sangat murka. “Kamu menggodanya? Mondar-mandir tanpa beha? Dia calon ayah tiri kamu! Kamu mau merebutnya dariku? Dasar anak tidak tahu diri! Pel4cur!”
Lastri bahkan menjambak rambutnya, mendorongnya hingga membentur meja.
Hati Ceria sangat sakit dengan tuduhan itu. Ibunya sendiri, lebih percaya pada lelaki asing!
Jangan-jangan… apakah mungkin Salman ‘melapor’ dengan mengarang cerita bahwa Ceria sering mondar-mandir tanpa beha di hadapannya?
Jika tidak, bagaimana mungkin ibunya menuduh dia menggoda kekasihnya.
Dengan hati hancur, Ceria akhirnya pergi ke kantor polisi. Dia tahu dia terlambat, sisa-sisa kekerasan memang tidak ada. Dengan kehamilannya, malah terbukti bahwa itu telah dilakukan berkali-kali. Tetapi tidak ada bukti bahwa itu dilakukan atas paksaan.
Benar saja, para polisi yang menerima laporannya memandangnya tak percaya. Beberapa bahkan dengan kurang ajar menatap dadanya lebih lama.
“Kalau dip3rkos4 kok sampai bisa hamil, Mbak?”
“Iya, dua bulan lagi. Berarti sudah berkali-kali ya?”
"Itu mah ketagihan namanya..." Bahkan ada yang tertawa cabul. "Doyan kaliii..."
“Mbak sendiri sadar gak tubuhnya seksi? Jadi seharusnya pakai baju yang longgar-longgar.”
Dan berbagai tudingan lain yang membuat telinganya panas dan darahnya mendidih.
Padahal hari itu dia mengenakan pakaian longgar yang sopan. Dan walaupun sebelumnya dia suka mengenakan pakaian ketat, paksaan tetap paksaan, pelecehan tetap pelecehan. Itu tidak ada hubungannya dengan pakaian!
Ceria paham. Keadilan yang dia coba raih, tidak mungkin dia dapatkan!
“Jadi, aku berpikir untuk membunuhnya saja. Tapi bagaimana caranya? Dia tinggi besar, dia bukan lawanku.” Suara Ceria dingin. Tangisnya sudah reda.
Murni menyimak dengan hari serasa dipilin, tetapi tidak bisa melakukan apa-apa. Semuanya telah terjadi.
“Tapi tidak adil jika dia mati mudah. Aku harus menyiksanya dulu seperti dia membuat hidupku sengsara. Untungnya, dia sangat mudah dirayu.” Ceria tertawa sinis.
“Aku berpura-pura sudah kecanduan. Toh aku sudah dituduh menggoda, jadi tidak ada bedanya jika aku merayunya. Aku akan memberinya minum yang sudah diberi obat tidur, mengundangnya untuk meniduriku sampai dia kelelahan, lalu…” Pandangan Ceria menerawang, seolah membayangkan adegan itu di depan matanya.
“Itu rencana yang sempurna. Ketika dia tergolek kelelahan, setengah tertidur, aku mengiris kemaluannya dengan pisau yang sudah kuasah berhari-hari. Dia langsung sadar karena kesakitan yang amat sangat.” Ceria bertepuk tangan, tertawa sangat gembira.
“Yang dia banggakan, telah menjadi sekerat daging tak berguna di tanganku. Ketika dia bergelung kesakitan, aku menancapkan pisau itu ke dadanya, berkali-kali! Berkali-kali! Berkali-kali!” Ceria bahkan mengangkat dan menurunkan tangannya, menirukan caranya menikam jahanam yang menghancurkan hidupnya.
“Aku tahu akan masuk neraka. Dia juga harus masuk neraka.”
“Aku tahu tidak akan mendapat keadilan. Lagipula, bayiku terus tumbuh. Tidak ada tempat bagiku di dunia. Jadi, aku memilih akhir hidupku sendiri. Tidak menyerahkannya pada orang lain. Aku sengaja memilih menggantung diri, sepertinya itu kematian yang anggun.” Ceria menutup cerita.
Murni mengembuskan napas yang sedari tadi ia tahan.
Sungguh tragis.
Wajar jika Ceria tidak ingin kembali. Dunia adalah neraka baginya.
Gadis itu menoleh pada Murni. “Kakak cantik. Mengapa membuka warung di tengah malam? Itu bahaya, Kakak harus hati-hati.”
“Terima kasih, anak baik, sudah memperingatkan Kakak. Ini… warung teman Kakak. Hanya saja, malam ini dia tidak ada, entah ke mana dia.”
“Oohh…” Ceria mengangguk. “Ternyata Kakak benar. Menumpahkan semua ganjalan membuatku lega. Terima kasih sudah menyediakan telinga. Sudah waktunya aku pergi.”
Berkata begitu, bayangan Ceria semakin menipis, semakin transparan, lalu lenyap.
Murni termenung, masih tertegun dengan kisah Ceria.
Sepertinya… sejak datang ke tempat ini ia menyadari satu hal. Bahwa bagi sebagian orang, hidup bukan hanya pelangi dan kuda sembrani. Bahwa selama ini, ia melihat hidup dengan kacamata merah muda.
Damai. Tanpa riak.
Ia merasa mendapat panggilan baru, sesuatu di dalam dirinya bangkit.
kesedihan ,bebannya pindah ke murni ?
🤔
apakah jiwa nya blm kembali ke asal
masih gentayangan
tapi kebanyakan semakin di larang semakin penasaran